KRISNA SATYA, PARAMA KESAWA, DAN KEVIN MULIARTA. Sebagai penari, kurang apa mereka?
Nama tiga penari itu cukup menonjol di Bali, bahkan dikenal juga dengan baik dalam dunia tari di Indonesia. Tentu karena mereka begitu giat melakukan proses pencarian dan menemukan kosa gerak dan kemungkinan-kemungkinan baru dalam proses kreatif mereka.
Krisna Satya, Parama Kesawa, dan Kevin Muliarta. Sebagai penari, kurang apa mereka?
Mereka sudah banyak menemukan hal-hal baru, mereka sudah banyak mempresentasikan penemuan-penemuan mereka di atas panggung. Namun, dengan rendah hati, tiga penari itu masih mengakui diri: bahwa mereka masih berada dalam proses menemukan diri, menemukan sang aku, sehingga mereka terus mencari, terus mencari, tak puas-puas.
Untuk itulah mereka bekerja sama dengan Antida Music Production untuk mempresentasikan pencarian-pencarian mereka. Tiga penari itu akan mempertunjukkan satu proses dari tema “Jelajah Sarira” — Mencari Sang Aku Melalui Tari”.
Masing-masing dari mereka akan menyajikan karya tari pada Minggu, 21 Mei 2023 di Antida Sound Garden Jl. Waribang 32 Kesiman Denpasar, Bali.
Jelajah Sarira pertama kali dicetuskan dalam acara Rembug Sastra Purnama Bhadrawada tahun 2017. Dari rembug sastra itu tumbuh niat besar dalam diri penari untuk menjelajahi diri. Karena sesungguhnya Jelajah Sarira bukan hanya dalam sastra, namun juga bisa diseriusi dalam bentuk tari sebagai media untuk melihat dan memaknai kembali sang aku.
“Tari dengan tubuh (Sarira) sebagai medium bagaikan ladang yang harus terus dieksplorasi untuk menemukan dan menumbuhkan gagasan baru untuk menambah khasanah kesenian Bali khususnya Tari,” kata Dayu Ani.
Dayu Ani adalah dosen seni pertunjukan ISI Denpasar yang menjadi inisiator sekaligus sebagai pendorong terselenggaranya pementasan ketiga penri itu.
Jelajah Sarira adalah cara untuk menyelami diri, baik secara fisik maupun gagasan. Jelajah Sarira akan dibaca oleh tiga penari sekaligus koreografer muda, Krisna Satya, Parama Kesawa dan Kevin Muliarta, dengan begitu sungguh-sungguh.
Masing-masing koreografer memformulasikan gagasannya dalam bentuk karya tari yanng mencari kebaharuan.
“Saya rasa, dengan mengangkat Jelajah Sarira akan memiliki ruang yang lebih luas. Sebelumnya mereka mengusung tema Bali Balihan, sehingga tidak akan memberikan ruang seluas-luasnya bagi ketiga koreografer kreatif ini,” kata Dayu Ani.
Dalam pentas ini, Krisna Satya mengangkat “Slow Living” sebuah garapan tari tunggal yang terinspirasi dari upacara adat Bali yaitu Ngider Bhuwana.
Tradisi Ngider Bhuwana ditatap sebagai konsep, yang kemudian dibaca ulang. Tradisi melancaran yang ada di desanya sebagai laku untuk mengenali dan memaknai kembali wilayah sekitar dan ruang personalnya, dengan cara berjalan selangkah demi selangkah.
“Ngider bhuwana saya maknai sebagai ritus pertemuan antar personal di tengah kehidupan yang serba digital dan cepat,” ucap Krisna dísela-sela persiapan pentas, Kamis 18 Mei 2023.
Krisna Satya| Foto: Istimewa
Dalam kehidupan yang serba cepat itu, Krisna Satya kemudian menciptakan karya tari bertajuk Slow Living. Ia meminjam pada istilah gaya hidup lambat, yang berawal dari Slow Food Movemant yang dibuat oleh Carlo Petrini tahun 1986. “Slow Living ini akan mengajak penonton sebagai performer untuk mengenali tubuh melalui pernafasan, dan mendekatkan diri dengan mengenali ruang sekitarnya. Dengan waktu yang melambat, kita akan dapat merenung, untuk bisa berbuat kedepan,” ungkapnya.
Sementara Parama Kesawa menyajikan karya bertajuk “Body Notation yang terinspirasi dari polymeter yang merupakan salah satu konsep ketukan yang biasa digunakan dalam teori musik, terutama dalam mengaransemen lagu. Polymeter memiliki fungsi untuk menciptakan efek seolah-olah ketukan dalam sebuah lagu terdengar tidak sinkron, walaupun ritme yang bermain tersebut sinkron.
