11 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Rembulan di Bukit Asah | Cerpen Gede Aries Pidrawan

Gede Aries PidrawanbyGede Aries Pidrawan
February 25, 2023
inCerpen
Rembulan di Bukit Asah | Cerpen Gede Aries Pidrawan

Ilustrasi tatkala.co | Pandit

Jika aku pulang ke desa dan memiliki waktu luang, pasti kusempatkan jalan-jalan di Bukit Asah. Desa yang terletak di kabupaten tertimur di Bali ini pemandangannya indah sekali.

Dari bukit ini aku dapat dengan lapang melihat Candidasa bersama pantainya yang panjang. Pantai di sana berkelok-kelok. Terdapat pasir putih di beberapa bagian. Sangat eksotis. Putih bersih. Pasir hitamnya juga tak kalah mengagumkan. Setelah berpuas-puas memandang Pantai Candidasa, dari kejauhan, dari atas bukit ini, biasanya aku juga akan memandang lekat-lekat gundukan pulau mungil di ujung laut. Itulah Lombok dengan Rinjani-nya yang memesona.

Begitulah kegemaranku ketika pulang. Namun, keinginanku mengunjungi Bukit Asah kali ini harus diurungkan. Aku datang pada momen kepulangan dengan acara yang sangat padat. Purnama kalima adalah purnama yang padat dengan persembahyangan. Sudah tiga hari yang lalu aku pulang. Ketiga hari itu diisi dengan sembahyang. Apalagi, besok pagi keluarga besar sedang merencanakan kegiatan mapinton di pura dadia. Jadi, aku harus membantunya.

Pekerjaan laki-laki adalah nguling. Di sini, sudah disembelih 5 ekor babi untuk diguling dan jumlah laki-laki yang ada di keluarga besarku hanya lima. Aku, bapakku, dua pamanku, dan satu iparku, suami dari anak perempuan paman pertamaku. Karena jumlah laki-laki yang terbatas, maka aku kebagian tanggung jawab mematangkan satu babi guling. Menunggui babi guling agar matang sempurna itu tak gampang, butuh proses yang lama. Jadi, keinginan untuk datang ke Bukit Asah harus aku sirnakan sementara.

Bagi kami, upacara seperti ini adalah momen untuk bercengkrama, bertanya kabar, dan segala hal. Ketika sedang berkumpul, keluargaku punya kebiasaan, yaitu berbicara tentang anak-anaknya. Karena aku merupakan anak laki satu-satunya di keluarga besarku, pembicaraan mereka pasti berkisar tentangku, terutama tentang statusku yang masih menyendiri.

“Kapan De?” Begitu tanya paman pertamaku. Diikuti beberapa pertanyaan lain yang serupa.

Aku senyum saja. Masih memutar-mutar babi guling di atas sekam yang membara.

“Sudah berumur, menikahlah segera, jangan sampai keduluan baki nanti,” lanjut paman lagi sambil terkekeh.

“Ini bukan guyu, De. Pak Mang bener. Kamu harus segera nikah. Cuma kamu anak laki satu-satunya di keluarga kita. Kalau tak menikah bisa camput nanti keturunan Pekak Dengkil.” Paman keduaku menimpali sambil menyebut nama kakekku.

Atas semua pertanyaan itu, aku diam saja. Jika dipikir-pikir, memang pantas mereka harus risau dengan pernikahanku. Aku lelaki berumur, 29 tahun, anak laki satu-satunya pula. Namun, sepanjang pengetahuan mereka, tak ada tanda-tanda aku akan menikah. Makanya, mereka sering menjodoh-jodohkanku dengan Luh Putu, sepupuku, anak dari paman ketigaku

“Menikah saja dengan Luh Putu, kan gampang. Dekat, masih keluarga juga, jadi ndak perlu ke mana-mana lagi.”

Aku sudah menduga arah pembicaraannya pasti ke arah sana. Kepulanganku setahun lalu pun begitu. Setahun lalunya juga begitu. Jadi, aku tak menanggapinya serius. Hanya saja, sekarang bapakku juga ikut-ikutan nimbrung, ibuku juga, bibi-bibiku juga. Tampaknya mereka sudah sepakat untuk menjodohkanku.

“Apa kekurangan Luh Putu, De? Pintar, cantik, dokter. Di Jakarta dak ada perempuan kayak Luh Putu,” kata ibuku dari halaman rumah sambil menyapu.

