PERJALANAN AKU MULAI DARI DENPASAR. Sekitar pukul 6 pagi, kendaraanku sudah melaju di Jalan Raya Kapal menuju Bedugul di wilayah Baturiti, Kabupaten Tabanan.
Aku berangkat bersama Fatin yang aku bonceng dengan motor. Pada boncengan bagian depan ada tambahan alat perlengkapan seadanya. Barang yang aku bawa hanya untuk bekal perjalanan tracking, mengingat pendakian yang aku tuju adalah Gunung Tapak.
Perjalanan untuk mendaki ini dapat ditempuh dengan konsep Pergi-Pulang (PP), tanpa kemah. Konsep ini biasanya aku sebut dengan istilah kebut siang, yaitu pendakian start pada pagi hari dan turun sore harinya.
Perjalanan dari Denpasar hingga tiba di perempatan Patung Jagung Desa Candikuning, di Bedugul, kurang lebih menggilas waktu sekitar 1,5 jam. Perjalanan dimulai dari kemacetan di kota, sampai udara dingin menerpa kulit. Dingin terasa agak menusuk begitu melewati jalan naik dari Baturiti menuju Bedugul. Walaupun sudah menggunakan jaket hitam yang sering aku gunakan untuk mendaki namun dingin sungguh amat terasa.
Namun dingin, dalan bahasaku, biasa disebut sejuk. Dan, sejuk serta sedikit kabut itulah yang menemani perjalananku menuju titik kumpul. Kali ini pendakian memang aku rencanakan bersama anak-anak Siswa Pecinta Alam (Sispala) SMA 1 Singaraja. Saya sendiri sebagai pembina Sispala itu. Total yang ikut pendakian sebanyak 20 orang.
Pendakian ini memang salah satu dari program kerja yang dirancang anak-anak Sispala. Yaitu, mendaki 7 puncak gunung di Bali. Mereka sebut program itu dengan nama Sapta Agra. Sapta artinya 7, agra artinya puncak atau paling tinggi.
Program Sapta Agra sebenarnya upayaku mempengaruhi mereka, anak Sispala itu, untuk melakukan sebuah chalange organisasi agar bisa mendaki puncak-puncak gunung yang ada di Bali. Entah itu namanya seven submit atau apalahlah nanti, aku berikan mereka menentukan namanya.
Pada akhirnya lahir ide nama Sapta Agra yang artinya tujuh puncak. Rencana kegiatan itu akan diisi dengan pendakian dan pembersihan di puncak gunung dengan konsep mendakian “Gunung Bukan Tempat Sampah”. Yaa makin menariklah untuk dilaksanakan.
Barang-barang perlengkapan yang aku bawa sebenarnya hanya seadanya saja. Barang itu cukup untuk perjalanan tracking sampai sore. Kompor kecil, nesting sebagai pengganti panci, gas portable, kopi dan beberapa snack wajib aku bawa setiap pendakian maupun camping.
Makan siang aku putuskan dengan memasak mie di puncak agar lebih praktis. Oh ya, ditambah lontong yang sudah aku persiapkan sebagai campuran mie instan.
Barang yang tidak boleh aku lupakan tentu saja jas hujan mengingat daerah Bedugul, terutama Gunung Tapak, sangat identik dengan hujan.
***
Sampailah kami pada titik kumpul yang sudah disepakati. Titik kumpul itu tepat di salah satu toko modern di depan Patung Jagung Candikuning. Anak-anak Sispala SMAN 1 Singaraja tampak sudah berada di tempat. Mereka berangkat dari Singaraja, sementara aku yang datang dari Denpasar sedikit terlambat tiba, padahal motor sudah kupercepat.
Basa-basi sebentar, proses pendakian pun dimulai. Kali ini total 20 orang yang akan naik Gunung Tapak. Sebelum kami berangkat menuju pos Kelompok Petani hutan (KPH) Wanasari, aku sempatkan untuk membeli beberapa tambahan snack, termasuk air. Itu sudah menjadi kebiasaan, aku membeli air di warung atau toko terakhir menuju start pendakian. Hal ini dilakukan agar tas yang kubawa tidak terlalu berat.
KPH Wanasari di Desa Candikuning adalah titik awal sebagai start pendakian. Kami menuju ke tempat itu.
Dari titik kumpul di Patung Jagung, kami melewati jalan raya ke arah selatan, jalan itu biasanya dilalui untuk menuju ke Tabanan, Marga, dan Air Panas Angseri. Beberapa meter sebelum tempat wisata De Silas, kami belok ke kanan melewati jalan nampak yang mulai rusak dan menanjak.
