SEJARAH MENGENAI ASAL-USUL komunitas Muslim di Bali memang menarik untuk digali. Bukan hanya menarik karena sebagai minoritas, lebih dari itu, juga menarik karena masih banyak misteri yang tersimpan di baliknya. Seperti komunitas Muslim di Desa Tegallinggah, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali, misalnya.
Tokoh-tokoh Muslim Tegallinggah yang tergabung dalam Tim Penelusuran Sejarah Islam Tegallinggah (PSIT)─yang diketuai Samsul Hadi dan beranggotakan Roni, Zaini Halim, Azwar Annas, dan Ahmad Hanif─memang sedang melakukan penelusuran sejarah Islam masuk Tegallinggah dengan mengumpulkan informasi berupa cerita-cerita dari sesepuh yang masih ada, dan akan terus menggali bukti-bukti yang lebih otoritatif. Hasilnya, sebuah laporan awal yang bertajuk “Temuan Awal Penelusuran Sejarah Islam Desa Tegallinggah” telah disusun.
Pada Jumat, 06 Januari 2023 lalu, laporan awal itu dibedah dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD) di Masjid Jami’ Al Miftah Tegallinggah. Menurut laporan Balisharing.com, FGD dihadiri tokoh-tokoh Muslim Tegallinggah dan anggota Forum Pemerhati Sejarah Islam (FPSI) Buleleng. Sementara itu, Drs. Amoeng Abdurrahman, selaku Koordinator FPSI Buleleng, dan anggota FPSI Buleleng, Drs. Ketut Muhammad Suharto, diplot sebagai narasumber.
Focus Group Discussion (FGD) di Masjid Jami’ Al Miftah Tegallinggah | Foto: Yahya Umar
Diskusi yang dilakukan pada malam hari itu melahirkan banyak wacana tentang asal-usul Islam Tegallinggah berasal dari Bugis, cerita-cerita orang dulu, sumber katanya-katanya, informasi (dari yang ilmiah sampai supranatural), asumsi-asumsi, sampai harapan-harapan tersusunnya sejarah Islam Tegallinggah yang utuh─yang tak lagi tercecer dan “katanya-katanya”.
Cerita-cerita supranatural
Usaha penggalian sejarah (kadang) tak lepas dari unsur supranatural. Hal ini pula yang menjadi pemantik tokoh-tokoh Muslim Tegallinggah bergerak menggali asal usul moyangnya.
Seperti yang diceritakan Samsul Hadi, Ketua Tim PSIT, dalam FGD tentang sejarah Islam Tegallinggah sebulan lalu. Wakil Ketua I PCNU Buleleng itu mengaku bermimpi didatangi seorang yang berjubah─dan mimpi itu terjadi berkali-kali.
“Semula ada kekuatan emosional untuk mengetahui jati diri saya, jati diri Muslim Tegallinggah. Karena saya penekun dunia spiritual, maka saya tempuh upaya-upaya spiritual untuk mengetahui jati diri itu,” katanya dikutip dari Balisharing.com.
Tak mau melakukan taklid buta, ia lantas bertanya kepada Kiai Agus Afandi, dari Jombang, Jawa Timur, yang menurutnya, memiliki tingkat spiritual yang diakui nasional bahkan internasional.
Tak sampai di situ, Samsul Hadi juga menuturkan bahwa sejak kecil, berdasarkan cerita dari tokoh-tokoh Muslim Tegallinggah terdahulu, ia mendengar ada makam leluhur mereka (Muslim Tegallinggah) yang terletak di suatu tempat di Desa Tukadmungga. Namun, yang menjadi masalah, siapa orang yang di makamkan dan di manakah letak makam tersebut?
Samsul Hadi kemudian melakukan tirakat (semacam kegiatan spiritual seperti puasa.) Maka dari situlah terkuak nama Sayyid Umar yang pada 17 Juni 2013 juga ditemukan posisi makamnya.
Tim PSIT memaparkan, berdasarkan cerita warga Tukadmungga, makam tersebut dulu pernah mau diurug atau digusur oleh penduduk setempat menggunakan buldoser. Anehnya, tiba-tiba buldoser itu mati, tidak dapat difungsikan. Upaya mengurug makam tersebut gagal.
