DESA BANJARPANEPEN merupakan satu desa yang terletak di Kecamatan Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Desa ini terasa sejuk, karena terletak di ketinggian 391 meter di atas permukaan laut. Untuk menuju desa ini dapat ditempuh melalui perjalanan darat sekitar 50 kilometer dari Purwokerto, ibukota Kabupaten Banyumas. Banyak sisi menarik dari desa yang yang berpenduduk 6.350 jiwa ini.
Desa Banjarpanepen dinobatkan pemerintah sebagai Desa Percontohan Kerukunan Antarumat Beragama di Indonesia. Hal itu didasarkan pada karakteristik penduduk yang terdiri dari berbagai agama, seperti Islam, Kristen, Budha, Hindu, dan Penghayat Kepercayaan.
Mereka hidup rukun berdampingan puluhan tahun tanpa pernah terjadi konflik. Ketika berada di Desa Banjarpanepen orang akan melihatnya sebagai miniatur Indonesia, karena di desa itu terdapat masjid, gereja, wihara, dan tempat pemujaan bagi penganut Hindu dan Penghayat Kepercayaan.
Potensi Wisata
Sebagaimana kebanyakan desa di Indonesia, Banjarpanepen memiliki beberapa potensi wisata alam, sejarah, dan religi. Di wilayah tengah desa terdapat objek wisata susur sungai (river tubing ) di Kalicawang. Sungai Kalicawang ini juga biasa diamanfaatkan oleh masyarakat sebagai tempat ritual adat desa. Berdekatan dengan objek wisata tersebut terdapat pusat kuliner Taman Sentana yang menyajikan menu Sate Bebek sepanjang setengah meter.
Foto: Pintu Masuk Objek Wisata Sejarah Watu Jonggol sebagai tempat pelaksanaan ritual Suran | Dokumentasi Pribadi Chusmeru
Beranjak ke sisi barat terdapat objek wisata alam Bukit Pengaritan. Letaknya yang berada di ketinggian membuat objek wisata ini terasa sejuk. Para pengunjung memanfaatkan waktu sore hari hari sambil menikmati pemandangan kota dan laut di bawah bukit. Sejauh mata memandang, pengunjung dimanjakan dengan hijaunya bebukitan.
Menuju ke tempat yang lebih tinggi, Desa Banjarpanepen memiliki objek wisata sejarah dan spiritual Watu Jonggol. Objek wisata ini dipercaya masyarakat setempat sebagai petilasan Mahapatih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk.
Banyak pengunjung yang datang untuk melakukan meditasi di Watu Jonggol. Menurut Sakin, tokoh masyarakat di desa itu, beberapa biksu dari Tibet pernah mengunjungi Watu Jonggol. Sayangnya, akses jalan menuju Watu Jonggol masih sulit, jalan yang sempit dan berkelok naik turun.
Ragam Ritual dan Toleransi
Mengunjungi Desa Banjarpanepen serasa berada di satu tempat yang tenang dan damai. Kehidupan masyarakat yang mayoritas sebagai penderes ( petani gula kelapa) tidak membuat masyarakat acuh terhadap tradisi turun-temurun. Hal itu dapat dilihat dari ritual masyarakat desa yang sarat dengan nilai religi dan toleransi.
Tradisi dan ritual yang sampai saat ini masih bertahan adalah Limolasan (limabelasan) atau Purnaman yang dilaksanakan di Sungai Kalicawang. Tradisi ini biasanya dilakukan menjelang bulan suci ramadan bagi umat Islam.
Kegiatan diawali dengan berendam di sungai Kalicawang yang dilaksanakan pada tengah malam pukul 24.00 sampai selesai. Acara dilanjutkan dengan meditasi dan berdoa sambil berendam. Menurut Kepala Desa Banjarpanepen, Mujiono, ritual berendam di sungai pada malam hari bertujuan agar masyarakat lebih tenang dan konsentrasi dalam memanjatkan doa kepada Tuhan.
