SABTU MALAM, saat Lebaran tiba, 22 April 2023, Mas Sigit Susanto datang ke Denpasar. Beberapa dari kami di Lingkar Studi Sastra Denpasar sudah mengetahui jika Mas Sigit—panggilan akrab kami kepadanya, akan datang dan tinggal beberapa hari di Bali.
Sebagai seseorang yang kami anggap paling getol membicarakan Kafka di Indonesia, sudah tentu kabar ini kami manfaatkan untuk bertemu Mas Sigit dan mengajaknya untuk membuat satu diskusi Mengenal Franz Kafka dari Dekat.
Diskusi diadakan di Selasar Kantor Penerbit Partikular, Lantai Atas Siku Kopi, di Jalan Kepundung Denpasar.
Sebagai diskusi awal mengenal Kafka, kami tidak membahas karya tertentu yang pernah ditulisnya, namun lebih pada mengenal siapa Franz Kafka, apa yang ditulisnya, pengaruhnya pada penulis-penulis lain dan cerita-cerita lainnya.
Diskusi Mengenal Franz Kafka dipantik oleh tiga orang; Mas Sigit Susanto sebagai penulis dan penerjemah karya-karya Kafka dari bahasa Jerman, Putu Supartika yang pernah menerjemahkan cerpen Di Hadapan Hukum karya Kafka ke dalam bahasa Bali, dan Novy Rainy, mahasiswi yang baru saja menyelesaikan studinya tentang Kafkaesque dalam karya Haruki Murakami.
Diskusi diawali oleh Mas Sigit yang menceritakan dengan pelan dan runut siapa Franz Kafka:
Franz Kafka (3 Juli 1883 – 3 Juni 1924) adalah seorang penulis berkebangsaan Jerman. Kafka lahir di Praha, Bohemia (sekarang Republik Ceko), dari keluarga Yahudi. Ayahnya adalah seorang pedagang dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga.
Kafka menghabiskan sebagian besar hidupnya di Praha dan bekerja sebagai pegawai negeri di perusahaan asuransi yang sangat membosankan. Selama waktu luangnya, ia menulis banyak karya sastra, termasuk novel dan cerpen, yang sekarang dianggap sebagai karya-karya klasik sastra modern.
Beberapa karyanya yang paling terkenal adalah “The Metamorphosis”, “The Trial”, dan “The Castle”. Kafka juga menulis banyak surat kepada teman dan anggota keluarganya, yang memberikan wawasan tentang kehidupan pribadinya dan pandangannya tentang sastra dan budaya.
Karya-karya Kafka sering kali dianggap sebagai cermin bagi kondisi manusia modern, di mana individu merasa terjebak dalam sistem yang rumit dan kaku, dan merasa canggung dan tidak memiliki kendali atas hidup mereka sendiri.
Kafka menggambarkan tema-tema seperti alienasi, penyimpangan sosial, perasaan tidak berdaya, dan kehilangan identitas dalam karyanya, yang kami pikir masih relevan hingga saat ini. Diskusi kemudian bergulir pada penulis-penulis yang terpengaruh pada karya-karya Kafka. Novy Rainy menimpali dengan cerita penelitiannya yang melihat kesamaan gaya Franz Kafka dalam novel ノルウェイの森, Noruwei no Mori atau Norwegian Wood karya Haruki Murakami.
Suasana diskusi Mengenal Franz Kafka dari Dekat | Foto: Ist
Diskusi dijeda oleh sesi mendengarkan Putu Supartika membacakan terjemahan Di Hadapan Hukum, yang Supartika terjemahkan menjadi Di Malun Hukume. Sebelum membacakan, Supartika sempat menjelaskan bahwa di tahun 2018 atau 2019, sempat terjemahannya ini dikritik pada bagian judulnya.
Hal mengenai terjemahan juga berlanjut bahkan setelah Supartika membacakan hasil terjemahannya, Mas Sigit yang kemudian bercerita soal beberapa hal mengenai terjemahannya, cerita bagaimana dia menemukan Franz Kafka di Jerman, dan pengalaman mengunjungi makam penulis idolanya itu.
Saking runut dan pelannya Mas Sigit bercerita, kami merasa seperti sangat dekat dengan Kafka. “Mas Sigit sudah kayak saudaranya Kafka ya!” Kami pun ikut tertawa mendengar celetukan itu.
Seolah memang Mas Sigit tau semuanya, dia menjawab dengan bercerita; runut dan pelan. Mulai dari karya-karyanya, gaya Kafka dalam karya orang lain bahkan sampai posisi makamnya Kafka di sebelah mana dia tahu. [T]