“Ah, meme ikut saja.” Reaksiku menyeringai ke arah ibu, kemudian tersenyum malu. “Luh Putu sudah punya pacar, Me, jangan diganggu,” lanjutku mencoba berkelit agar arah pembicarannya tak lagi tentang aku dan Luh Putu.

Ibu meletakkan sapunya. Dengan cepat ia mendekatiku. Mimiknya serius. “Lha, siapa bilang? Baru kemarin meme sempat ngomong sama Luh Putu. Luh Putu jawab ‘kalau Bli Gede mau Luh juga mau’. Apa lagi yang ditunggu. Jek sriet. Meme sudah rindu momong cucu.”

Aku tak menduga percakapan yang semula aku kira hanya obrolan iseng, menjadi seserius itu. Ibu bahkan sampai menepuk-nepuk punggungku meyakinkan.

“Bapak sudah menetapkan dewasa ayu sebenarnya, De. Jika Gede tidak keberatan dengan permintaan bapak dan meme, mungkin sebulan lagi acaranya digelar.”

Tubuhku bergetar. Keringatku bercucuran. Mulutku komat-kamit, namun tak satu kalimat pun keluar. Jariku mengorek-ngorek tanah menjadi gambar yang tak jelas. Sama tak jelasnya dengan arah pikiranku. Terus terang, dalam pikiranku, sedikit pun tak terbersit menikah secepatnya, apalagi dengan Luh Putu, sepupuku. Walaupun ada banyak teman mengingatkanku untuk segera menikah mengingat umur yang sudah matang, aku tak menghiraukannya. Namun, desakan mereka, apalagi sudah sampai menetapkan hari baik, ini lain.

Selepas bapak berkata tentang dewasa ayu itu, semua diam. Bahkan, waktu pun seolah-olah diam. Sore berjalan agak lambat. Aku masih menimang-nimang tentang pernikahan itu, antara menerima atau tetap menganggap permintaan itu sebagai guyonan. Namun, keputusan harus diambil. Mana mungkin pembicaraan seserius itu terus kuanggap sebagai guyonan. Jika umurku masih belasan, mungkin ya.

Namun, kini aku sudah hampir berkepala tiga, berpendidikan tinggi juga, magister lulusan Jakarta. Malu rasanya jika terus-terusan berkata nanti, atau tunggu, atau hanya tertawa. Bisa-bisa runtuh wibawa akademikku.

Bukan masalah kecantikannya yang menjadi penghalang. Sebagai lelaki, sangat bodoh rasanya jika menolak menikah dengan Luh Putu. Luh Putulah sosok perempuan dengan kecantikan yang sempurna. Tubuhnya tinggi dengan kaki yang jenjang. Rambutnya hitam lurus. Wajahnya opal mulus dengan hidung yang mancung. Karakternya, jangan ditanya. Kedewasaannya adalah kedewasaan tingkat tinggi. Tutur katanya sopan. Mendengar suaranya seperti mendapat titik-titik air di musim kemarau. Siapapun itu yang pernah dekat dengannya, pasti merasakan keteduhan itu. Dan yang tak boleh diabaikan lagi, dia dokter! Dokter adalah pekerjaan prestisius di kampungku. Memperistri dokter bak memperistri bidadari dari surga.

Aku membayangkan Luh Putu, sepupuku, yang sudah berkata ya untuk menikah denganku. Membayangkan Luh Putu, aku membayangkan kembali masa kecilku dengannya. Dari kecil sudah tampak sosoknya yang cerdas dan santun, hanya terkadang sedikit egois. Permainan kesukaannya kala itu adalah masak-masakan, sama seperti perempuan lain, namun jenis masakan yang sering dijadikan permainan adalah masakan luar: humberger, pizza, spageti, dan lain-lain. Tampaknya itu adalah buah dari kegemarannya membaca buku. Kadang-kadang, bersama denganku, kami juga bermain dokter-dokteran, aku adalah pasiennya dan ia adalah dokternya.

Beranjak dewasa, Luh Putu tumbuh menjadi remaja yang cerdas dan cantik. Aku berangkat dan pulang sekolah bersama dengannya. Karena kecantikannya, saat itu sering kuperhatikan setiap laki-laki meliriknya. Sering pula Luh Putu curhat denganku ketika mendapat surat cinta dari teman-temannya. Lanjut kuliah, Luh Putu melanjutkan di Fakultas Kedokteran Unud, sedangkan aku di UI, program hubungan internasional. Karena sama-sama sibuk, kami jarang komunikasi. Kami bertemu sekali dalam setahun, tepat ketika di pura dadia ada odalan.