Bahkan, entah ada hubungannya atau tidak, sejak ada upaya penggusuran makam tersebut, Tukadmungga ketiban bah bedeg (grubug). Setiap hari ada saja warga yang meninggal dunia. Hal itu berlangsung hingga 12 hari lamanya. Penduduk Tukadmungga pun panik, sampai menggelar upacara untuk menangani grubug tersebut. (Cerita ini masih memerlukan penelusuran mendalam.)
Lantas, siapakah Sayyid Umar tersebut? Benarkah ia tokoh dari Bugis?
Sayyid Umar dari Bugis
Penelusuran berlanjut. Samsul Hadi mencari informasi hingga ke Bone, Sulawesi Selatan. Rasa penasarannya sangat kuat. Makam Syekh Yusuf Al Makassari juga dikunjungi karena informasinya Sayyid Umar merupakan adik dari Syekh Yusuf Al Makassari (masih memerlukan data). Kerajaan Bone dan Kerajaan Gowa pun dikunjungi.
Dari kunjungannya tersebut, Samsul Hadi mendapatkan sejumlah data dan informasi. Misalnya, keluarga Kerajaan Bone tahu bahwa salah satu keluarganya ada di wilayah Singaraja. Pada tahun 1998-2000-an, pernah dua orang Bugis Bone datang ke Tegallinggah. “Mereka menanyakan tentang lontar,” katanya.
Ia mengaku sempat ingin menyampaikan informasi dan data tentang Bugis yang dimilikinya kepada MWC NU Buleleng, Abdul Muis dan kepada Sekbid Budaya dan Sejarah Masjid Agung Jami’ Singaraja, Lalu Ibrahim. Tapi hal itu ia urungkan sampai akhirnya tercetus ide untuk membentuk Tim Penelusuran Sejarah Islam Tegallinggah (PSIT).
Di kutip dari Balisharing.com, soal sosok Sayyid Umar, Tim PSIT melaporkan, Sayyid Umar waktu kecil bernama Teuku Umar. Hidup antara 1538-1642. Sayyid Umar Assegaf, demikian laporan Tim PSIT, merupakan tokoh utama dan orang yang pertama kali menginjakkan kaki (membabat hutan) tanah Tukad Mungga.
Dijelaskan juga, Sayyid Umar Assegaf merupakan bangsawan dari Kerajaan Bugis, tepatnya Kerajaan Bugis Bone. Ia saudara dari Syekh Maulana Yusuf Makassar (1543-1628). Benarkah Sayyid Umar Assegaf dari Bugis Makassar dan saudara dari Syekh Yusuf Al Makassari? Ini masih perlu penelusuran lebih jauh. Diperlukan bukti-bukti sejarah primer yang lebih jelas untuk mengungkap hal ini.
Mengingat, studi tentang ulama di Sulawesi tidak sintensif dengan kiai-pesantren di Jawa-Madura. Setidaknya, sampai akhir abad ke-20, daya tarik kajian kiai-pesantren di Sulawesi belum banyak menarik sarjana asing maupun sarjana lokal, kecuali segelintir nama seperti Wahyuddin Halim (2013), Afifuffin Harisah (2013), Azyumardi Asra (1994), Martin van Bruinessen (1995), Andi Faisal Bakti (2005), Abdul Karim Hafid (1997), dan Abu Hamid (1983).
Benarkah Muslim Tegallinggah dari Bugis?
Menurut Koordinator FPSI Buleleng, Amoeng Abdurrahman, orang-orang Bugis masuk ke Buleleng diduga karena situasi perkembangan politik di daerahnya, di mana Raja Hassanudin kalah berperang dengan penjajah VOC (Belanda). Orang-orang Bugis melarikan diri menyebar ke berbagai daerah, termasuk di Bali. Di Buleleng, orang-orang Bugis menyebar dari pesisir Sumberkima di sebelah barat hingga ke Sangsit di timur Buleleng.
Lebih detail, pemerhati sejarah yang juga Anggota FPSI Buleleng, Drs. Ketut Muhammad Suharto, mengatakan, orang-orang Bugis menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, ketika Raja Hassanudin kalah perang dengan VOC. “Itu terjadi antara 1667-1670-an Masehi,” katanya.