Sispala SMAN 1 Singaraja | Foto: Istimewa
Motor yang kami bawa bergejolak. Untungnya semua bisa diatasi, semua naik. Sepanjang jalan kami melewati beberapa rumah warga dan kebun sayur kol, wertel, selandri dan strawberry. Pemendangan itu membuat jalan tanjakan nampak seperti jalan datar. Sesekali aku berhenti sambil menunggu teman yang lain, memastikan mereka bisa melewati tanjakan-tanjakan yang ada.
Tibalah kami di pos KPH Wanasari. Setelah registrasi dengan Bapak Komang Tomi, sekretaris KPH Wanasari. Kami membayar registrasi 10 ribu dikali 20 orang. Setelah itu, kami memulai pendakian yang sebenarnya. Jam menunjukkan pukul 8.00.
“Ayok kita kumpul dulu sebelum berangkat naik,” kataku sambil membentuk lingkara. Hal ini sering kami lakukan sebelum melakukan pendakian.
Dengan mengecek barang terutama kunci motor, memastikan helm barang yang dibawa, dan yang terakhir adalah doa bersama.
“Ini tos kita seperti apa?” tanyaku sambil mengururkan tangan untuk tos.
“Sapta Agra, Suskses!” jawab Alya, yang juga mengulurkan tangan bersamaan dengan teman teman lainnya.
“Sapta agraa,,,,,,,,, Sukses!” Tos kami bersamaan sambil bertepuk tangan.
***
Pendakian dimulai. Para pendaki biasa menyebut jalur yang kamim lalui ini dengan sebutan Geotermal Bedugul. Aku sendiri belum pernah lewat jalur ini ke Gunung Tapak. Tanpa tahu jalur kami tetap melanjutkan perjalanan dengan modal mental, skill dan fisik. Aku yang sudah jarang olahraga mencoba menempatkan mental di atas skill dan fisik. “Kan yang penting gas dulu!?”
Dalam perjalan kami awali dengan menyusuri jalan setapak, kurang lebih setengah jam sampai di bekas proyek geotermal. Sampainya di areal bekas proyek yang sempat jadi polemic di Bali itu, saya melihat tempat yang sangat luas dengan pemandangan Gunung Tapak. Pemandangan itu membuatku berhenti sejenak, melihat sekeliling.
Tak lupa kami bersembahyang di beberapa pelinggih yang ada, memohon izin melakukan pendakian agar selamat, dan semoga pendakian ini memiliki makna untuk kami.
Sebuah lorong besi besar tepat di sebelah jalan menjadi spot foto yang bagus, dan lorong itu seperti penanda start pendakian dimulai dari tempat itu. Beberapa teman berfoto ria, seolah besi berkaarat itu menjadi benda yang exotis untuk backround foto.
Usai berfoto kami melanjutkan perjalanan menapaki jalan tanah yang dikelilingi rimbunnya hutan. Sekeliling kiri dan kanan hanya terdapat semak dan pohon-pohon yang sudah berlumut. Kicaun burung yang terus mengiringi kami dalam perjalanan membuat hatiku menjadi tenang, tentu berbeda dengan suara kendaraan yang tiap hari aku dengar di kota saat berangkat menuju kantor.
***
Perjalanan dengan iringan kicau burung dan suara dari daun yang bergesekan membuat susana hati menjadi sejuk walaupun kelelahan terus menghampiri.
”Lanang, apa benar ini jalannya, kok terus menanjak?” tanyaku kepada Lanang yang berada di depan barisan. Aku, Genta dan Bowo berada di belakang menjadi sweeper, memantau teman teman agar tidak tertinggal. Tapi nyatanya kami yang menjadi sweeper terus tertinggal.
“Benar, Kak, di beberapa vidio gampang kok jalannya tapi ini kok agak lebat ya? Apa karena sudah jarang yang lewat sini?” kata Lanang sambil menghampiriku yang berada di belakang.
”Sebentar. Ini sepertinya bukan jalur ke Gunung Tapak, ini peta terakhir yang terekam di mapku mengarah ke Gunung Lesung, bukan ke Tapak,” jawabku sambil menunjukkan GPS yang ada di HP, walaupun tidak ada sinyal tapi sudah aku antisipasi dengan GPS yang dapat berfungsi walaupun tidak ada signal.
Kami pun berhenti sebentar berdiskusi mengenai jalan.
“Ini sih, kalau Gunung Tapak itu kan gunung yang sudah sering didaki, otomatis ada beberapa tanda, seperti sampah kecil, jejak kaki, puntung rokok. Nah, tapi kok jalurnya ini masih bersih?!” jelasku pada Lanang.
Beberapa teman lain dengan wajah yang bingung beristirahat sebentar sembari meneguk air minum dan makan cemilan yang dibawa.
”Sudah. Begini saja, Nang. Kita balik saja. Aku tak yakin dengan jalur ini. Masih sangat bersih tanpa adanya tanda-tanda jalur, memang bisa kita terobos tapi kita ngajak 20 orang dan tanpa persiapan untuk perjalanan malam!”