Walaupun demikian, hubunganku tetap erat. Ketika sama-sama di rumah sering aku memboncengnya pergi, entah sembahyang atau ke pasar. Karenanya, banyak yang menduga bahwa aku adalah pacar Luh Putu. Mungkin karena kisah masa kecil kami. Mungkin pula karena kami sudah sama-sama mapan, jadi dirasa sepadan.  Atau, mungkin pula karena ia adalah perempuan yang cantik dan aku adalah lelaki ganteng. Tak tahulah. Namun, kemudian dugaan-dugaan orang-orang itu dipercaya orang tuaku, selanjutnya tumbuh menjadi harapan di hati keluarga besarku.

Hanya saja, masalah pernikahan, bagiku, bukan perkara kecantikan, bukan pula perkara kemapanan materi. Melainkan, masalah hati—masalah rasa yang menggebu. Terhadap Luh Putu, sedikit pun aku tak merasakan ada rasa yang menggebu. Apa mungkin pernikahan kulangsungkan tanpa dasar rasa yang menggebu?

***

Malam hari. Perasaanku masih kalut, masih karena desakan keluargaku tentang pernikahan itu. Waktu tinggalku hanya sehari. Jadi aku mesti membuat keputusan. Namun, keputusan mana yang mesti kuambil? Pikiranku masih berputar-putar tak tentu.

Malam-malam aku beranikan memanjati Bukit Asah. Di atasnya aku ingin menikmati keindahan dengan lapang. Semoga nanti dilapangkan pula jalan pikiranku. Malam ini purnama, jadi perjalanan tak begitu sulit. “Bukit Asah,” kataku setelah sampai di bukit. Purnama menerpa wajahku. Pada pandangan sekitar, aku melihat laut yang keemasan. Di pinggir pantainya, hotel dan restauran tampak berkelip serupa kunang-kunang di kejauhan.

“Bukit asah.” Kembali aku bergumam, sambil merabai dadaku. Kali ini kuikuti dengan desahan. Dalam setiap desahan itulah aku membayangkan Roy. Bagaimana aku bisa menerima Luh Putu, yang berbukit menonjol itu, sedangkan aku sendiri telah memiliki Roy, kekasihku yang berbukit asah? Seberapa pun cantiknya Luh Putu, bukit asah (datar) punya Roy jauh lebih menggairahkan. Pada Roy-lah aku bisa merasakan rasa yang menggebu.

Di bawah purnama, aku terus merabai bukit asah-ku sambil membayangkan Roy yang berbaring menindihku. Di bawah purnama pula telah kumantapkan hati untuk kembali ke Jakarta, hidup bersama Roy, dan mengabaikan Luh Putu, mengabaikan harapan orang tuaku. [T]

Catatan:

Mapinton =upacara membayar janji kepada leluhur
Dadia= kelompok yang biasanya masih memiliki ikatan keluarga yang bertanggung jawab terhadap suatu pura
Baki = menapause
Guyu = main-main atau tidak serius
Camput = habis atau tidak ada penerus
Meme = ibu
Jek sriet = ungkapan untuk kata “cepat” atau “jangan menunda-nunda”
dewasa ayu = hari baik
odalan = sebuah upacara di pura

  • Cerpen ini diambil dari buku kumpulan cerpen “Ulat Bulu di Rahim Ibu” terbitan Mahima Institute Indonesia (2019)

[][][]

BACA cerpen-cerpen lain di tatkala.co

Merpati Merah | Cerpen IBW Widiasa Keniten
Improvisasi Tokoh 1 | Cerpen Nyoman Sukaya Sukawati
Luh Jalir | Cerpen Mas Ruscitadewi
Tags: Cerpen
Previous Post

Puisi-puisi Wulan Dewi Saraswati | Sepucuk Kertas yang Ditulis di Eiffel Sebelum Saling Merindukan

Next Post

Cinta dan Kematian dalam Novel Jerum Karya Oka Rusmini

Gede Aries Pidrawan

Gede Aries Pidrawan

Sastrawan dan guru. Lahir di Karangasem, Bali

Next Post
Cinta dan Kematian dalam Novel Jerum Karya Oka Rusmini

Cinta dan Kematian dalam Novel Jerum Karya Oka Rusmini

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

“Pseudotourism”: Pepesan Kosong dalam Pariwisata

by Chusmeru
May 10, 2025
0
Efek “Frugal Living” dalam Pariwisata

KEBIJAKAN libur panjang (long weekend) yang diterapkan pemerintah selalu diprediksi dapat menggairahkan industri pariwisata Tanah Air. Hari-hari besar keagamaan dan...

Read more

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co