KIDUNG JERUM ini merupakan kidung yang berkaitan dengan Bhuta Yadnya atau persembahan terhadap alam semesta untuk mengharmonisasikan alam berserta isinya. Keharmonisasi alam juga dapat mempertahankan keharmonisan Bhuwana Agung dengan Bhuwana Alit, dengan sembilan pangider-ider atau arah mata angin dengan masing-masing dewanya.
Keharmonisasi alam dalam Kidung Jerum ini dapat digambarkan sebagai kisah cinta dari segala masalah yang sumber dari cinta. Cinta yang selalu membuat kita bahagia dan ada juga cinta yang menimbulkan rasa cemburu, kemarahan, kesengsaraan dan berakhir pada kehancuran yang ada di dalam cinta. Cinta yang tragis yang dirasakan dalam kehidupan antara Jerum dan I Kundangya.
Kidung Jerum ini menceritakan kehidupan Jerum, Kundangdya dan Liman Tarub yang tidak lepas dari adanya peran para Dewa.
Oka Rusmini menulis novel dengan sumber Kidung Jerum ini. Ia mengambarkan Jerum dalam novel sebagai perempuan yang dianugerahi kecantikan oleh para dewata. Tidak ada yang bisa menandingi pesonanya.
Ni Jerum adalah perawan desa yang cantik, perempuan yang selalu menghadapi pusaran suka, duka, lara, dan pati dalam kehidupannya.
I Kundangdya adalah sosok laki-laki yang gagah dan tampan yang mampu memikat semua wanita yang melihat ketampananya. Dia adalah lelaki yang sangat diidam-idamkan atau yang diinginkan oleh para perempuan. I Kundangdya adalah anak yang rajin dan sangat menyayangi ibunya.
Sedangkan Ki Liman Tarub seorang saudagar kaya raya yang membuat para gadis desa bermimpi dipersunting oleh Ki Limab Tarub.
Dalam Novel Jerum ini Oka Rusmini juga banyak menghadirkan tokoh-tokoh yang berkaitan dengan tiga tokoh utama dalam kehidupannya masing-masing, Karya Oka Rusmini yang berjudul Jerum ini tidak hanya menyajikan kisah cinta yang abadi, tetapi juga ada peristiwa-peristiwa masa lalu yang sangat kelam, yang dimana Oka Rusmini membuat adegan-adegan yang mengandung unsur kegelapan dan kematian, seperti pemerkosaan dan pembunuhan yang tidak wajar.
Kisah cinta segitiga ini berawal dari pandangan pertama saat Ki Liman Tarub melihat Ni Jerum. Ki Liman Tarub yang sejak lama sangat menghasratkan Ni Jerum, tetapi Ni Jerum tidak pernah bertemu dengan Ki Liman Tarub yang dimana menurut penuturan warga desa Ni Jerum akan dipersunting oleh Ki Liman Tarub.
Ni Jerum mengatakan ia sudah menyerahkan seluruh hidupnya kepada warga desa. Dan akhirnya Ni Jerum pun dinikahi oleh Ki Liman Tarub.
Oka Rusmini berhasil membuat novel Jerum ini menjadi dramatis, karena cinta pandangan pertama antara Jerum dengan I Kundangdya terjadi setelah Jerum dan Ki Liman Tarub sudah melangsungkan pernikahan.
“Pernikahannya, Kundangdya merasa hatinya teriris. Semangat hidupnya terkuras habis. Semua yang dimakan terasa hambar. Jiwanya perih dirajam asmara.Laki-laki itu seolah kehilangan arah. Ia bahkan tak bisa lagi memercayai penglihatannya sendiri. Daun dilihatnya payung. Buah paria tampak sebagai labu. Pohon beringin berbuah kecubung. Pohon kelurak jadi waribang. Pohon salak menjelma kecapi. Gunung terlihat seperti lautan. Lautan berubah menjadi gunung. Utara disangka selatan. Timur dikira barat. Siang malam tidak menentu. Sebentar gelap sebentar terang. Fajar seolah datang berbarengan dengan senja.” (halaman.93)
“Aku jatuh cinta saat melihat wajahnya Ibu. Aku tidak bisa melupakannya.” (halaman.94)
Dalam paragraf ini I Kundangdya mengalami kisah cinta pandangan pertama saat melihat Ni Jerum, cinta I Kundangdya kepada Ni Jerum tidak akan tergantikan oleh siapapun, dan I Kundangdya bersedia mati demi Ni Jerum.