Proses dari Polymeter masih dalam tahap menganalisa perhitungan yang membangun efek jalinan nada.
“Sejauh ini, jenis komposisi musik polymeter dalam dunia tari, hanya digunakan sebagai ambience. Koreografinya sering mengabaikan jalinan ketukan yang telah dibuat. Nah, lewat garapan ini saya berupaya mensinkronisasikan musik dan tari melalui notasi terperinci dalam konsep Polymeter menjadi ide karya eksperimental ini,” paparnya.
Eksperimen ini berjudul Body Notation. Ia menggunakan tubuh sebagai instrument dalam mewujudkan konsep Polymeter secara bertahap, mulai dari tangan, kaki, selanjutnya ke seluruh tubuh. Karya ini ditarikan oleh dua orang penari. Ketukan dari setiap penari memiliki hitungan yang berbeda sampai akhirnya bertemu dalam kelipatan yang sama dan mulai lagi dari hitungan awal.
“Instrument musiknya menggunakan alat musik strings yang akan mengalirkan nada ke dalam tubuh penari sesuai notasi yang dibuat. Setting pertunjukan mengarah kepada kontrapungtis musik dengan dukungan pencahayaan khusus sebagai ambience bar musik,” jelasnya.
Sedangkan Kevin Muliarta menyajikan ‘Melajah Kebatinan’. Karya ini terinspirasi dari era modern ini di Bali yang sempat viral tentang istilah “melajah kebatinan” atau sebutan untuk orang orang yang memiliki halusinasi tentang spiritual terlalu tinggi, sehingga mengakibatkan kebingungan bahkan kegilaan dalam hidupnya. Pada fase tersebut banyak hal di luar nalar di nomor satukan. “Hal ini merupakan ketidak seimbangan yang berpotensi menyesatkan,” ucapnya.
Untuk memastikan hal tersebut, sebagai penari Kevin sempat melakukan reset terhadap ajaran leluhur masyarakat Bali tentang situs-situs kuno dan etika orang dahulu dalam menjalani spiritual. Ia kemudian ingin meluruskan perihal dan fenomena yang menurutnya timpang pada era sekarang.
“Pengamatan saya terhadap apa yang terjadi saat ini dan apa yang saya dapatkan dari sumber” tentang etika peradaban leluhur jelas berbeda. Pada era ini tentu banyak orang yang kurang percaya, memilih jalan praktis dan tidak menerima paham ini karena dianggap paham baru,” sebutnya.
Kevin kemudian mengatakan, berdasarkan pengamatannya pergeseran nilai pemaknaan suatu keyakinan dalam berspiritual lebih condong ke arah kepentingan pada era sekarang, dan berdampak luas bagi orang-orang sangat percaya dengan hal-hal tersebut.
“Berdasarkan fenomena itu, saya kemudian menciptakan teater tari kontemporer mengenai perjalanan dan pencaharian jati diri terhadap etika-etika leluhur Bali mengenai bhuana alit, dan teks tan hana darma mangrwa yang menjadi kegelisahan penata terhadap penerapannya di era yang penuh dengan kepentingan,” katanya.
Ketiga seniman ini pun mengakui, “Jelajah Sarira” ini terselenggara atas pertemuannya bersama Dayu Ani selaku pemilik Bumi Bajra. Mereka kemudian terkoneksi dengan Anom Darsana yang merupakan pemilik Antida Music Production.
Melalui nasehat dari Dayu Ani, ketiga koregrafer muda ini memiliki keberanian untuk melakukan pentas tunggal untuk pertama kalinya atas nama proses kreatif untuk menambah khasanah kesenian di Bali khususnya. Maka itu, “Jelajah Sarira” semakin lengkap dengan kehadiran Anom Darsana dengan Antida Music Production sebagai fasilitator artistik, sehingga Jelajah Sarira memiliki ruang presentasi yang memukau.
Jelajah Sarira hadir sebagai ruang penjelajahan sang diri, ruang untuk menempa kemampuan tubuh untuk terus menyelami menggali gagasan sebagai tawaran terhadap kesenian Bali khususnya tari.
“Penjelajahan sang diri tidak hanya sebagai sarana hiburan, tetapi sebagai wujud perenungan bersama, siapa, mengapa, dan bagaimanakah aku di masa mendatang? Jelajah Sarira hadir sebagai ruang penciptaan untuk terus membaca kebudayaan Bali yang beririsan dengan masa kini,” kata mereka sepakat. [T][Pan/*]