Foto: Pepunden Kyai Selo Kinayungan yang dipercaya masyarakat sebagai penasihat Prabu Hayam Wuruk | Dokumentasi Pribadi Chusmeru
Saat yang dipilih menjalankan tradisi tersebut adalah tanggal 15 kalender Jawa atau saat bulan purnama. Oleh sebab itu tradisi ini disebut Purnaman. Uniknya, tradisi dan ritual menyongsong bulan ramadan ini juga diikuti oleh penganut agama Kristen, Budha, Hindu, dan Penghayat Kepercayaan.
Konsep dalam tradisi Limolasan atau Purnaman ini adalah memohon doa kepada Tuhan agar seluruh warga Desa Banjarpanepen selalu dalam lindungan Tuhan selama bulan puasa. Tradisi ini juga telah berhasil menjadi media toleransi dan harmonisasi warga Desa Banjarpanepen.
Ritual dan tradisi juga dilakukan di objek wisata sejarah Watu Jonggol, yaitu Suran. Masyarakat meyakini bahwa Watu Jonggol dianggap sebagai media yang mempersatukan seluruh warga desa.
Terdapat dua pepunden (tempat keramat) di Watu Jonggol, yaitu pepunden Mbah Karang Sedayu yang dipercaya masyarakat sebagai pengawal Mahapatih Gajah Mada yang datang ke Desa Banjarpanepen sekitar tahun 1350 sebelum terjadi Perang Bubat. Kemudian di bagian dalam terdapat batu besar setinggi 10 meter yang dipercaya sebagai pepunden Kyai Selo Kinayungan, penasihat Prabu Hayam Wuruk ketika datang ke Desa Banjarpanepen secara gaib.
Pepunden Mbah Karang Sedayu dianggap masyarakat Desa Banjarpanepen sebagai simbol kegagahan, kegigihan, dan kekuatan Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai tanah Pasundan. Sedangkan pepunden Kyai Selo Kinayungan manifestasi sikap arif dan bijak Prabu Hayam Wuruk untuk membahagiakan dan menyejahterakan rakyat, tanpa harus ada peperangan.
Suran adalah ritual yang dilakukan di Watu Jonggol sebagai simbol menyambut tahun baru dalam kalender Jawa. Pada saat kegiatan tersebut dilaksanakan semua warga dari berbagai agama hadir, termasuk para tokoh adat dan tokoh agama Islam.
Tradisi Suran juga dilengkapi dengan sajian Takiran ( sejenis tumpeng nasi dan lauk pauk ). Semua peserta ritual tradisi tersebut menikmati Takiran, sebagai simbol bersatunya warga tanpa membedakan yang kaya dan yang miskin.
Foto: Pepunden Mbah Karang Sedayu yang dipercaya masyarakat sebagai pengawal Mahapatih Gajah Mada | Dokumentasi Pribadi Chusmeru
Apa yang dilakukan masyarakat Desa Banjarpanepen merupakan wujud toleransi dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Kerukunan dan harmoni kehidupan di Desa Banjarpanepen juga tampak pada saat masing-masing umat beragama merayakan hari besar keagamaan mereka. Ketika umat Islam melaksanakan sholat Idul Fitri, maka warga dari agama Kristen, Budha, dan Hindu ikut menjaga kelancaran sholat.
Begitu pula ketika umat Kristen merayakan Natal di Gereja, umat Islam, Budha, dan Hindu ikut membantu persiapan dan menjaga keamanan gereja. Sisi lain yang menarik, terdapat salah satu mushola tempat umat Islam menjalankan ibadahnya dibuat atas gotong royong warga yang beragama Budha. Untuk membangun kerukunan, perangkat desa Banjarpanepen juga terdiri dari beragam umat beragama yang ada di desa.
Watu Jonggol dan Desa Banjarpanepen seolah hadir sebagai media bagi orang untuk berkontemplasi seraya mewujudkan sejumput toleransi yang kini menjadi barang mahal di Republik ini. Padahal toleransi begitu mudah dilaksanakan, karena toleransi sejatinya diawali dari menghargai keberagaman. Mahatma Gandhi pernah mengatakan, kemampuan kita semua untuk mencapai persatuan dalam keberagaman akan menjadi keindahan dan ujian bagi kelangsungan peradaban kita. [T]