SEBAGAI BENTUK seni olah vokal ala Bali, sandhya gita sudah dikenal sejak tahun 1980-an. Saat itu, sandhya gita masih mirip seperti paduan suara yang diiringi musik gamelan Bali, secara umum gamelan gong kebyar.
Lambat laun, sandhya gita berkembang menjadi salah satu jenis seni pertunjukan. Para penyanyi—terdiri dari sederet penyanyi perempuan dan sederet lagi penyanyi laki-laki—naik panggung dengan performa yang lebih lengkap. Di atas panggung mereka tidak sekadar memperdengarkan suara merdu, namun juga mempertunjukkan seni gerak dengan segala komposisinya.
Sandhya Gita kini bukan pasif, hanya bernyanyi dengan gerak tangan seadanya. Sandhya Gita kini adalah bentuk seni pertunjukan baru, di dalamnya terdapat berbagai paduan seni, semisal musik, olah vokal, tari, dan teater.
Setidaknya hal itu terlihat pada Sesolahan (Pergelaran) Sandhya Gita “Nawa Ruci” Sanggar Seni Kokar Bali, SMK 3 Sukawati, saat Pembukaan Bulan Bahasa Bali ke-5, Rabu 1 Februari 2023.
Unsur dasar, yakni vokal (lagu) dan karawitan, pada sandhya gita ini tetap menonjol, secara peforma para penyanyinya juga menari, bermain drama, sekaligus punya upaya untuk menampilkan cerita dan pesan-pesan. Semua itu tak sekadar saling menempel, melainkan terpadu hingga lebur jadi satu bentuk seni pertunjukan baru. Bahkan pada garapan itu diisi juga unsur digital, meski unsur yang satu ini masih terkesan sebagai pelengkap saja.
“Kita memadukan suasana kini dan nanti. Artinya, dari tradisi, ke inovatif bahkan modern atau digital karena ada unsur teknologi juga,” kata penggarap tabuh dalam garapan sandhya gita itu, I Made Subandi.
Garapan berjudul “Nawa Ruci” ini mengangkat kisah perjalanan Bima mencari Tirta Ameta ke tengah laut. Sesunguhnya Bima dibohongi, namun karena setia pada Sang Guru Drona, ia melakukan tugas itu. Padahal, Kunti, ibunya, tak mengizinkan, karena merasakan firasat yang tidak baik. Karena ketulusan Bima, tirta amerta yang sesungguhnya tidak ada, akhirnya dianugerahkan juga oleh Dewa Siwa kepada Bima.
Garapan ini diawali dengan tembang yang selama ini seakan menjadi uger-uger dari sandhya gita, yakni menggunakan tembang sekar alit, sekar madya dan sekar agung.
Sambil matembang, para penyanyi melakukan olah gerak tradisi yang didominasi dengan gerak tangan. Setiap pergantian komposisi dibarengi dengan sajian gerak yang berbeda.
Pada satu adegan, komposisi garapan seperti paduan suara, dan pada adegan yang lain tampil seperti dramatari arja, menari sambil matembang.
Di bagian berikutnya, tiba-tiba muncul nuansa lagu-lagu pop Bali, seperti yang disajikan para artis Bali di atas panggung. Pemain membawakan tembang-tembang penuh suka cita diiringi karawitan Bali dengan model musik modern. Liriknya, mengajak generasi muda dan semua orang untuk menyayangi dan menjaga laut.
Ketika memasuki babak inti, babak yang membeber kisah, suasana pun berubah menjadi sajian sendratari. Tokoh Bima, Kunti, rakyat (nelayan) dan Dewa Siwa mengekspresikan kisah melalui gerak tari. Adegan-adegan itu dibarengi dengan tampilan video melalui layar di atas panggung.
Ketika para nelayan mengisahkan mencari ikan di laut, penari itu keluar stage lalu mucul di layar dengan suasana laut. Demikian, pula ketika Bima mencari tirta amerti di dasar laut, Bima masuk ke dasar laut yang penuh dengan beraneka ikan. Demikian pula, ketika Dewa Siwa menghidupan Bima kembali dari layar, yang langsung kontak dengan Bima diatas stage.
Made Subandi menegaskan, walau ada unsur teknologi, tetapi garapan ini tetap mengacu pada seni tradisi seperti, menyajikan sekar alit, sekar madia dan sekar agung. Tradisi sebagai acuan, namun dalam penyajiannya beberapa unsur sudah diolah dengan rasa kekinian.
Tradisi dan inovasi sebagai gambaran kini dan nanti, sebagai bukti seni tradisi itu tidak alergi dengan dunia sekarang. “Artinya, dari segi penyajian garapan ini tetap kuat dengan tradisi, namun bisa diterima di jaman sekarang, dan disaksikan oleh siapa saja,” kata Subandi.
Secara umum garapan sandhya gita tidaklah bisa disebut sebagai seni vokal saja. Keseimbangan semua unsur seni diperhitungkan secara ketat. Misalnya vokal tidak ditutupi oleh musik atau usur, musik juga bukan hanya berlaku sebagai pengiring vokal.
Vocal juga tidak sebagi objek penderita, karena itu musik kelihatan juga. Dalam garapan ini, juga tidak ada yang memonopoli, masing-masing instrument, individdu menunjukan skill dan indentitas dalam garapan itu. Semua instrumen itu padu, dan masing-masing instrumen itu digarap secara apik.
“Seperti membuat candi. Bahannya dari batu padas dan bata, tetapi bagaiman cara menyusunnya, sehingga menjadi baik dan indah. Artinya, format lagu itu yang penting,” lanjut Subandi.
Penggarap tari, I Gusti Ngurah Agung Giri Putra menambahkan, garapan sandhya gita ini memang padu dengan sendratari, namun dalam pengemasannya tetap menonjolkan sandhya gita.
Dalam garapan sandhya gita ini, jelas Agung Giri Putra, porsi gerak tari tetap lebih sedikit karena harus menonjolkan suara, sehingga kekhasan dari sandhya gita tidak ilang.
“Kami sedikit keluar dari pakem Sandhya Gita sebelumnya, terutama dalam penampilan yang seperti paduan suara itu. Kami mengembangkan sedikit dengan pola gerak, khususnya dalam posisi diam, sehingga tidak membosankan,” kata Agung Giri.
Gerak pemain, mengacu pada gerak tari dari tradisi yang lebih disederhanakan. Hal itu dilakukan, karena tempo lagu yang dinyanyikan sambil bergerak. Untuk memberikan penekanan suasana, garapan ini menggunakan property kober, tedung, gebogan untuk adegan melasti, naga dan kipas untuk adegan saat Bima mati di dasar laut.
“Untuk seniman yang tampil dalam sandhy gita, ini kami awali dengan menyeleksi para siswa, sehingga bisa mendapatkan seniman yang bisa matembang dan menari,” ujar Agung Giri. [T][Pan]