PERJALANAN PANJANG sebuah pementasan selalu diisi dengan berbagai karakter manusia yang kaya dan unik dengan ceritanya masing-masing. Suara-suara itu tak bisa dipenjarakan dari kerutan waktu.
Selebrasi dan keriuhannya begitu hangat dan memikat sebuah karya pertunjukan yang berusaha menghidupkan keragaman masa lalu dengan melibatkan para seniman legendaris asal Bangli yang pentas pada Minggu, 28 Mei 2023, sebagai suguhan penutup dari rangkaian gelaran HUT Kota Bangli ke-819 sekaligus menjadi obat rindu bagi para penikmat seni.
Drama Gong menjadi salah satu laboratorium pertunjukan tertua sebagai ajang penguatan karakter, jejaring kreatif hingga media rehabilitasi sebagai upaya menempatkan fungsi seni pertunjukan sebagai bagian dari cerminan manusia modern. Yang kemudian dibingkai dalam medium digital.
Dulu, Bangli terkenal dengan Drama Gong Sancaya Dwipa. Kini drama gong itu hidup lagi di era baru ini. Pada penutup dari rangkaian gelaran HUT Kota Bangli ke-819 ini, drama gong itu mendapat sambutan meriah. Drama Gong Sancaya Era Baru.
Pijaran kreativitas para seniman Drama Gong itu mengeskplorasi hal-hal menarik, dan semua itu tidak terlepas dari peranan Ni Ketut Yudani. Ia memiliki pengabdian tinggi dalam seni Drama Gong sehingga beliau memperoleh Penghargaan Adi Sewaka Nugraha oleh Pemerintah Provinsi Bali dalam serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 tahun 2022.
Pada kesempatan ini ia didapuk untuk menulis naskah yang berjudul “Petruk Mecangkling (Selendang Sutra Pitolo Bolong). Ide-ide bermunculan dan tak dibiarkan lewat begitu saja, sehingga dalam kurun waktu tiga hari naskah tersebut bisa dirampungkan.
Cerita ini bertemakan Keraton Sentris dengan berlatar tiga kerajaan yaitu Kerajaan Koripan, Daha dan Pejarakan yang penuh plot twist sehingga perlu ditelisik, dicermati serta dimaknai dengan baik.
Drama Gong Sancaya Era Baru | Foto: Meisa Wulandari
Secara sederhana, proses kreatif penggarapan Drama Gong ini sebagai media transfer pengalaman dan pengetahuan tentang segala aspek pertunjukan yang dilakoni oleh masing-masing tokoh, dengan menelusuri kemungkinan penggalian ekspresi artistik melalui potongan-potongan adegan sehingga memunculkan emosi otentik.
Tujuannya untuk membawa penonton seakan-akan terbawa dengan situasi yang dipaparkan. Bagi Yudani, setiap proses penciptaan adalah pembelajaran. “Saya kuak satu fakta menarik yaitu setiap pijakan dan percakapan antara kami seolah menjadi guru tanpa ruang kelas, saya menyadari bahwa jalan-jalan baik juga harus mulai kita tulis sendiri khususnya sebagai generasi penerus Bangsa ini,” katanya.
Ruang kolaborasi terbuka bagi mereka yang tumbuh. Banyak nama kolaborator dalam jajaran tim kerja yang terlibat.
Ada sekitar 19 orang seniman yang namanya sudah terkenal sedari dulu seperti I Nyoman Subrata alias Petruk, Sang Ketut Arsa alias Perak, Sang Made Juni Putra alias Blauk.
Adapun Raja Buduh diperankan oleh Dewa Ketut Sabar. Pemeran di kerajaan Koripan adalah Ni Ketut Yudani, Dewa Anom Putra, Gede Yulia Wardana, Sang Ayu Tirtawati, Gunada, I Nyoman Sukarya, Gusti Putu Tinggal, I Wayan Kajeng.
Sedangkan peran di Kerajaan Daha oleh Wayan Wirya, Jero Nengah Madya Yani, Ni Wayan Sirat. Pemeran Patih Anom adalah Mangku Sugiarta dan pemeran Patih Agung adalah Jhon Babe, I Dewa Nyoman Oka dan Sang Ayu Ganti sebagai liku. Iringan tetabuhan oleh Sekaa Gong Putra Jelantik, Banjar Apuan Kaja.
Mereka telah bersepakat membangun peradaban untuk saling bahu-membahu membumikan kearifan, membangun inovasi, menyikapi persoalan dan tantangan pemahaman secara komprehensif sehingga menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kepedulian terhadap unsur seni budaya dan tradisi. Membangun relasi kreatif sebagai upaya penempatan fungsi pertunjukan sebagai bagian dari komitmen bersama.
Salah satu upaya untuk terus bergerak dalam keterbatasan itu adalah dengan terbentuknya Paseban (Paiketan Seni Bangli) yang dikukuhkan pada 1 Juni 2022 sekaligus menggagas terbentuknya Drama Gong Sancaya Era Baru, yang lebih menekankan kearifan lokal Bangli sesuai arahan Bapak Bupati Bangli.
Harapannya, masyarakat lebih mencintai seni dan budaya sendiri, khususnya Drama Gong serta semoga bisa mengawali kebangkitan dan kejayaan Drama Gong, kata Jhon Babe seorang seniman asal Bayung Gede.
Drama Gong Sancaya Era Baru | Foto: Meisa Wulandari
Adapun titipan pesan bagi generasi muda disampaikan oleh Sang Ayu Tirtawati agar generasi muda mau mengikuti jejak-jejaknya untuk ikut andil melestarikan Drama Gong. “Karena tanpa generasi muda siapa lagi yang akan melestarikan seni dan budaya Bali khususnya Drama Gong, apalagi oleh pemerintah Bali sudah disediakan wadah untuk berkompetisi sekaligus menyalurkan bakat melalui ajang perlombaan yang digelar pada Pesta Kesenian Bali”, ujarnya.
Seperti yang dituturkan oleh para seniman bahwa dunia ini butuh ruang lebih besar untuk kita memberi pengakuan perihal keterbatasan, yang justru memberikan esensi keutuhan entitas diri. Melalui kisah inspiratif inilah figur ideal generasi muda bali dapat terbentuk. Karya akan terus merekah dan mewangi. Terimakasih telah bersungguh menyentuh kesenian. Mari rawat bersama setiap langkah yang tangguh, menutup malam apresiasi dengan mengasah intuisi lanskap kehidupan. [T]