Pendakian di Gunung Tapak | Foto: Istimewa
Aku pun mengatakan hal itu pada teman yang lain agar kami balik dulu sampai ada jalur setapak yang benar-benar jelas. Dari awal menanjak sebenarnya aku sudah curiga dengan jalurnya. Untuk mengantisipasinya aku mematahkan beberapa daun pakis untuk menandakan jalan.
Kemudian karena jalur semakin tidak jelas, aku mencoba merobek beberapa plastik merah untuk dijadikan tanda di beberapa pohon. Hal tersebut aku lakukan bersama Genta dan Bowok yang ada di belakang.
Kami pun memutuskan untuk turun sampai di awal mulai tanjakan. Keluhan dan pertanyaan beberapa teman mulai terdengar. “Kita balik lagi ni, Kak? Tersesat ini, Kak” tanya beberapa teman..
“Tidak tersesat. Kita balik. Tadi sepertinya aku lihat jalur setapak ke kanan, mungkin itu jalurnya, coba kita balik dulu sampai di sana,” ajakku sembari menenangkan mereka.
Setelah jalan turun, kurang lebih 30 menit sambil mencabut beberapa tanda plastik merah yang aku ikat di pohon tadi, kami tiba di pertigaan jalan setapak yang aku katakana tadi.
“Nah, coba ini kayaknya jalurnya. Sebentar aku cek!”
***
Aku berjalan dan meminta teman untuk istirahat dulu sembari aku mengecek jalur setapak itu. Ternyata setelah beberapa meter aku berjalan, ada pita merah yang terikat. Kemudian aku berjalan lagi dan ada lagi pita merah. Aku berkesimpulan inilah jalurnya, karena juga terdapat jejak kaki dan beberapa sampah kecil. Aku bergegas balik memberitahukan yang lain.
”Ini jalurnya. Yook, gas lagi,” ajakku. Sekarang aku berada di depan barisan dan aku minta Genta dan Bowok tetap berada di belakang. Untuk memantau teman yang kelelahan dan melihat barang-barang yang mungkin terjatuh.
Setelah beberapa menit jalurpun semakin terlihat jelas dan aku yakin dengan jalur ini, karena pernah aku lewati menuju Gunung Tapak di pendakian sebelumnya. Akupun menunggu Genta dan Bowok yang ada di belakang sambil istirahat mengambil minum yang ada di dalam tasku dan snack coklat yang aku beli di toko modern tadi.
Aku minta teman lain untuk melanjutkan perjalanan. Sambil aku beristirahat.
Aku, Genta dan Bowo, kembali berjalan di belakang agar obrolan kami bisa dilanjutkan, karena sempat terpotong. Kami berbasa-basi dengan berjalan santai mengenai beberapa rencana bisnis kecil-kecilan yang pasti sulit untuk terlaksana.
Jam menunjukkan pukul sebelas. Perut sudah mulai keroncongan. Kami menggenjot perjalanan agar bisa makan di puncak. Sudah tidak sabar memasak mie dan minum kopi. Kami terus berjalan. Tak ada rasa ragu lagi dalam berjalan di jalur tersebut, karena jalur dan arah ke puncak Gunung Tapak memang sudah benar.
***
Pukul 11.30 kami tiba di puncak Gunung Tapak. Gunung dengan tinggi 1909 mdpl dan termasuk gunung tertinggi ke- 7 di Bali, menjadi saksi pertama pendakian Sapta Agra. Udara yang sangat sejuk menghilangkan rasa lelah kami. Puncak yang tak ramai. Hanya ada orang yang berzikir, membuat suasana asri dengan toleranai yang kental di Gunung Tapak. Aku ambil perbekalan di ransel, bongkar perlengkapan masak untuk masak air panas dan persiapkan mie instan yang kubawa.
Canda tawa saat di puncak Gunung Tapak | Foto: Istimewa
Canda tawa kami mengiringi sambil menikmati kesejukan Puncak Tapak. Di puncak Gunung Tapak sendiri terdapat dua tempat ibadah yaitu untuk umat Hindu berupa Padmasana dan beberapa pelinggih, dan ada juga makam Sali Pitu dan tempat beribadah umat muslim. Tempat yang bersebelahan tersebut menggambarkan toleransi ada di puncak Gunung Tapak.
Tak selang berapa lama makanan pun jadi kopi dan mie instan siap aku santap. Namun saat kami makan tiba hujan turun dengan deras.
“Wah hujan, pindah tempat, yook masuk ke pondok saja,” kataku sambil bergegas mengangkat barang yang tadinya aku gelar di luar.
Pondok yang cukup 20 orang itu membuat kami semakin sadar akan kebersaaman dalam pendakian itu. Makan bersama-sama di dalam pondok itu walaupun hanya sekedar mie instan dan kopi, cukup mengganjal perutku yang kosong. Cerita cerita kecil dan sedikit ejekan mewarnai pondok tersebut.
