Bersama seorang pengusaha muda yang konsen dengan pewarna alami (natural dye), Andika Putra, pada Jumat, 9 Maret 2023, saya berkunjung ke Temanggung, Jawa Tengah. Perjalanan ke Temanggung dari bandara Yogyakarta di Kulonprogo itu menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam.
Kami jauh-jauh dari Bali ke Temanggung bukan untuk jalan-jalan hepi-hepi saja. Misi kami jelas, selain bertujuan untuk belajar, sekaligus juga temu kangen dengan kawan lama di sana. Ya, kami memang hendak belajar dan bertemu Fatah Syaifur Rochman, yang biasa dikenal dengan nama Pak Fatah.
Pak Fatah adalah seorang kawan yang bergerak di bidang pengolahan pewarna alami dari tumbuhan indigo. Lelaki 54 tahun itu sudah malang-melintang dalam dunia per-indigo-an. Ia telah berhasil mengolah indigo menjadi pewarna biru alami. Dan dari kisah perjalanannya yang berliku dan unik itu kami belajar.
Fatah Syaifur Rochman besama Andika Putra
Awalnya Pak Fatah di kenal sebagai pengusaha tongkat gagang skop pasir dan tanah. Hingga ia memutuskan untuk mengembangkan bakatnya di dunia pertanian. Sejak kecil Pak Fatah memang sudah mencintai pertanian. Sampai ia berjanji pada dirinya sendiri, suatu saat nanti, bisa mempunyai tanaman yang harganya mengalahkan tembakau.
Tanpa disadari, atas berkat kegigihannya, semesta mempertemukan Pak Fatah dengan tanaman indigo hingga akhirnya ia mendirikan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang memproduksi pewarna alam dengan nama Shibiru, di Desa Gandu Wetan, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung.
Tempat produksi Shibiru
Mengajak Petani Menanam Indigo
Pada awalnya Pak Fatah menanam dua jenis indigo: indigofera tintoria dan arecta di lahan seluas 3 hektar, namun sempat berhenti pada tahun 2015. Tetapi setelah beliau mendapatkan informasi bahwa bibit indigo strobilanthes mempunyai warna biru kuat, ia tertarik kembali. Indigo jenis strobilanthes memang lebih cocok dikembangkan karena tidak terpengaruh musim—meskipun saat musim kemarau daunnya akan lebih kurus tapi warna yang di hasilkan tetap bagus.
Hasilnya, dengan ketekunan dan hobi bertaninya itu, dari satu bibit berubah menjadi berpuluh-puluh bibit. Bibit-bibit itu kemudian disebarkan (dibagikan) kepada beberapa petani sekitar.
“Pak Suciatna salah satu petani kopi pertama yang saya ajak merintis untuk menanam indigo,” kenang Pak Fatah.
Semenjak mengajak warga untuk menanam indigo dengan jumlah banyak, Pak Fatah juga mendapat banyak tangtangan yang harus dihadapi. Salah satunya adalah warga yang protes tempat produksinya karena bau indigo dianggap asem dan memyengat.
Tetapi, seiring berjalannya waktu, bapak 2 anak ini dapat mengatasinya. Bahkan, ia bisa membuat banyak petani tertarik untuk menanami sela-sela pohon kopi dan jambunya dengan indigo. Ia menjelaskan, setidaknya ada dual hal yang akan didapat petani. Pertama, saat daun indigo berguguran ke tanah saat di panen, daun itu akan menjadi kompos alami; dan kedua, daun indigo dihargai Rp. 3000 per Kg.
Menurut salah satu petani yang sempat saya ajak bercerita, Pak Kundori, petani kopi Desa Kleseman, Wonoboyo, Temanggung, itu, mengatakan, semenjak ia menanami sela-sela pohon kopinya dengan indigo, ia mendapat bonus. “Dapat tambahan dan dapat pupuk,” katanya.
Dan sampai saat ini, menurut informasi dari Pak Fatah, sudah ada 179 petani yang menanam indigo di lahan kurang lebih 65 hektare.
Belajar Secara Otodidak
Proses pembuatan pasta Sibiru awalnya sangat sederhana. Berawal dari keingintahuan Pak Fatah untuk membuat warna biru indigo yang bisa dipack, ia mengerjakannya sendiri secara manual dan otodidak.
“Setelah menghasilkan beberapa bungkus warna, saya mencoba memberikan (menawarkan) kepada pengerajin tekstil di daerah Jogja dan Solo,” tuturnya.
Sampai pada akhirnya, ia mendapat pesanan pertama sebanyak 40 kg pasta biru.
Fatah sedang menunjukkan produk Shibirunya
Masalah baru, ia belum tahu akan membandrol berapa harga sekilo produknya. “Karena tak menyangka pasta yang saya buat mempunyai kualitas tinggi,” katanya sambil tertawa.
Sejak saat itu, Pak Fatah memasarkan produknya lewat media sosial, di Facebook pribadinya. Hingga orang-orang menyebutnya “Fatah Si Biru”.
Atas inovasinya itu, Pak Fatah mendapat beberapa penghargaan. Ia mendapat juara 1 kategori inovasi dalam acara Krenova (kreatiif dan inovatif) Harapan 2020 Kabupaten Temanggung. Mendapat penghargaan Inovasi Goverment Award dari pemerintah daerah untuk konservasi lahan. Dan saat saya bertemu Pak Fatah, ia sedang bersiap untuk visitasi seleksi dalam rangka penghargaan Kalpataru kategori Perintis Lingkungan. Luar biasa, bukan?
Tetapi ini yang membuat mata saya berbinar, sampai saat ini, omzet normal Shibiru sudah mencapai 75 juta per bulan. Wajar, produk Pak Fatah sudah diekspor ke beberapa negeri seperti Jepang, Malaysia, Spanyol, hingga Amerika.
Sedangkan untuk di Indonesia sendiri, warna birunya telah digunakan di beberapa daerah seperti Bali, Kalimantan, Labuan Bajo, Lombok, sampai Nusa Penida.
Sebagai penutup, Pak Fatah menyampaikan mantra sederhana: “Dari Temanggung siap membirukan dunia.”[T]