HUJAN SEMAKIN menjadi-jadi pada Sasih Kawulu ini. Gerombolan burung gereja yang kedinginan berusaha menyelipkan tubuhnya di sebuah lubang kayu lembah kaldera, menghindar dari guyuran hujan yang tak kenal ampun. Angin dan kabut dingin yang membekukan deretan hari, menusuk-nusuk ke tulang berhembus menyesakkan dahan-dahan.
Tubuh saya terasa remuk, tak tentu bentuk, beberapa tulang lenganku tersumbur keluar, darahku telah membeku di atas motor tunggangan. Ini tak menyurutkan tekad untuk menemui anak-anak yang sangat butuh materi resensi di kelas.
Dari sini kelas akan saya mulai di tengah Sasih Kawulu yang pekat. Saya harus memulai dan mengerjakan proyek belajar ini. Singkat cerita mengisi pekatnya Sasih Kawulu ini, pada saat saya mengajarkan tentang materi resensi, dari sini tergali betapa suramnya minat membaca siswa.
Materi resensi bagi saya tidak sekadar berteori tentang resensi. Tidak sekadar apa itu resensi? Unsur-unsur resensi, kaidah kebahasaan resensi, dan lain sebagainya terkait resensi.
Saya mengatakan kepada siswa, jika hanya deretan teori itu tujuan pembelajaran yang harus dikuasai, diberbagai referensi, di google, sangat banyak. Karena itu, peran guru untuk menyampikan teori ini tak terlalu penting. Karena dengan googling, dengan menonton video tutorial sangat mudah untuk ditemukan diberbagai media. Jadi, pembelajaran seperti ini bisa dilakukan secara konstruktivis.
Begitu pula dengan asessesmen dan penilain. Jika setelah belajar materi resensi dan materi-materi yang lainnya, dievaluasi dengan soal uraian atau soal pilihan, a, b, c, dan seterusnya, itu hal yang memang biasa selama ini dilakukan acap kali pembelajaran dianggap selesai. Itu pakem yang memang baku. Lantas siswa bisa menjawab dengan benar berapapun jumlah soal yang diberikan oleh guru dan mendapatkan hasil 100.
Artinya, siswa sangat hebat dan setelah itu urusan materi resensi sudah selesai. Sudah habis dan sudah tak ada kabar selanjutnya.
Apa yang ingin saya sampaikan dari hal ini? Jika pembelajaran seperti ini ternyata sangat sederhada dan gampang. Hanya mengukur ranah kognitif secara kuantitatif. Tetapi jika mau diperdalam lagi secara “lebih” bermakna, urusan belajar tidak sekadar mengukur dan mengisi diri dengan ranah pengetahuan. Hanya sekadar mengukur tingkat pengetahuan dengan deretan teori lalu diukur dengan deretan soal, persoalan belajar sudah selesai dan sudah habis.
Bagi saya belajar tak saja selesai pada ranah kognitif dan nilai 100. Lalu saya kenjar secara lebih autententik pembelajaran itu, hingga siswa merasakan betapa hebatnya belajar tanpa batas, tanpa sebatas teori, atau melulu berteori.
Di sinilah saya menemukan persoalan itu yang sangat mendasar. Persoalan mendasar tentang kecakapan literasi siswa, “miskinnya” koleksi bacaan murid, dan yang paling mengenaskan siswa kering membaca bahkan nihil membaca. Di sinilah persoalan itu saya temukan yang harus saya kerjakan secara lebih mendasar. Persoalan yang selama ini dilupakan, pembiaran, hingga pembelajaran pada ranah psikomotor menjadi tanpa roh, tak berdaya, dan mati.
Ketika saya melakukan projek meresensi buku pada siswa dengan limit waktu yang begitu lama dan bisa dilakukan tanpa terbatas ruang dan waktu. Artinya tak sebatas di sekolah 2 jam pembelajaran. Projek ini lalu saya asessesmen dan evaluasi, hasilnya sangat pencengangkan. Seorang siswa berkata “membaca begitu melelahkan, sulit dan malas”.
Saya katakan selama ini apa yang kalian lakukan terkait belajar. Apakaah belajar tanpa membaca, atau sekadar baca hanya untuk urusan menjawab soal ulangan, atau sepotong teori jika perlu saja?
Persoalan ini sangat miris. Jika siswa tingkat menengah kondisinya sangat berat kalau berhadapan dengan persoalan baca. Berarti selama ini siswa begitu hampa dan gelap karena membaca begitu tak berdaya.
