PESTA DEMOKRASI PEMILU 2024 semakin dekat. Para elite mulai memanaskan mesin parpol demi meraup suara maksimal. Silaturahmi sana sini gencar dilaksanakan, saling berebut restu dan dukungan. Mereka yang dianggap memiliki magnet sudah pasti masuk dalam list safari politik.
Sampai hari ini terbentuk empat poros atau koalisi yang siap mengusung putra terbaik bangsa menuju tampuk tertinggi kepemimpinan−Presiden, setidaknya tiga nama Bakal Calon Presiden yang sudah deklarasi dan siap maju berkontestasi.
Adalah yang terbaru Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah yang diusung PDIP. Sebelumnya nama Anies Baswedan eks Gubernur DKI Jakarta sudah lebih dahulu deklarasi, diusung oleh Koalisi Perubahan untuk Persatuan/KPP (Partai Nasdem, Partai Demokrat dan PKS).
Walau belum deklarasi, nama lawas Prabowo Subianto sudah jauh hari mantap maju, diusung oleh Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya/KKIR (Partai Gerindra, Partai Kebangkitan Bangsa). Sisanya Koalisi Indonesia Bersatu/KIB (Partai Golkar, PAN, PPP) masih abu-abu, belum jelas kemana arah berlayar setelah PPP hengkang dan mendukung Ganjar Pranowo.
Pilpres 2024 agaknya lebih menarik ketimbang pilpres 2019. Mengapa demikian? Alasanya sederhana lebih kompetitif.
Pertama, tidak ada calon incumbent yang akan bertarung sebagaimana Joko Widodo pada pilpres 2019.
Alasan kedua, adalah pengumuman atau deklarasi capres dari masing-masing koalisi yang jauh lebih cepat dibandingkan pilpres sebelumnya, walaupun masih sangat cair dan banyak kemungkinan terjadi, tapi tentu ini adalah langkah apik agar publik juga dapat leluasa menilai kapasitas capres.
Di sisi lain, deklarasi cepat ini juga menjadi tantangan capres dan koalisi pengusung, sejauh mana konsistensi mereka.
Alasan ketiga, pada pilpres sebelumnya, Joko Widodo di berbagai survei selalu unggul atas Prabowo Subianto, Nah ini yang tidak dimiliki para kandidat di atas alias tidak ada yang dominan.
Dari berbagai survei selisihnya tipis-tipis. Misalnya yang dilakukan Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) 25-28 April 2023, dengan hasil teratas Ganjar Pranowo 20,8 persen, disusul Prabowo Subianto 15,8 persen dan Anies Baswedan 11,4 persen. Surveior lain Lembaga Survei Indonesia (LSI) 12-17 April 2023, dengan hasil teratas Prabowo Subianto 18,3 persen disusul Ganjar Pranowo 16,2 persen, dan Anies Baswedan 13,1 persen.
Meminjam istilah Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi, seperti “roler koster” ada yang tertinggi kemudian turun peringkat dua, ada yang peringkat dua naik ke peringkat pertama, ada yang turun ada yang naik artinya apa? Ketidakpastianya lebih tinggi, maka banyak pengamat politik mengatakan bahwa cawapres adalah kunci penting, bisa menguatkan bisa juga menjadi boomerang dan mendegradasi.
Pengamat politik lainya Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari menyampaikan bahwa kunci kemenangan capres ada di tangan cawapres yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama. Tentu pernyataan tersebut patut dipertimbangkan, NU sendiri adalah ormas dengan jumlah anggota yang fantastis, dikutip dari laman detik.com memiliki anggota seratus juta lebih.
Tak hanya berhenti pada jumlah anggota, setidaknya saya mencatat ada lima politikus NU yang berpotensi maju sebagai cawapres, siapa saja mereka?
Pertama adalah Abdul Muhaimin Iskandar atau Cak Imin atau Gus AMI. Cak Imin memiliki insting politik yang tajam, terbukti pilpres 2004, 2009, 2014, 2019, partai yang ia pimpin (PKB) tak pernah salah dalam mengusung capres alias selalu menang.
Kedua adalah Erick Tohir. Ia resmi menjadi anggota Banser setelah lulus diklatsar 2021 silam, lanjut Erick ditunjuk oleh PBNU untuk menjadi ketua panitia 1 abad Nahdlatul Ulama.
Ketiga adalah Khofifah Indar Parawansa, Gubernur Jawa Timur sekaligus ketua Muslimat NU.
Keempat Mahfud MD, Menkopolhukan yang akhir ini namanya kian melambung karena membongkar jejak transaksi janggal 300T di Kemenkeu.
Dengan banyaknya kandidat cawapres primadona dari NU bukankah malah mengancam dan rawan terjadi pembelahan masyarakat akar rumput karena “satu dukung sana satu dukung sini”?
Bagaimana jika misal ketiga-tiganya (baca: capres) menggaet cawapres dari kelompok NU yang saya sebutkan di atas? Bagimana ketika ormas terbesar ini didistorsikan menjadi kuda tunggangan untuk kepentingan kekuasaan sesaat? Maka saya menyebut NU adalah “battleground” sesungguhnya.
Apalagi sejak kecil sikap−tindakan ta’dzim (hormat kepada guru, orang tua) selalu tertanam bagi mereka yang lahir dan besar di lingkungan NU apalagi pedesaan termasuk saya. Memang NU memiliki tipikal kultur dan sistem nilai yang mengakar kuat, dua identitas inilah yang membedakan dengan sejumlah ormas di Indonesia.
Masih ingatkah saat GusDur di wawancarai dalam salah satu episode Kick Andy (2008) yang mencerminkan sikap−tindakan ta’dzim?
Saat Andy F Noya melontarkan pertanyaan: teman-teman dekat anda menyesalkan kenapa anda dulu jadi presiden, anda sebenarnya lebih layak menjadi guru bangsa ga usah ikut perpolitikan yang ga jelas itu.
GusDur menjawab: saya diperintah oleh lima orang sesepuh saya itu saja kalau mereka mau memerintahkan apa saja masuk api, masuk api. Tanpa perlu berpikir? Tanpa perlu berpikir. Kenapa begitu? Saya ini orang pesantren disuruh nurut orang tua. Itu tidak bisa ditawar gus? Ga bisa ditawar.
Terakhir, Karena resiko yang teramat besar sudah seyogyanya NU dalam hal ini PBNU mengambil jarak kepada siapa saja yang memiliki kepentingan. Iniliah momen yang tepat untuk menangih janji ketua PBNU KH Yahya Cholil Staquf yang dulu lantang mengatakan bahwa akan mereformasi tubuh NU, salah satunya adalah menghilangkan politik praktis.[T]