TERKUAKNYA KASUS PEMUKULAN yang dilakukan oleh Mario Dandy Satriyo terhadap David (anak dari pengurus GP Ansor) merembet jadi “pukulan telak” bagi Kementerian Keuangan. Ini karena diketahui Mario merupakan anak dari Rafael Alun Trisambodo (Pejabat Ditjen Pajak).
Berita ini menjadi viral karena netizen kemudian mengulik-ulik harta kekayaan Rafael yang dari informasi berita massa sangat fantastis. Jumlah harta kekayaan Rafael dianggap di luar kewajaran sebagai pegawai negeri eselon III Ditjen Pajak Kementerian Keuangan.
Belakangan, profil Andhi Pramono, Kepala Kantor Bea Cukai Makassar, juga menjadi perbincangan karena rumah mewahnya dan outfit anaknya yang terbilang mewah.
Lahir kemudian sejumlah anggapan-anggapan, bahkan semboyan, seperti “Orang bijak taat bayar pajak” hanya berlaku untuk masyarakat. Sementara hasil pembayaran pajak dari masyarakat dipergunakan untuk flexing.
Yang awalnya kasus pemukulan, kemudian berkembang menjadi “serangan” terhadap Kementerian Keuangan, adalah rentetan peristiwa yang membuat masyarakat mengetahui glamornya kehidupan oknum pegawai di bawah naungan Kementerian Keuangan. Menteri Sri Mulyani dibuat kerepotan dengan kasus ini.
Kredibilitas masyarakat terhadap Kementerian Keuangan, ddengan kasus ini, bisa jadi menurun. Stigma kemewahan masyarakat terhadap pegawai di bawah naungan Kementerian Keuangan tak terbantahkan.
Kejadian seperti ini mengindikasikan bahwa masih adanya banyak pejabat tidak memiliki rasa empati dan menjaga perasaan masyarakat yang berada dalam kondisi perekonomian terpuruk karena melambungnya harga kebutuhan pokok.
Padahal, para pejabat hendaknya mempunyai rasa malu karena uang yang dipakai untuk flexing adalah uang rakyat yang taat bayar pajak. Hasil pajak digunakan untuk bermewah-mewah. Hal ini akan menimbulkan efek bahwa masyarakat tidak taat membayar pajak karena masyarakat beranggapan hasil pajak yang dibayarkan digunakan untuk memperkaya diri para pejabat di bawah Kementerian Keuangan.
Hal ini merupakan sebuah ironi. Dengan kasus seperti ini, di mana pengamalan nilai-nilai Pancasila para pejabat?
Di dunia pendidikan dengan diimplementasikan Kurikulum Merdeka diharapkan dibentuk lulusan yang memiliki profil Pelajar Pancasilais. Siswa dituntun oleh gurunya untuk memiliki akhlak kemanusiaan. Siswa diharapkan saling menghargai dengan sesama. Siswa diharapkan memiliki rasa empati dan hidup sederhana namun kenyataannya para pejabat menari di atas kesederhanaan masyarakat.
Tidaklah arif jika internalisasi nilai-nilai Pancasila hanya diberikan kepada siswa. Internalisasi nilai-nilai Pancasila perlu diberikan kepada para pejabat agar para pejabat tindak melakukan tindakan korupsi. Peran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) sangat penting untuk menyadarkan para pejabat akan tindakan yang bertujuan untuk memperkaya diri dengan jalan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Namun peran BPIP saat ini belum maksimal. Kasus korupsi bukan semakin menurun tetapi ada kecenderungan angka korupsi semakin tinggi. Dengan adanya kasus yang membelit Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa ada transaksi keuangan yang dilakukan oleh pejabat di luar kewajaran.
Kasus pemukulan oleh anak pejabat itu ibarat gerbang pembuka adanya kasus-kasus transaksi yang mencurigakan di Kementerian Keuangan. Peran BPIP bukan hanya berfokus pada internalisasi nilai-nilai Pancasila kepada siswa.
Jangan ragukan peran guru dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila di sekolah tetapi yang penting dan sangat mendesak adalah memperbaiki moral pejabat sehingga mereka tidak menyalahgunakan kewenangannya sebagai pejabat.
Percuma memperbaiki moral generasi muda sejak di pendidikan dasar tetapi fakta yang ditemui siswa adalah banyak pejabat yang korup. Anak pejabat sibuk flexing di media sosial sementara siswa dididik hidup sederhana. Hal ini benar-benar merupakan sebuah ironi. [T]