Rencananya kami akan sembahyang, namun hujan cukup lama, sampai bekal makan dan snack yang kami bawa sudah mulai habis. Sambil bercengkrama membahas perjalanan, tiba-tiba turun kabut dan hujan yang belum reda membuat badanku terasa dingin dan segera aku mengambil jaket di dalam tas.
**
Pukul 2 siang. Lanang dan Holy bertanya, “Men gini, gimana, Kak? Kita terobos saja hujannya, apa kita tunggu reda, kami bawa sih jas hujan, Kak,” kata beberapa dari mereka.. Sambil berharap hujan reda aku sedikit memberikan opsi. “Begini saja, kita kan tak siap untuk perjalanan malam, nah perjalanan turun itu sekitar satu setengah jam. Sampai jam 3 kita tunggu dulu. Kalau belum reda terpaksa kita terobos, kan hitunganya kita maksimal sampai di bawah jam 5. Jadi tidak kena malam!” kataku.
Memang kami tidak mempersiapkan diri untuk perjalanan malam seperti perlengkapan cahaya, selimut dan tenda.
Sambil menunggu jam 3, hujan pun nampak reda, namun masih gerimis. Kami pun bersiap siap untuk turun. Sebelum turun kami bersembahyang sesuai dengan agama yang kami peluk dan kepercayaan masing masing.
Walaupun gerimis dan hujan kami tetap berusaha untuk membersihkan puncak Gunung Tapak. Tak banyak sampah yang kami temukan di puncak Gunung Tapak. “Yang jelas, ingat ambil, dan bawa turun sampah plastik dari sini agar tidak membuat tempat ini kotor!” ajakku ke semua teman-teman yang ikut.
Dalam perjalanan pun kami terus mengambil sampah yang ada di jalur. Jalur tampak becek karena hujan yang turun. Licin. Terpeleset kerap kami alami. Baju kotor dan pacet yang menempel di kaki tak kami rasakan lagi. Tetap saling menjaga antar pendaki membuat solidaritas dan toleranai kami terjaga. Serasa perjalanan turun mengajarkan kami untuk tetap tolerasi terhadap teman teman.
Sambil saling bercerita mengenai pendakian bersama teman-teman lain, menambah perjalanan kami semakin berisi. Sepatu yang sudah basah dan kulit kaki yang mengembang sudah tak kami hiraukan juga.
Perjalanan turun yang hampirsatu setengah jam, menghatarkan kami ke areal Goetermal Bedugul, tempat awal kami lalui. Tidak banyak ambil foto, kami langsung menuju KPH Wanasari dengan kembali menyusuri jalan aspal yang membuat kami lebih mudah dalam berjalan. Kondisi sepatu kami sudah basah dan licin.
***
Pukul 5 kami tiba di KPH Wanasari. Sampah yang kami kumpulkan di perjalanan kurang lebih satu trush bag kemudian kami kumpulkan di tempat sampah base camp KPH Wanasari.
Kami membersihkan kaki karena lumpur dan celana yang sudah tak karuan bentuknya.
Kami bertemu dengan Bapak Tomi selaku sekretaris KPH Wanasari. kami beberapa kali berbincang bincang dengannya.
”Gimana pendakiannya? Hujan tadi di atas, apa ada tersesat atau salah jalan?” tanyanya kepadaku.
“Iya, Pak. Tadi kami salah jalan. Ada ke arah kiri dekat sini, kami naik dan itu salah. Tapi habis itu kami balik, untungnya ketemu jalurnya. Sampai di puncak saja kami kehujanan, Pak dan cukup deras. Ohh ya, Pak di atas ada makam dan Padmasana ya?” kataku.
Pak Tomi menjelaskan kalau memang di puncak Gunung Tapak itu ada makam Wali Pitu, jadi itu menggambarkan toleranai kami umat Hindu dengan umat muslim. Selain di puncak, ia juga menjelaskan kalau masyarakat juga saling hidup rukun di sini.
“Kadang kalau kami di sini misalnya hari raya Nyepi, kami dibantu oleh umat muslim, waktu pengarakan ogoh-ogoh. Itu kami saling membantu pemuda sana dan pecalang sama-sama menjaga ketertiban pengerupukan. Begitu juga waktu mereka ada acara seperti Lebaran kemarin, pecalang juga hadir. Jadi tidak hanya di puncak saja toleransinya di bawah pun toleranai masih terjaga,” jelasnya.
Perjalanan yang memberikan pelajaran kami tentang toleransi membuat keyakinan kami bahwa toleranai itu bisa diterapkan di mana saja.
Tak lama setelah kami melepas lelah dan bersih-bersih, berganti pakaian, kami pun bergantiang pamitan untuk menuju rumah masing-masing. [T]