SEJAUH INI, bagi beberapa teman, Singaraja diasosiasikan dengan kebahagiaan—jika bukan surga itu sendiri. Pantai. Bukit. Pohon nyiur. Sinar matahari. Tapi, menurut saya, surga juga punya tekanan sendiri. Kota ini, di lorong-lorong gelap di pinggiran, di kontrakan-kontrakan busuk yang ditinggali mahasiswa miskin seperti saya, sering berteriak: “Berbahagialah, sialan!”—sebuah tekanan kehidupan yang tak terelakan.
Dan di abad kedua puluh satu ini, kebahagiaan Singaraja tentu bukanlah tergantung pada dewa-dewa atau keberuntungan, sebagaimana yang dulu terjadi dalam sejarah manusia. Tidak, kebahagiaan siap diambil di sini.
Ya, yang kita butuhkan adalah kemauan untuk mengumpulkannya, cukup inisiatif untuk terlebih dahulu mencobanya, dan sudah barang tentu, untuk ukuran beberapa orang, cukup duit untuk membeli ayam di KFC, nongkrong di MCD, atau menghabiskan waktu di keramaian Pantai Penimbangan—yang lebih mirip diskotik daripada pantai itu—atau cukup menikmati malam, duduk di angkringan-angkringan Jl. A Yani, menikmati seporsi nasi kuning, gorengan, kopi, dengan segala macam obrolan, dari mulai yang berkualitas macam politik, sastra, agama, filsafat, yang keluar dari bualan-bualan (yang mengaku) aktivis mahasiswa, sampai yang jorok macam obrolan tentang janda, film bokep terbaru, hingga siapa pemain ayam kampus saat ini.
Selama saya hidup di kota ini, selain kadang menjengkelkan, bahagia sepertinya paling banyak saya rasakan. Meskipun begitu, Singaraja dalam spektrum kebahagiaan tidaklah setinggi yang Anda kira. Toh, Singaraja bukanlah kota paling bahagia di dunia jika diukur dengan metrik bernama happiness index yang digunakan untuk mengukur wellbeing populasi penduduknya.
Kota-kota di Amerika yang memiliki status adidaya saja, menurut penelitian Adrian White di University of Leicester Inggris, menempatkannya sebagai negara paling bahagia nomor dua puluh tiga di dunia, di bawah negara-negara seperti Kosta Rika, Malta, bahkan Malaysia. Apalagi Singaraja, Indonesia—yang bahkan tak ada satu toko buku pun di sini.
Beberapa orang Singaraja juga suka basa-basi dengan gagasan bahwa uang tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi berperilaku seakan-akan memang uang bisa membeli kebahagiaan. Seperti juga Amerika, jika ditanya apa yang akan meningkatkan kualitas hidup mereka, menurut penelitian University of Michigan, jawaban nomor satu adalah uang.
Tetapi, Singaraja tetap menjadi sebuah kota yang optimis. Orang-orangnya penuh harap terhadap masa depan. Saya kira sikap penuh harap itu yang akan membuat Singaraja lebih bahagia.
***
Mahfud Ikhwan punya teori simpel soal perantau di Jogja. Katanya, orang yang pernah hidup di Jogja akan terbagi dua: 1) orang yang tidak bisa melepaskan diri dari Jogja; 2) orang yang bisa keluar dari Jogja, tapi selalu dihantui keinginan untuk kembali. Dua jenis orang ini, tentu saja, sama-sama kena kutuk.
Saya pikir teori simpel tersebut tak hanya berlaku untuk perantau Jogja saja, tetapi juga berlaku bagi perantau di mana pun, termasuk perantau Singaraja, Bali.
Hampir genap sembilan tahun saya hidup di kota tempat bapaknya Bung Karno jatuh cinta itu (Ida Ayu Nyoman Rai, ibunda dari Presiden Indonesia pertama, Soekarno, lahir di Buleleng). Sejak tak tahu apa-apa sampai tahu bahwa kota kecil ini dulu adalah pusat pemerintahan Sunda Kecil, dan geliat sastra, juga pers, berawal dari kota yang identik dengan sebutan Bali Utara ini.