Membaca bagi siswa atau bagi orang bukan keterampilan yang sertamerta. Bukan sebuah kodrat yang jatuh begitu saja dari langit. Tetapi keterampilan membaca akan terbentuk dengan pembiasaan yang dibudayakan hingga menjadi “menu” dalam hidup. Jika sampai saat ini siswa belum mengenal Putu Wijaya, AA Panji Tisna, Oka Rusmini, dan sastrawan lain Bali, itu sangat menyedihkan. Bahkan Sutan Takdir Alisyahbana (STA) yang plang namanya masih terpampang di Toya Bungkah, Kaldera, Kintamani, Bali, mereka tidak kenal walaupun itu sekadar nama atau jejak langkahnya di Toyabungkah, Bali.
Dalam konteks yang saya bicarakan ini, mungkin sudah masuk urusan yang lebih ekstrim bagi sebagaian murid. Karena yang sederhana saja seperti mana buku fiksi dan non fiksi masih terlalu asing bagi murid.
Dari mana saya harus memulai untuk persoalan ini. Jika secara mendasar saja mereka masih begitu hampa. Siswa tahu sebenarnya “hanya dengan membaca bisa membuka jendela dunia”, “membaca adalah guru yang terbuka setiap saat”. Tetapi toh juga mereka tak melakukan gerakan membaca minimal untuk kehidupan pribadinya.
Membaca memang bukan persoalan mendatangkan uang, bukan persoalan bisnis, bukan pula persoalan sukses. Namun, Perlu diingat, dengan membaca akan membuka peluang bisnis, peluang sukses, dan peluang-peluang yang lainnya.
Tidak ada cara lain, tidak ada cara hebat untuk menjadi hebat kecuali dengan melakukan gerakan membaca. Jangan kalian anggap saya sebagai guru sekadar guru, guru abal-abal. Yang sekadar berteori di kelas. Misalnya, selesai pada urusan teori pada mareri resensi lalu tesnya pada soal soal a, b, c, d,. Setelah itu, kalian mendapatkan nilai 100. Selanjutnya, urusan materi akan selesai, tanpa makna lagi.
Kapan siswa mau tahu dan tahu tentang jejak langkah dan gerakan-gerakan STA di Toya Bungkah. Kapan mereka mau tahu PPutu Wijaya, Aryantha Soethama, kapan mereka tahu Pramoedya Ananta Toer, sastrawan hebat sepanjang abad yang pernah dipenjara di Pulau Buru? Kapan mereka tahu tentang Bali dengan segala kegelapan dan terang, lewat baca buku-buku pengarang itu.
Murid terlalu nyaman pada zona yang begitu tenang. Tenang dan nyaman jika belajar sekadar membaca sepotong halaman buku. Murid menganggap urusan sekolah terutama belajar hanya selesai pada nilai 100, lalu tanpa makna karena sampai tamat, satu buku pun belum pernah terbaca. Ini ironis. Satu buku Pramoedya yang murid baca akan membekas dan terpahat maknanya dalam hidupnya sepanjang masa, ketimbang nilai 100 yang diperoleh hanya dengan menebak jawaban a, b, c, atau d.
Sekali lagi, dimana persoalannya? Persoalan itu ada pada kata “belajar autentik”. Membiarkan hidup murid tanpa keterampilan mumpuni dari proses membaca secara autentik. Membiarkan hidup yang tenang pada zona nayaman. Padahal sebenarnya yang terjadi adalah tidak nyaman dan dirong-rong oleh “kemiskinan” dan ketidakberdayaan membaca. Hidup siswa telah direnggut rasa cemas yang berkepanjangan karena tidak melakukan gerakan untuk mengisi nutrisi otak dengan bacaan-bacaan yang penuh diferensiasi.
Sebagai guru, walau hanya sebatas guru, persoalan ini tidak akan saya biarkan. Entah saya dianggap guru yang mencari sensasi, saya tidak peduli. Yang lebih saya pedulikan untuk mengentaskan “kemiskinan” membaca untuk membangun paling tidak sumber daya dirinya.
Untuk gerakan yang nyata, yang autentik. Saya bukan guru abal-abal yang hanya sekadar sok berteori lalu urusan membaca siswa selesai. Dari peristiwa belajar resensi siswa akhirnya tahu rasa mual karena harus terpaksa membaca. Mulai uring-uringan karena mulai bersentuhan dengan buku, dan memilih buku. Mulai mengatakan “saya baru tahu arti penting membaca”.
Atau baru mau mengatakan dengan jujur “saya baru belajar membaca”. Miris mendengar ini. Sedih dan sekaligus perjuangan hebat yang perlu saya kerjakan. Tentu dengan gerakan nyata, gerakan riil yang tanpa pernah ada rasa atau pretensi untuk mendapatkan apa apa selain menyasarkan dan membangun belajar membaca murid yang selama ini merasa ada pada zona nyaman. [T]
BACA artikel lain dari penulis I GEDE EKA PUTRA ADNYANA