LEBARAN ATAU IDUL FITRI bagi umat Islam masih beberapa hari lagi. Namun hiruk pikuk lebaran sudah terasa jauh hari. Setiap tahun hal itu akan selalu terjadi. Puasa belum lagi usai, namun prosesi lebaran sudah mulai ramai.
Puasa dan lebaran bagi seorang muslim dapat dimaknai dalam tiga perspektif. Pertama, puasa dan lebaran adalah momentum religiusitas untuk beribadah kepada Tuhan. Kedua, sebagai media perenungan atas capaian pribadi dalam banyak hal. Ketiga, simbol kegembiraan sosial bagi rakyat Indonesia.
Seremoni masyarakat menyambut lebaran sudah terlihat jauh sebelum lebaran tiba. Tiket transporatasi darat, laut, dan udara diserbu warga. Pasar tradisional dan pasar modern menjadi destinasi yang selalu dibanjiri masyarakat. Harga bahan kebutuhan pokok selalu saja melambung setiap puasa dan lebaran datang. Lebaran kian sempurna ketika pemerintah memberikan cuti bersama yang panjang pada tahun ini.
Mudik atau pulang kampung masih menjadi pemandangan menarik di setiap lebaran. Meski kehadiran media sosial bisa saja dimanfaatkan untuk sekadar mengucapkan selamat berlebaran, namun kehadiran secara fisik di tengah lingkungan keluarga dan masyarakat saat lebaran masih dianggap penting. Ada yang tidak lengkap dalam menjalankan puasa selama satu bulan jika lebaran tak berada di kampung halaman.
Puasa dan Komunikasi
Puasa di bulan suci ramadan bagi umat Islam sesungguhnya awal dari upaya membangun fondasi kehidupan yang penuh fitri di saat lebaran. Puasa memiliki tiga dimensi komunikasi, yakni intrapersonal, sosial, dan transendental.
Secara intrapersonal puasa merupakan momentum untuk menguji komitmen dan integritas diri. Berkomunikasi secara intrapersonal adalah komunikasi dengan diri sendiri dalam menjalankan dan memaknai puasa. Paling tidak, mekanisme pengawasan moral secara pribadi akan lebih terasah selama puasa. Sehingga ketika berpuasa orang diharapkan lebih bijak dalam bertutur dan menghindari perilaku menyimpang yang bertentangan dengan kata hati dan moralitasnya.
Puasa memiliki dimensi komunikasi sosial dalam membangun toleransi dan empati terhadap orang lain. Bulan ramadan kerap identik dengan bulan berbagi kepada sesama, bulan untuk berempati kepada derita orang lain. Dengan demikian puasa selain meningkatkan spiritualitas juga membangun solidaritas tanpa memandang latar belakang status sosial seseorang.
Secara transendental, puasa merupakan bentuk ketundukan manusia pada Sang Pencipta. Selama orang yakin bahwa puasa adalah perintah Tuhan, maka tak perlu upaya kritis untuk menggugat mengapa ia harus menahan haus dan lapar setiap hari selama sebulan. Puasa menjadikan Tuhan terinternalisasi dalam diri. Ketika orang berbuat kesalahan di bulan puasa, maka Tuhan menjadi rujukan berkomunikasi dalam mendapatkan hakikat kebenaran.
Simbol Sosial Lebaran
Lebaran menjadi momen yang paling ditunggu sekaligus paling riuh di Indonesia. Lebaran identik dengan mudik dan sesuatu yang baru. Tentu ini dapat dimaklumi. Meski kehidupan masyarakat Indonesia sudah diwarnai dengan gemerlap modernitas, namun kultur agraris tetap saja melekat. Mudik atau pulang kampung adalah salah satu ciri budaya agraris dimana orang selalu ingin dekat dengan komunitasnya.
Kehebohan mudik menjadi simbol sosial dalam merayakan lebaran. Bahkan mudik lebaran bukan hanya milik umat Islam, tetapi seluruh rakyat Indonesia. Kementerian Perhubungan telah memprediksi 123,8 juta orang akan mudik tahun ini. Dapat dibayangkan kemacetan lalu lintas yang akan terjadi pada jalur mudik lebaran.
Bukan hanya mudik, simbol-simbol sosial juga menandai lebaran di Tanah Air. Sesuatu yang serba baru menjadi simbol lebaran. Simbol sosial lebaran tentu saja tidak terlepas dari karakteristik masyarakat Indonesia yang atributif.
Masyarakat atributif sangat menghargai simbol, lambang, atau atribut sebagai penanda status dan posisi sosial seseorang. Tidak heran, menjelang lebaran tiba segala hal yang berkaitan dengan atribut itu harus disiapkan. Pagar rumah dicat baru jauh hari sebelum lebaran. Pedagang baju diburu warga agar bisa dikenakan saat lebaran. Berbagai menu makanan juga disiapkan untuk menyambut lebaran. Tanpa atribut itu semua, orang akan merasa dianggap tidak siap secara sosial untuk berlebaran.
Visualisasi atribut dipandang penting dalam konteks memaknai lebaran. Mudik dijadikan momentum kebanggaan bagi seseorang untuk menunjukkan perkembangan atribut yang telah berhasil dicapainya di tempat lain. Orang akan dianggap berhasil secara sosial, jika saat lebaran pulang kampung dengan mobil baru atau bercerita tentang jabatan baru. Tanpa atribut kebaruan, seseorang masih dipandang belum berhasil.
Sesungguhnya tidak ada yang salah dari seremoni lebaran yang sudah berlangsung sejak dahulu itu. Mudik lebaran bisa menjadi upaya merajut benang sosial kultural ketika seseorang merantau ke lain daerah. Sehingga orang tidak tercerabut dari akar budayanya. Hiruk-pikuk mudik juga dapat berfungsi membangun soliditas, kohesitas, dan solidaritas sosial seseorang dengan daerah asalnya. Lebaran menjadi bermasalah ketika seremoni atributif lebih dihargai ketimbang substansi religiusitas Idul Fitri.
Puasa dan lebaran memang simbolisasi ritual beragama. Capaian dari keduanya bukan sekadar religiusitas transendental, namun juga peningkatan kualitas diri setelahnya. Jika tidak, maka layak disimak sindiran Karl Marx, agama hanya matahari ilusi yang berputar di sekitar manusia, selama dia tidak berputar di sekitar dirinya. [T]