Ya, saya termasuk orang pertama yang disebut Mahfud sebagai “orang yang tidak bisa melepaskan diri dari (Jogja) Singaraja”, orang yang kena kutuk. Orang yang sudah terlanjur jatuh hati, dan kemudian menaruh harapan, kepada kota yang pelabuhan tuanya—pelabuhan yang penuh nilai-nilai sejarah—dengan serampangan disebut sebagai Eks Pelabuhan Buleleng itu—“eks”, semacam nama yang disematkan untuk napiter atau simpatisan PKI 1965.
Tetapi, sampai hari ini, saya tak paham betul apa alasan yang membuat saya betah tinggal di Singaraja. Padahal, sependek ingatan, tak sedikit perlakuan buruk yang saya dapat selama tinggal di kota kelahiran sastrawan angkatan Pujangga Baru, penulis roman terkenal, Sukreni Gadis Bali, Anak Agung Nyoman Pandji Tisna itu.
Salah satunya, sejak menjadi mahasiswa, misalnya, selain membuat saya merasa senang, juga benci sekaligus. Senang karena saya menjadi mahasiswa (keren untuk ukuran kampung kami); dan benci karena pengalaman awal masuk kuliah tak seindah yang saya bayangkan.
Maka tak mengherankan, kesan-kesan terdalam sepanjang kuliah di kampus Jl. Udayana itu adalah serangkaian hal-hal konyol yang sepele dan pemberontakan-pemberontakan kecil yang tidak penting.
Kuliah, dalam kepala saya, adalah sama dengan apa yang ditampilkan sinetron-sinetron dangkal dan kerap tidak logis kita: kegiatan anak-anak muda labil dengan elana jens, sepatu bebas, kaos oblong, kemeja tak dikancingkan, rambut trendi, lebih banyak nongkrong—dan berkelahi—di kantin daripada di kelas; lebih banyak bercinta alih-alih membaca. Ya, semenyenagkan itu.
Dan saya memang bego. Itu hanya ada di senetron, tak ada di dunia nyata. Oh, tapi soal bercinta dan berkelahi barangkali nyaris mendekati—jika tak mau dikatakan sama.
Di awal perkuliahan, saya pernah benar-benar marah, benci, dan sempat mengutuk, bukan saja kepada orang-orangnya, tapi juga kepada Singaraja sebagai kota. Bagaimana tidak? Di zaman reformasi seperti ini, di Fakultas Ekonomi itu, kakak-kakak tingkat di HMJ yang menyebalkan itu (yang sok jago itu), membenci saya karena pikiran saya (atau mungkin saya Muslim dan dari Jawa?) yang berbeda (kritik saya atau semacamnya). Karenanya, bagi mereka, pernyataan yang melawan adalah penistaan dan bukannya kritik. (Saya pernah dirisak habis-habisan sebab mengkritisi kebijak kampus—dan itu membuat saya nyaris berhenti kuliah.)
Beberapa dari mereka (anak-anak kampus yang sok tadi) juga jelas menunjukkan ketidakpeduliannya kepada saya. Dan benar kata Einstein, “Dunia ini adalah sebuah tempat yang berbahaya untuk didiami; bukan karena orang-orangnya yang jahat, tetapi karena orang-orangnya yang tak peduli.” Cih!
Saya menduga bahwa etos kerja orang-orang Singaraja itu rendah. Tak ada persaingan ketat di sini. Hidup seolah-olah cincai-cincai saja. Ayem tentrem, tak ada kompetisi, seolah segalanya sudah pasti, sudah ditentukan. Tapi bukankah itu yang banyak orang harapkan? Memangnya apa enaknya kisruh, konflik, dan kompetisi?
