DENPASAR | TATKALA.CO – Anak-anak Hindu berbaur dengan anak-anak Muslim adalah sebuah pemandangan yang sudah biasa terjadi dalam sebuah lomba atau acara yang bernapaskan seni-budaya Bali di Bali. Seperti terlihat dalam Wimbakara (Lomba) Ngambar (Menggambar) Satua Bali atau Cerita Bali serangkaian dengan Bulan Bahasa Bali (BBB) ke-5 tahun 2023 di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, Sabtu, 4 Februari 2023.
Anak-anak sekolah dasar (SD) itu duduk rapi di belakang meja gambar dengan gembira. Tak ada yang tampak anaeh. Anak-anak Hindu menggunakan pakaian adat Bali dan anak-anak Muslim menggunakan pakaian khas Muslim.
Lomba ini melibatkan sebanyak 50 peserta dari siswa-siswi setingkat SD dengan mengangkat tema sesuai Bulan Bahasa Bali, yakni ‘Segara Kerthi, Campuhan Urip Sarwa Prani’. Dari tema itu, para peserta mengangkat satua (cerita) rakyat yang pernah didengar, baik dari orang tua ataupun cerita yang didapat berdasarkan wawancara dan membaca buku cerita.
Anak-anak setingkat SD itu menyelesaikan sket gambar, lalu memberi warna, kemudian menyelsaikan gambar mereka. Ide gambarnya sangat beragam, goresannya lugas dan kreatif.
Dewan juri, Dr. Drs. I Wayan Karja, MFA mengatakan, lomba ngambar satua Bali ini adalah sesuatu yang penting dan sebaiknya secara rutin dilaksanakan di Bali. Karena selama ini satua atau cerira rakyat Bali hanya disampaikan secara lisan sebelum tidur, tetapi tidak banyak disampaikan melalui gambar.
Padahal, kata Wayan karja, terjemahan cerita dalam bentuk visual atau gambar akan memberikan ingatan yang lebih kuat pada anak-anak. Apalagi jika gambar itu ditempel di dinding yang bisa dilihat dan diamati secara terus menerus. Dengan begitu, pengetahuan tentang cerita itu akan terus melekat dalam memori anak-anak.
“Membuat gambar untuk cerita adalah cara pengembangan potensi dan talenta anak,” kata Wayan Karja.
Lebih lanjut Wayan Karja mengatakan, Lomba Ngambar Satua Bali yang pertama kali digelar dalam perhelatan Bulan Bahasa Bali ini adalah kegitan yang memberikan kesempatan anak-anak untuk betul-betul menghayati proses, mulai dari mengamati, mendengar, melihat atau mewawancarai dengan orang-orang sekitar.
Dengan begitu, cerita itu akan menjadi lebih kaya, lebih melekat dan lebih cepat bisa diaplikasikan pada kehidupan sekarang ini. “Artinya, nilai-nilai seperti tata susila, kejujuran, sopan santu akan dimengerti oleh anak pembuat gambar ataupun yang menyaksikan gambar itu,” kata Wayan Karja.
Apalagi, lanjut Wayan Karja, peserta lomba ngambar kali ini tak hanya mengekspresikan ide-idenya melalui gambar, tetapi juga dilengkapi dengan tulisan yang menceritakan maksud dari gambar itu.
Itulah yang membuat lomba ini menjadi luar biasa untuk di Bali. Esensi cerita ini memang menjadi satu cerita rakyat yang tak hanya di Bali, tetapi juga di Nusantara yang sangat beragam, termasuk di belahan dunia, sehingga pesertanya tak hanya siswa yang beragama Hindu, tetapi juga diikuti oleh anak-anak Muslim.
“Peserta kali ini sangat antusias,” kata wayan Karja yang pengajar seni murni di ISI Denpasar.
Dewan juri lain, I Gede Gita Purnama, M.Hum, lebih fokus mengamati unsur-unsur sastra dan materi pada satua itu. Menurut Gita Purnama, visual satua oleh anak-anak itu penting. Selama ini yang membuat visualisasi dari DKP, guru dan orang profesional, sehingga karya-karya sangat profesional.
“Sekarang anak-anak yang membuat visual satua, mereka juga memberi imajinasi lalu dinikmati oleh anak-anak, sehingga hasilnya akan lebih mengena, karena masih dalam dunia anak. Maka lomba seperti ini perlu mendapat apresiasi dan dilanjtkan,” ujar Gita Purnama.
Selama ini, kata Gita Purnama, yang menyiapkan cerita anak itu orang dewasa. Anak-anak hanya menikamti, sehingga terkadang tidak nyambung. Sekarang ini anak-anak yang membuatnya, dan juga untuk anak-anak. Imajinasinya anak-anak, dibaca oleh anak-anak, sehingga lebih nempel.
Walau tak melakukan risert secara khusus, tetapi anak-anak biasanya mampu memvisualkan melalui kreativitasnya sendiri. Sejauh mana mereka memvisualisasikan satua itu, maka penafsiran anak itu tak akan disalahkan.
“Mereka bisa saja membuat ayam berwarna unggu, katak yang tak sesuai dengan katak yang ada di Bali, itu tak salah, karena menjadi bagain dari kreatisvitas mereka,” kata Gita Purnama. [T][Pan]