TAHUN 1970-AN KE BAWAH, cerita perempuan muda jadi petani adalah cerita biasa. Tidak ada nilai beritanya. Kini, pada zaman millennial, perempuan muda memantapkan diri jadi petani adalah berita luar biasa.
Desa Blahkiuh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, ada seorang perempuan muda, usianya baru 22 tahun, dan memutuskan diri menjadi petani. Nama perempuan itu, Ni Made Winda Sumantari. Ia lahir 23 Juli 2000.
Winda bisa disebut sebagai perempuan luar biasa karena keputusannya yang tak biasa. Pada saat perempuan muda lainnya berlomba masuk kantor, ia justru menjadikan sawah sebagai kantor untuk mendapatkan penghasilan.
***
Saya bertemu Winda pada Senin, 11 April 2023. Saat itu saya mengikuti aktifitas program wisata berkelanjutan, Plesir ke Desa, bersama beberapa teman.
Tepat siang hari pukul 13.00 WITA saya bersama teman berangkat dari Desa Sading, Badung, menuju Desa Blahkiuh. Kami naik bemo.
Hanya membutuhkan waktu 30 menit kami sampai di Desa Blahkiuh. Kami yang melakukan “Perjalanan Wisata Desa” hendak bertemu dan mendengarkan cerita seorang remaja putri yang memantapkan diri jadi petani. Ya, itu, Ni Made Winda Sumantari.
Winda, begitu perempuan manis ini dipanggil. Ia anak kedua dari pasangan I Made Jana (54 tahun) dan Ni Made Sutami (47 tahun)
Kami sampai pada sebuah jalan desa, dan Winda menyambut kami untuk diajak menuju rumahnya di Banjar Ulapan.
Dalam perjalanan menuju rumah Winda, saya masih bertanya-tanya dalam diri, apa yang akan saya temukan dalam perjalanan ke desa ini. Namun, tak ada yang tidak menarik hati jika sudah berada di sebuah desa. Dan, kemudian saya memang temukan banyak hal yang menarik perhatian, terutama hal-hal yang jarang ditemukan di desa lain.
Di rumah Winda kami disuguhi jamu kumis kucing. Itu jamu yang dibuat dari bahan utama tanaman kumis kucing (Orthosiphon aristatus). Kebetulan banyak tanaman kumis kucing di sekitar rumah Winda.
Kumis kucing memang dipercaya sebagai tanaman obat. Tanaman ini berbatang basah yang tegak dengan bunga menyerupai kumis kucing. Tanaman ini dikenal dengan berbagai istilah seperti: kidney tea plants/java tea (Inggris), giri-giri marah (Sumatera), remujung (Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan songot koceng (Madura). Tanaman Kumis kucing berasal dari wilayah Afrika tropis, kemudian menyebar ke wilayah Asia dan Australia, tentu saja sampai ke sekitar rumah Winda..
Setelah minum jamu kumis kucing, kami bersiap untuk berjalan-jalan keliling desa, perkebunan dan persawahan. Winda sendiri sebagai tour leader sekaligus narasumber.
Pemandangan sawah di kawasan subak Desa Blahkiuh punya ciri khas tersendiri. Wilayahnya cukup datar, dengan pemandangan gunung-gunung di sebelah utara. Pepohonan masih rindang.
Foto: Trekking di tepi parit menuju persawahan Desa Blahkiuh
Perjalanan dilakukan kurang lebih dua kilometer ini. Sepanjang perjalanan saya pelan-pelan mulai mengerti siapa sesungguh Winda, perempuan muda yang tak biasa ini.
Setelah Winda menjelaskan sistem subak secara sederhana sambil berjalan-jalan, tibalah saya di sawah yang menjadi tujuan utama. Kami ngobrol di tengah gubuk yang mungil.
Sebagai petani, Winda menjelaskan berbagai kegiatannya selama ia berada di sawah. Selain menanam padi, ia juga menanam sayur seperti kangkung, sayur hijau, dan kol.
Kami ikut melakukan praktek penanaman. Dan, Winda mengarahkan kami dengan sabar. Kami menyemai bibit kangkung di tray yang sudah disiapkan.
Foto: kami memetik kangkung
Setelah itu, kami diajak intuk menanam bibit kangkung dan menggemburkan tanah. Sebagian besar dari kami sangat tertarik melakukan apa yang Winda suruh, seraya merasakan bagaimana menjadi petani. Saya sendiri menyadari kegiatan ini lebih dari sesuatu yang bisa dianggap menarik.
***
Ngomong-ngomong, bagaimana Winda bisa memutuskan untuk menjadi petani?
“Saya termotivasi dengan kehidupan orang tua dulu, walaupun menjadi petani tapi masih bisa menghidupi keluarga, menyekolahkan anaknya,” kata Winda.
Winda juga melihat dirinya sendiri yang bisa sekolah karena hasil pertanian di sawah. Karena menyadari dirinya bisa sekolah dari hasil pertanian, ia pun termotivasi menjadi petani dan mau mendalami pertanian.
“Saya meyakinkan diri bisa sukses di pertanian. Jangan takut kotor. Petani itu memang harus kotor,” kata Winda.
Keputusan untuk menjadi petani ternyata juga punya tantangan tersendiri.
“Awalnya tidak didukung orang tua setelah saya memutuskan menjadi petani,” kata Winda.
Orang tua, kata Winda, tak mau anaknya menjadi petani barangkali karena pemikiran orang luar yang menggangap menjadi petani itu adalah satu langkah mundur. Padahal kemajuan banyak orang yang dinikmati sekarang ini ada karena orang tua mereka menjadi petani.
Foto: Pemandangan persawahan Desa Blahkiuh
Tantangan paling berat, kata Winda, saat memeutuskan menjadi petani tepat dua tahun yang lalu ia hanya punya modal Rp 100.000 untuk membeli bibit sayur mayur. “Tapi dengan modal itu saya tetap memulai jalanmenjadi petani. Saya meyakinkan diri untuk tetap berjalan menjadi petani,” kata Winda.
Yang menarik, pola kerja Winda tentu tidak sama dengan pola kerja petani pada umumnya. Dalam bekerja, ia membuat jadwal kerja layaknya pegawai kantoran. Dia memberikan dirinya sendiri jadwal libur.
Soal kemungkinan gagal, Winda punya prinsip sendiri. Aktifitas ini paling tidak sudah memberi banyak sekali pengalaman bagi dirinya. “Karena memang ternyata selalu ada bibit-bibit baik, meski tidak banyak yang tumbuh. Setidaknya ada bibit dan ditanam, dan semua itu harus dirawat dan dikelola dengan baik,” kata Winda.
Semoa tumbuh subur dan berkah buat semua. Terima kasih, Winda. [T]