H. Ahmad Annas, dalam acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Temuan Awal Penelusuran Sejarah Islam Tegallinggah” yang digelar di Masjid Jami’ Al Miftah Tegallinggah, malam itu (06/01/23) dengan yakin, yang pertama membabat hutan di Tegallinggah adalah orang-orang Islam (dari Bugis). Meski demikian, menurutnya, hal itu harus dilakukan konfirmasi ke warga Tegallinggah yang beragama Hindu, terutama para penglingsir (sesepuh)-nya.
Ia meyakini, Tukadmungga merupakan jejak awal masuknya orang Bugis (Islam) sebelum ke Tegallinggah. Itu dibuktikan dengan ditemukannya makam Sayyid Umar di Tukadmungga yang terletak di sebelah selatan setra (sema) di lahan milik warga. Tokoh Muslim Tegallinggah lainnya, H. Maujir, juga meyakini hal teresebut. “Mereka pergi ke tegal ane linggah. Dari kata tegal yang linggah akhirnya wilayah baru itu dikenal sebagai Tegallinggah,” tutur H. Maujir.
Masjid di Desa Tegallinggah | Foto: Yahya Umar
Dalam analisa tokoh lain, Jaelani, orang Bugis yang datang ke Tegallinggah bukan orang sembarangan. Mereka adalah pendakwah, yang berdakwah baik di dalam internal komunitas mereka maupun berdakwah ke komunitas eksternal mereka.
Jika dikatakan Muslim Tegallinggah dari Bugis, apa bukti-buktitnya?
H. Syahrudin, M.Pd., mengungkapkan, beberapa orang tua Tegallinggah memanggil orangtuanya “datuk”. Mantan dosen Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) itu merasa dirinya sendiri keturunan dari Bugis. “Sampai sekarang anak memanggil orangtuanya datuk,” katanya.
Hal senada juga diungkapkan tokoh Muslim Tegallinggah lainnya, Jaelani. “Selain panggilan datuk, di Tegallinggah juga ada panggilan encik untuk orangtua perempuan. Panggilan encik atau cik juga merupakan ciri khas Bugis,” jelasnya.
Selain itu, sekali lagi, dikutip dari Balisharing.com, menurut H. Syahrudin, mentalitas orang Islam Tegallinggah sangat keras, sama seperti orang Bugis. Pada nama-nama Muslim Tegallinggah banyak menggunakan ‘din’. Seperti Syahrudin, Khairudin, Mashudin, dan seterusnya. Di Tegallinggah juga ditemukan alat-alat cantok, yang merupakan budaya Bugis. Juga ditemukan pisau khas Bugis yang disebut badik.
Mashudin, S.Pd.I, membenarkan hal itu. Waktu kecil, ia selalu diwanti-wanti agar jangan macam-macam dengan beberapa tokoh Tegallinggah, seperti Datuk Arsyad dan Datuk Makruf. Tokoh tersebut mempunyai tipikal orang Bugis, “serem” dan “menakutkan”.
Sementara menurut Sopian Hadi, Ketua MUI Kecamatan Sukasada, sejumlah ciri khas Bugis ada dalam masyarakat Muslim Tegallinggah. Seperti misalnya penanaman pohon jepun di kuburan dan penggunaan telur dalam acara Maulid Nabi Muhammad SAW. “Ini merupakan budaya dari Sulawesi, khususnya Bugis. Di Jawa tidak ada penggunaan telur saat maulidan, kecuali di titik-titik yang ada komunitas Bugis-nya. Jadi budaya di Tegallinggah dan Bugis itu ada hubungan,” kata Sopian.
Apakah semua itu benar? Perlu penelitian lebih lanjut.
Terlepas dari benar-salah temuan awal penelusuran sejarah Islam Desa Tegallinggah, pada akhirnya sejarah memang menyisakan banyak hal, begitulah kiranya. Seperti orang bijak bilang, sejarah memberikan pelajaran, sekaligus menawarkan alternatif kebijakan. Yang buruk dari masa silam dibenamkan, yang baik ditegakkan. Jangan menengok pada yang buram karena hidup di kala mendatang memerlukan obor terang.
Sejarah adalah serupa tetumbuhan makna, kita ditantang merawatnya—dan itu yang sedang dilakukan tokoh-tokoh Muslim Tegallinggah—agar kehidupan tidak lantas menjadi pasak-pasak dengan pucuk yang serat beban hingga kita mungkin saja tergopoh memikulnya. [T]