WARNA-WARNI SEMESTA RAYA adalah taman raya estetik, hakekat Ilahi yang terindrawi, memasuki wilayah ragam karakter psikologisnya. Orang-orang super di masa lalu, menyerap, memaknai, menyadari lalu merefleksikan menjadi “sesuatu” prilaku karma yang berguna. Saat itu orang memerlukan konsentrasi panjang penuh liku.
Dalam kontek inilah “keyakinan” merupakan “kekuatan” yang berperan sentral dalam mengkondisikan cita-cita “tujuan hidup sejati” yang tumbuh dari niat suci berpengetahuan.
Catatan-catatan pengetahuan yang menggunung, seringkali disebut Candi Pengetahuan dan juga menjadi arsitektur candi-candi religius, diciptakan oleh para jnanim dan para arsitektur, serta kreator-kreator seni yang luar biasa.
Realitas ini mengindikasikan bahwa perjuangan para suci mencatat, menyerap, memaknai mencapai “guna” sebagai upaya “mengenal” “kebesaran” atau juga ke “esaan-Nya”.
Tinggalan artefak-artefak suci sebagai rekaman tanda beribu makna, bangkit dari kubur semesta. Sekarang misteri-misteri itu terbuka dan terbuka terus, memerlukan “kajian” dan “rawatan fisik” serta “ruwatan suci” sebagai aktifitas tulus menghormati dan memuliakan leluhur melalui karya-karya seni estetik, simbolik nan spiritual, mencapai yoga atau juga disebut “berkarma yoga”.
Sadar tidak sadar orang-orang terpanggil untuk melaksanakan kewajiban melayani kuasa “keterbukaan semesta raya terhadap musteri terkubur” itu sendiri. Barangkali seperti itu alam bekerja amat bijak; mengasihi, melindungi apa yang pernah menjadi “persembahan” kebajikan manusia atas upaya penyempurnaan dirinya di tengah-tengah edukasi Guru Semesta Raya (karma jnana).
Mengenang dan merenungi kebenaran ini, halusinasi kita bisa terbawa ke masa lalu, terutama keunggulan membangun peradabannya. Mengenang menjadi sangat penting untuk belajar melihat masa lalu, untuk penyempurnaan masa kini dan menuju hari esok yang lebih baik serta bermartabat yang bisa menteladani masa depan.
Demikianlah barangkali resapan makna dari gambaran tattwa, Mahadewa digambarkan bersenjata Tri Sula yang menguasai tiga waktu; dahulu, sekarang dan yang akan datang.
Rekaman semesta raya pelindung artefak, merupakan wujud “dura dharsana”, sebagai upaya edukasi kepada manusia dan seluruh ciptaan-Nya, agar sadar pada dirinya dan arah tujuan hidupnya.
Dari kontek inilah lahir prinsip-prinsip kehalusan citta rasa terwujud, hingga mampu mendengarkan suara-suara suci semesta raya (dura Srawana), yang dapat menyelaraskan dirinya dengan semesta raya dan Penguasa-Nya (atman menuju Brahman).
Terkuburnya artefak masa lalu, barangkali adalah realitas gerak semesta untuk mengubah jaman, karena tercipta manusia agresif berideologi pembaharuan dan semangat perjuangannya. Realitas ini patut menjadi renungan ditengah-realitas dan berupaya sadar sesadarnya bahwa haluan energi penyadaran memiliki anugrahnya masing masing, sebagai wujud keadilan-Nya.
Bangkitnya artefak sebagai misteri yang tersembunyi tentu semua itu bisa berjalan lancar atas lindungan pemerintah sebagai Guru Wisesa.
Misteri itu tiada lain adalah peradaban masa lalu, yang menjadi intisari perjuangan para leluhur nenek moyang dalam upaya berinterfenetrasi terhadap alam semesta dan lingkungan sosialnya. Kualitasnya adalah “ciri” yang “mencirikan” dominasi diatarara pengetahuan spiritual dan posisinya dalam pengetahuan material duniawi yang tidak kekal itu.
Cerminan ciri yang mencirikan secara kosmologis, menempatkan martabat luar biasa, mengedukasi masa kini, yang telah memasuki post melenial atau juga post-post wacana sosial lainnya.
Akankah arus meleniel ini, melupakan esensial nan vital peradaban luhur yang meluhurkan pengusungnya? Tentu jawabannya memerlukan kendali dan juga siap menengok, menelisik, memposisikan serta menempatkan diri pada pilihan atau konsentrasi dominannya. Semuanya itu mesti diposisikan pada sisi keluhurnan dan sisi material dalam bingkai arus masa kini.
Artinya manusia kini dihadapkan pada pilihan bijak diantara “kuasa semesta raya” dan “rekayasa jaman”.
Suatu tanda menunjukkan bahwa; “kekuatan rekayasa jaman, lebih menawarkan aneka varian terhadap bangkitnya selera, napsu dan akhirnya ego kekuasaan menjadi dominan”. Air dikuasai oleh merek, sumber daya alam dalam suatu negara tertentu bisa dikuasai oleh kekuatan tertentu dan lain sebagainya. Dalam kontek inilah gradasi paham spiritual nan suci, erosi bergerak terus menerus ke alur material duniawi (seculler).
Pergerakan di jalur inilah yang membalikan arah pandang, menghasilkan budaya-budaya “pembutaan” kosmologis hingga merusak artefak dianggap sebagai “kebenaran”.
Akankah peradaban kekuasan yang menguasai ini, yang luput memberi keadilan magi umat manusia sekitarnya? Jawaban dari semuanya inilah yang lebih banyak menimbulkan konflik tiada henti.
Barangkali menghadapi situasi seperti inilah manusia yang sadar pada keadilan harus berjuang mengatasi ketidak adilan, menjadi kesatria-kesatria hingga Yang Maha Adil, melindungi. Bagaikan seseorang bila ingin minum air, wajib mewadahi air itu terlebih dahulu, agar bisa dinikmati.
Semoga Menjadi Renungan dan Refleksi. [T]