DI BERANDA KONTRAKAN di Perumahan Griya Sambangan (atau yang sering saya singkat: GS45), saya duduk memandangi empat ekor kucing (2 jantan-2 betina) yang sudah saya rawat sejak kecil sambil memeganggi tempat makanannya—kucing-kucing itu makan dengan lahap. (Ini sudah menjadi kebiasaan saya sepulang bekerja.) Dan sesaat setelah saya menutup tempat makanan kucing itu, sebelum saya beranjak dari tempat duduk, azan Magrib berkumandang. “Cepat sekali,” gumam saya dalam hati.
Hari kedua puasa Ramadan (24/3), tak ada yang lebih istimewa kecuali saya yang tiba-tiba lebih rajin beribadah—tentu saja dengan susah payah—daripada hari-hari biasa. (Ini “akting” klasik yang selalu saya lakukan saat bulan puasa.)
Seorang awam seperti saya, rajin ibadah saat puasa Ramadan, sekali lagi dengan susah payah, adalah sebuah prestasi yang sangat menggembirakan. Ya, di balik semangat rohani saya, ada fisik yang menderita sebenarnya—tentu saja, orang seperti saya kelaparan bukan hal yang mudah. Mungkin itu karena fisik saya begitu lemah, atau jangan-jangan karena cetek ilmu dan iman saya, tapi bisa jadi juga karena kemanjaan saya.
Namun, bisa jadi karena seluruh rasa berat itulah, mendengar suara azan Magrib dari musala kecil Perumahan Griya Sambangan itu, hidup saya terasa ringan. (Suara azan di bulan puasa adalah hadiah yang menarik hati.)
Saya masuk kontrakan, menuju kamar, minum tiga teguk air untuk membatalkan puasa, dan segera mengganti baju. Teman-teman kontrakan sudah menyiapkan hidangan buka puasa. Sederhana saja: hanya ada nasi, telur dadar, sayur sop, dan es teh, tanpa kurma atau takjil yang macam-macam. (Puasa kali ini rasanya memang tak ingin makan macam-macam. Saya tak mau menjadi diri yang kemarin (yang dulu), yang cerewet, yang ingin membeli dan memakan apa saja saat menjelang buka puasa. Kenapa saya—dan mungkin juga kebanyakan orang—tiba-tiba bisa serakus itu?)
Seorang teman mengirimi saya sebuah pesan WhatsApp: “Sepertinya bulan Puasa kali ini banyak yang berubah”. Saya agak kaget membacanya. Lama saya termenung. Benarkah bulan Puasa telah berubah?
***
Ibadah puasa memang tentang “menahan”. Menahan segala sesuatu yang berkaitan dengan nafsu/ego. Leluhur kuno menyebut laku menahan ini sebagai laku Mesu Budhi Babahan Hawa Sanga. Dan puasa adalah laku paling rahasia. Laku untuk menemukan diri—yang oleh Sunan Kalijaga diibaratkan dengan “penekno blimbing kuwi”. Puasa adalah jalan pribadi untuk menuju Tuhan, bukan jalan umum. Puasa adalah ibadah rahasia dan paling mesra dari seorang hanya kepada Gustinya.
Lantas, kenapa kita malah menjalankan ibadah puasa dengan ingar bingar? Ugal-ugalan? Foya-foya? Kedamaian yang telah berganti dengan keberisikan, keramaian yang tak bisa terbendung—dan kita larut, hanyut, menyerah pada keadaan?
Benar apa yang dikatakan Mahfud Ikhwan, pada kenyataannya, puasa adalah saat pasar sedang ramai-ramainya, jalan raya macet total, dan mal menambah jam bukanya; para buruh bekerja lebih keras dari biasanya (bukan karena mereka menelan nasihat para dai bahwa puasa tak boleh menghalangi semangat kerja, melainkan karena mereka mesti memastikan baju Lebaran untuk anak-anaknya tidak lebih buruk dari anak tetangga, atau tiket mudik dan oleh-oleh untuk keluarga di kampung sudah tersedia bujetnya); ibu-ibu jauh lebih sibuk di dapur dari hari-hari biasa, karena mereka bukan hanya memasak lebih banyak dan lebih istimewa dibanding hari-hari biasa, tapi juga mesti memutar uang belanja lebih lihai karena semua harga bahan pokok naik.
Di bulan-bulan selain bulan Puasa, biasanya satu jenis makanan atau minuman saja sudah cukup. Akan tetapi, pada saat bulan Puasa, tampaknya saya, misalnya, telah menjadi orang yang paling kapitalistik—dan juga rakus. Akibatnya, rasa malas untuk salat Tarawih menyerang. Dengan sangat terpaksa berangkat salat Tarawih, sebab merasa tidak enak dengan yang lain. Setelah selesai Tarawih, sedikit baca Alquran (kadang malah tidak sama sekali), tentu banyak ngemilnya. Kemudian, sahur banyak-banyak biar siang kuat berpuasa. Menjelang imsak, masih sempat minum obat lambung supaya tidak terserang maag dan minum vitamin agar tidak lelah seharian.