Tapi, yang satu ini, barangkali memang cukup agak membosankan. Di Singaraja tak ada satu toko buku yang representatif untuk, paling tidak, saya dapat menghibur diri—dan ini tentu sangat bertentangan dengan julukan kota yang dibanggakan: Kota Pendidikan.
(Ketika sebuah kota tak lagi menyajikan apa-apa selain tempat perbelanjaan, ketika itu pula saya menganggap itu adalah sebuah kebosanan. Ketika ruang publik menjelma menjadi tempat persaingan pedagang-pedagang besar, tanpa kita sadari mereka hanya mengajarkan tentang membeli, membeli, dan membeli, tidak berpikir lagi. Maka dari kebosanan itulah, saya dan teman-teman yang peduli dengan literasi, dulu, sepakat untuk mengisi ruang kosong itu. Kami duduk di trotoar dengan puluhan buku. Dan “gerombolan” ini kami namakan Perpustakaan Jalanan Lentera Merah—semacam idealisme, kepedulian, dan perlawanan ala-ala. Buka setiap malam minggu pukul 19.00 WITA di Taman Kota Singaraja. Sayang, umurnya tak lebih lama dari masa jabatan presiden.)
Ah, tetapi, tetap saja, seperti yang sudah saya sampaikan di awal, kebahagiaan yang diberikan kota ini kepada saya juga tak kurang-kurang. Silakan baca tulisan ini sampai habis.
***
Dia adalah sebuah bukit kecil, bukit Ser namanya, di Pemuteran, Gerokgak, Buleleng (Singaraja) Barat. Bukit kecil itu membuat saya jatuh cinta. Saya mencintai bagaimana angin berbisik lembut dan bagaimana perahu bergerak di antara ombak muncul tenggelam dengan begitu anggunnya. Saya mencintai bukit ini dengan sunrise segar dan sunset yang berwarna seperti kue croissant, serta laut biru dengan hidangan perahu nelayan, biota laut, dan ombak yang anggun.
Saya menyukai Pura kecil di atas punggungnya. Saya mencintai pohon-pohonnya. Saya mencintai bagaimana kicau burung beradu (atau kolaborasi?) dengan deru mesin perahu nelayan, perahu-perahu kecil muncul dengan ajaibnya di bawah kaki bukit.
Saya sering diliputi dorongan untuk tinggal di Bukit Ser selamanya, di atasnya atau di kakinya atau di pinggir pantainya dan mana saja. Tidak penting benar. Saya merasa dapat bahagia di sini, di atas bukit kecil ini.
Entah mengapa, setiap kali saya ke bukit kecil ini, dalam hati timbul sensasi kebebasan yang menyenangkan, bahwa hidup begitu ringkas, hanya seukuran ransel yang saya sandang di pundak. Saya merasa akan selamat dan tak akan menderita hanya dengan mengandalkan hidup saya pada satu ransel yang melekat di tubuh saya.
Dan di tempat ini pula, saya dapat bertanya-tanya tentang “apa yang membuat manusia merasa menjadi makhluk yang paling sempurna di jagat raya?” Saya tidak tahu alasannya secara masuk akal. Kita dan seekor ayam atau sapi, misalnya, sama-sama ada, sama-sama mengisi ruang keberadaan. Apa yang membuat kita harus merasa lebih tinggi derajatnya daripada seekor sapi? Belum tentu sapi lebih menderita daripada diri kita dan kita lebih bahagia daripadanya?
(Tampaknya menjadi manusia bukanlah prestasi yang harus dibangga-banggakan. Kita pun tidak tahu kenapa kita menjadi manusia, bukannya sapi, ayam, atau kerbau. Kita tak bisa memilih lahir sebagai manusia. Kita hanya menjalani takdir sebagai manusia. Sapi pun hanya menjalani takdirnya sebagai sapi. Bagaimana bisa kita mesti merasa bangga?)