Selanjutnya, pandangan pertama terjadi pada saat Ki Liman Tarub pergi mengambil perhiasan ke negeri seberang Jimur untuk Ni Jerum. Pada saat itu juga I Kundangdya datang ke kediaman Ki Liman Tarub untuk menemui Ni Jerum. I Kundangdya masuk ke peraduan, lalu di sana I Kundangdya menyatakan cinta kepada Ni Jerum.
“Kau tak perlu mengenal namaku. Aku ibarat lelaki yang sudah mati. Yang tertinggal hanya badan kasar. Ruhnya sudah senyap. Menunggu kau untuk menghidupkannya kembali.” (halaman.98)
“Ni Jerum tergetar mendengar ucapan itu. Lelaki di hadapannya tampak begitu bersungguh-sungguh. Suaranya yang berat, tapi lembut membuat jantungnya berdetak kencang. Terasa mau lepas dari tempatnya. Peluh dingin menyembul dari pori-pori kulit perempuan itu.” (halaman.98)
“Rambutnya basah. Tangannya berair. Tapi anehnya, dia justru merasa hangat. Rasa takutnya seakan menguap begitu saja. Perasaan apa yangtiba-tiba muncul mengepungnya ini? Ni Jerum takhabis pikir dengan dirinya sendiri.” (halaman.98)
Oka Rusmini mengambarkan Jerum sebagai perempuan yang sangat lemah saat awal mengenal cinta, kepolosan dan keluguan Jerum menghadapi seorang laki-laki yang bernama I Kundangdya sangatlah terlihat. Ni Jerum sudah merasakan benih-benih cinta, Jerum juga sudah merasa hangat dan nyaman saat dekat dengan I Kundangdya.
Jerum merasakan sensasi yang luar biasa mengalir sekujur tubuhnya ada rasa nikmat dan rasa yang sangat indah yang di alaminya. Rasa cinta I Kundangdya terhadap Ni Jerum sudah membuat Jerum tenggelam dalam cinta yang mengalun dilarikan arus, gelombang, badai topan mengamuk yang di rasakan dalam tubuh Ni Jerum.
Akhirnya, bencana itu sudah datang dan kematian sudah sangat dekat. Ki Liman Tarub yang sudah menerima kabar bahwa Ni Jerum mencintai lelaki lain yang bernama Kundangdya, lalu Ki Liman Tarub tak kuasa lagi mengendalikan amarahnya. Dia mengamuk, murka, mengobrak-abrik seisi kamarnya, membanting dan melempar benda yang ada di dekatnya.
“I Kundangdya terdiam. Dia paham akan maksud kedatangan kakak-beradik itu.” (halaman.110)
“Ki Liman Tarub menghunus keris, dan dengan garang menusuk I Kundangdya. Lambung kiri pemuda itu jebol, tembus ke tulang belikat. Darah menyembur. Membasahi tanah persabungan. I Kundangdya berkelojotan sebentar, lalu mati.” (halaman.110)
“Tidak, Bibi. Utang janjiku harus dibayar. Aku ingin mati bersama I Kundangdya.” (halaman.112)
“Terima kasih, Liman Tarub. Aku akan pergi ke surga. Bertemu kekasihku. Lelaki yang mencintaiku dengan tulus….” Ni Jerum mengembuskan napas terakhir. (halaman.113)
Dan, pada akhirnya Ni Jerum dan I Kundangdya mati dengan membawa cinta sejati yang abadi.
‘Cinta mengubah rasa sayang mejadi ambisi. Cinta mengubah yang tidak mungkin menjadi mungkin. Dan, kematian akan indah karena cinta’. [T]