Dan itu, jangan lupa, bukankah kita juga butuh hiburan saat puasa? Puasa yang identik dengan kata sabar, soleh, rajin ibadah, atau introspeksi, tampaknya juga bergandengan dengan kata berat, susah, bosan, sepi, atau hal-hal semacam itu. Itu membuat (mungkin) ada pihak yang berpikir bahwa orang berpuasa butuh ditemani, dihibur, diberi imbalan, disenangkan, dst. Dari situlah kiranya, ketika tiba puasa, penyanyi-penyanyi, atau grup band, punya tawaran lagu atau album religi baru untuk menemani dan menghibur kita.
Dan produsen sirup, kata Mahfud Ikhwan, menawarkan rasa dan kemasan botol baru; penyedia jasa internet menawarkan paket layanan baru; mal-mal menjanjikan harga diskon besar-besaran; pasta gigi halal dengan cita rasa buah entah apa dari Korea diperkenalkan; sebuah produk kopi sasetan menawarkan umrah gratis bersama seorang dai kondang yang pandai berpantun; kontes dai cilik dengan juri terdiri atas ustad-ustadah kesayangan Anda dimulai lagi; Raffi Ahmad dan Soimah punya acara komedi jelang sahur baru yang dijamin lebih lucu dan lebih seru; dan Deddy Mizwar terus memperpanjang Para Pencari Tuhan hingga season ke-16. Dan seterusnya…
Barangkali teman saya benar (jika yang dimaksud soal esensi puasa), bahwa bulan Puasa memang berubah. Dan hal di atas sebagai gambaran situasi puasa yang tampaknya sudah bergeser dari kewajiban ibadah menjadi bagian dari ritual (mungkin sudah menjadi kebiasaan) konsumsi budaya massa yang tampak kapitalistik—walaupun pada akhirnya, kita kembali pada klise tentang hidup, bahwa ini adalah tentang pilihan masing-masing. Kita bisa memilih menjalani puasa sesuai dengan apa yang kita inginkan.
***
Saya memandang sajadah yang terlipat di atas tempat tidur, menimbang, mau salat dulu apa makan dulu. Ah, hamba amatiran seperti saya kadang lebih banyak alasan daripada langsung bergegas mengerjakannya. Benar memang, selama bulan Puasa saya lebih rajin beribadah, tampak lebih sabar, kalem, setengah mati menahan hawa nafsu, belajar menjadi manusia spiritual, belajar untuk lebih dekat dengan Tuhan. Tapi, itu semua, sesungguhnya, setelah Idulfitri-lah, yang akan menjadi bukti, apakah saya hanya berpura-pura ibadah, atau memang sungguh-sungguh menjalaninya.
Oh, sial. Saya terlanjur memikirkannya. Ya, setelah sebulan penuh berpuasa, memangnya apa yang berubah dari saya? Apakah saya akan kembali rajin beribadah, masih sabaran, kalem, bisa menahan hawa nafsu, dan dekat dengan Tuhan?
Kita lihat saja. Dan itu, apakah musala atau masjid juga akan tetap ramai, tidak kembali sepi? Apakah tayangan TV dan YouTube—yang siap menghibur kita—tetap menampilkan yang islami-islami? Apakah artis-artis kita tetap akan reliji-reliji? Apakah di status Facebook atau grup-grup WhatsApp akan tetap bertebaran kata-kata mutiara, doa-doa, permohonan maaf, dan bukan kata-kata makian, ujaran kebencian, hoaks, dll?
“Celaka. Atau jangan-jangan, bulan Puasa hanya bulan penuh “akting”? Bulan Puasa bukan bulan untuk belajar “menahan”, belajar untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, tapi bulan untuk belajar melatih kepura-puraan kita?” tanya seseorang di kepala saya, bertubi-tubi.
Seorang teman mengajak saya untuk segera berbuka puasa. Dan saya kembali memandangi sajadah itu—saya pesimis. Dengan amal yang tidak sebanding dengan dosa ini, untuk mengharapkan surga tentu saya sangat tahu diri.
Saya keluar kamar, memakai sarung dan baju takwa putih, bergabung dengan teman-teman yang lebih dulu berbuka. Segera saya mengambil tiga centong nasi, menaruhnya di tengah piring, lalu setengah potong telur dadar, beberapa sendok sop, menghiasi di atasnya. Saya makan dengan lahap.
Dan setelahnya, pertanyaan-pertanyaan, renungan-renungan, kesadaran-kesadaran di atas segera lenyap dari kepala saya, seperti yang sudah-sudah—saya menguap kekenyangan, berkali-kali.[T]