Ah, beberapa tempat tertentu memang bagaikan keluarga. Tempat-tempat itu terus menerus membuat kita merasa terganggu, terutama pada hari-hari libur. Kita ingin kembali lagi karena kita tahu, di lubuk hati kita, bahwa takdir kita saling terkait. Bagi saya, tempat itu adalah Bukit Ser—tempat terbaik di Singaraja untuk menenangkan diri.
Lanjut.
Dan desa tua (Bali Aga) itu, Pedawa, membuat saya kagum, khususnya bangunan rumah tuanya yang bernama “Bandung Rangki” itu.
(Bandung Rangki itu sangat eksotis. Minimalis, tapi lengkap. Antik, tapi menarik. Sederhana, tapi mempesona. Saya seperti pulang ke rumah. Dan itu mengingatkan saya pada kepingan-kepingan masa kecil. Rumah itu berdinding anyaman bambu (yang disebut bedeg—atau gedek dalam bahasa kampung saya), tapi dinding depan, sepertinya terbuat dari anyaman rotan; berlantai tanah; bertiang kayu; dan beratap sirap bambu. Di dalamnya, terdapat dipan tempat tidur yang beralaskan tikar anyaman rotan, perabotan rumah tangga tradisional yang tersusun rapi—yang beberapa telah berwarna hitam sebab sering terkena asap tungku, tungku api yang terbuat dari tanah. Di depan Bandung Rangki, berdiri kokoh lumbung padi khas Buleleng. Sedangkan suasana sekitarnya, jangan ditanya lagi, asrinya tak tanggung-tanggung.
Eric Weiner, seorang mantan reporter untuk The New York Times dan seorang Knight Journalism Fellow di Stanford University, dalam bukunya yang berjudul The Geography of Bliss—buku tentang kisah seorang penggerutu yang berkeliling dunia mencari negara paling membahagiakan—menuliskan, bahwa: bagi orang Belanda, kebahagiaan adalah angka; bagi orang Swiss, kebahagiaan adalah kebosanan; bagi orang Bhutan, kebahagiaan adalah kebijakan; bagi orang Qatar, kebahagiaan adalah menang lotre; bagi orang Islandia, kebahagiaan adalah kegagalan; bagi orang Moldova, kebahagiaan adalah berada di suatu tempat lain; bagi orang Thailand, kebahagiaan adalah tidak berpikir; bagi orang Britania Raya, kebahagiaan adalah karya yang sedang berlangsung; bagi orang India, kebahagiaan adalah kontradiksi; bagi orang Amerika, kebahagiaan adalah rumah.
Dan seandainya Eric mengunjungi Desa Tua (Bali Aga) Pedawa di Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, saya tebak, mungkin, ia akan menuliskan: bagi orang Pedawa, kebahagiaan adalah kekeluargaan.
Bagi orang Pedawa, kebahagiaan adalah kekeluargaan (tidak seperti mahasiswa-mahasiswa sok jago Fakultas Ekonomi yang merisak saya, dulu)—berbagi dengan sesama, seperti kata Christopher McCandless, “Happiness only real when shared”, kebahagiaan akan terlihat nyata jika kita membaginya.
Lanjut?
Ya Tuhan, ternyata sudah panjang sekali tulisan ini. Pokoknya ada banyak hal menyenangkan di Singaraja—walaupun tidak adanya toko buku tetap menyebalkan. Artinya, banyak tempat, dan banyak orang baik di sini. Banyak pula tokoh yang bisa saya jadikan guru (banyak orang yang saya anggap guru di Singaraja, lain kali saya ceritakan), menimba sebanyak-banyaknya ilmu dan pengalaman, sebagai bekal kembali ke kampung halaman, suatu saat nanti.
Dan dari semua rangkaian ini, saya sampai pada satu titik—yang mungkin, sekali lagi mungkin—inilah yang disebut sebagai: Cinta—oh, apakah cinta bisa disebut sebagai kutukan?.[T]