RUMAH KLUNGKUNG
Mata itu matahari seluruh mata
dari hulu kali yang jauh
dusun dusun ketakjuban
mengalir aksara ning aksara
semesta kecil semesta agung
hanyut-hanyut ke dasar getaran
tumpah lewat matamata pisau
sepanjang asal usul
pantai yang segar
melayangkan
asmara pemberontakan pernah tertulis
tragedi ketulusan belapati
kekawin tarian langit mengisi
angkasa jiwaraya
dihembus angin tanah ini
masuklah
mata itu matahari seluruh mata
dusun dusun ketakjuban
rasakan jiwanya mandikan kemesraan
aksara ning aksara
biarkanlah
anak-anak yang lahir
bercakap di balai kambang
merunduk menggemakan puputan
sambil tengadah ke luas langit
betapa segar
asahan nurani masuk di rumah sendiri
BUKU HARIAN IBU BELUM SELESAI
Apa ada yang termenung lewat pagi
menunggu satu demi satu
tulisan ibu
dongeng apa lagi ada
mimpi yang melayang-layang
begitu nakal mengumpat angin waktu
mengajak bercanda
Apa ada yang termenung usai upacara
bulan sendiri
di mata kanak-kanak yang memainkan
kotak-kotak pesawat
menunggu satu demi satu
tulisan ibu
dan dongeng di kotak berdenyar
menghamburkan kembang-kembang api
dimanakah kunang-kunang
begitu lama tak terungkap
Buku harian ibu belum selesai
buku semesta wangi tanah
kenangkanlah
sekalipun ada yang retak
karena kanak-kanak mencintai
apa adanya aksara ibu
Buku harian ibu belum selesai
kenangkanlah
ada halaman demi halaman
mengajari kecewa untuk mengerti
bahwa buku itu tak pernah selesai
PUPUTAN KLUNGKUNG
- Untuk Kumpi Wayan
Malam lewat
tak ada kanak-kanak kehilangan
namun, gelisah kanak-kanak itu
menjadi sejarah lebih bermakna
di luar beribu kisah
Biarlah sunyi mengaburkan
akan diri seorang lelaki
di mana kesetiaannya tak tersentuh apa pun
ia ingat,
anak-anak memanggilnya kumpi
Kumpi Wayan sang penjaga benteng
diam-diam membuka pintu
rindu menunggu
bau darah
api perabuan senja hari
setelah keris tombak
berlawanan arah
bumi penuh aksara mengabaikan hening
Kumpi Wayan sang penjaga benteng
menyimpannya jadi kenangan
ia perih penuh kecewa
ia tak ikut mati,
tapi bentengnya menembus waktu
memasuki halaman tanah rumah
kampungnya sendiri
Kumpi Wayan menyimpan kesetiaan
memberi isyarat
bahwa jalan tak ada kembali
2007
KALI UNDA (I)
Jarak percakapan kaliunda mengalir
angin menolak
menyimpan rasa perkataan
karena air mata telah mengajari
merayap ketubuh lelaki
yang berdiri tengah jembatan
matanya membentuk pasir batu
ladang ladang berakar
pohon pohon upacara
Lelaki itu tersenyum
memandang kibar kain di pesisi
jukung jukung nelayan
sambil merasakan anak anak panah
mengarah ke dada
semakin menganga luka rindu
luka anak anak yang dibelai aksara
kasih para tetua
sepanjang hulu sampai hilir kaliunda
Keseimbangan jagat diri
di air tetesan sejarah
lelaki itu mendengar anak anak
mengeja aksara
dan jembatan bergetar
Jarak percakapan kaliunda mengalir
dari ujung jembatan
lelaki itu berujar
memungut-membuang
bayang-bayang bolak balik tak penuh
kalau ini peperangan
jangan jadi pecundang
KUSANEGARA KUSAMBA
(Bagi RS)
Laut belum tenang dalam lelap
nyanyian anak anak bermain ombak
terbawa dalam tidur
memasuki kampung purba
hembusan ilalang riuh sorak sorai
menyergap meruntuhkan pertahanan
kampung kemenangan aksara
sungguh masa lalu terasa lain
kusanegara kusamba
malam makin masuk
dengan berbagi rindu
dimanakah rumah dalam warna kusam
aku ingat
karena percakapan saling silang
sampai cahaya merah menembus jendela
mengusap usap kantuk
sajak sajak belum juga jadi
kusanegara kusamba
matahari menyapa
mengapa belum juga ada terbangun
percakapan percakapan telah dilupakan
sesungguhnya aku ingat
adakah kabar kerinduanmu bertatap
dengan takzim aku katakan
kampung purba kemenangan aksara
jalan panjang bersajak
membuatku bertahan
Klungkung 2020
KALI UNDA (II)
Mengalirlah air mata
menyusur sepanjang kali unda
hembusan angin bunyi jembatan
sejak subuh orang orang melintas
saling bercakap
dalam gelap masih terlihat jalan
inilah pertaruhan
tanpa air mata air kali sejarah
apakah esok masih hidup
mengalirlah air mata
ada yang namanya harapan
sepanjang kesetiaan terjaga
masih terdengar bunyi jembatan
menyimpan segala kekuatan
menjaga hidup
batu kali sekian kali tergerus
orang orang yang melintas
sudah entah dimana
hanya potongan potongan cinta
hanyut terbawa air kali unda
kalaupun aku berdiri
di tengah jembatan kayu kali unda
tak ada bulan
tak kulihat siapa
hanya kenangan itu teramat dahsyat
untuk ditinggal
Binduana, Klungkung 84-20
- Catatan: Sajak-sajak yang dimuat ini diambil dari buku “Buku Harian Ibu Belum Selesai“
TENTANG PENYAIR:
I Wayan Suartha dilahirkan di Klungkung tahun 1957. Pensiun sebagai guru ASN (aparatur sipil negara) di SMA Pariwisata PGRI Dawan, Klungkung. Setelah pensiun tahun 2017, ditugasi sebagai ketua guru literasi di sekolah yang sama.
Suartha menulis sajak sejak SMP tetapi baru dipublikasikan tahun 1977 di sejumlah media massa, seperti Bali Post, Karya Bakti, Warta Mahasiswa, Nusa Tenggara, majalah Hai, dan Merdeka. Di samping menulis sajak, Suartha juga aktif menulis cerpen, naskah drama, serta catatan kecil apresiasi sastra dan teater. Puluhan fragmennya pernah dimainkan di TVRI Stasiun Denpasar.
Sajak-sajaknya dimuat dalam sejumlah antologi bersama penyair lain, antara lain Pintu Ilalang, Spektrum, Teh Ginseng, Nuansa Tata Warna Batin, antologi puisi berbahasa Bali Pupute Tan Sida Puput serta Klungkung Tanah Tua Tanah Cinta. Tahun 2005, bersama penyair IBG Parwita diundang membacakan sajaknya dalam Ubud Writers and Readers Festival. Naskah dramanya, Rantai Putus terbit tahun 2012 yang mengantarkannya meraih penghargaan Widya Pataka dari Pemerintah Provinsi Bali. Tahun 2020, buku puisi tunggalnya terbit dengan judul Buku Harian Ibu Belum Selesai.
Dia kini tinggal di Banjar Pekandelan Kelod, Semarapura, Klungkung. [T]