Jauh sebelum NU didirikan, KH. Wahab Chasbullah, seperti ditulis Ahmad Zahro dalam buku Tradisi Intelektual NU: Lajnah Bahtsul Masail 1926-1999 (2004), bersama KH. Mas Mansur, pada 1916 mendirikan Nahdlatul Wathan yang berarti “kebangkitan tanah air”─yang oleh Martin van Brulnessen dalam buku NU: Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru (1994) disebut sebagai lembaga pendidikan agama bercorak nasionalis moderat pertama di Nusantara.
Sekadar informasi, Nahdlatul Wathan Kiai Wahab dan Kiai Mansur berbeda dengan Nahdlatul Wathan (NW) yang didirikan Tuan Guru Kiai Haji (TGKH) Muhammad Zainuddin Abdul Madjid di Lombok, NTB, pada 1953.
Setelah mendirikan Nahdlatul Wathan, Kiai Wahab, pada 1918 kembali mendirikan satu perhimpunan lagi. Dikutip dari buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU (1985) karya Choirul Anam, organisasi ini bernama Nahdlatul Tujjar yang berarti “kebangkitan para pedagang”.
Tak cukup sampai di situ, setahun berselang, di Ampel, Surabaya, berdiri majelis diskusi dan madrasah bernama Taswirul Afkar. Dilansir dari tirto.id, madrasah ini didirikan sebagai tempat mengaji dan belajar ilmu agama bagi anak-anak yang diharapkan kelak dapat mempergunakan ilmunya untuk melestarikan Islam tradisional. Kiai Wahab dan Kiai Mas Mansur punya andil dalam pembentukan madrasah ini.
Pada 1926, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, hendak melakukan tindakan yang “gila”. Ia mungkin termasuk penganut Wahabi yang ekstrem pada saat itu. Sehingga, dengan alasan untuk menjaga kemurnian agama dari musyrik dan bid’ah, berbagai tempat sejarah, termasuk rumah dan makam Nabi Muhammad serta sahabat, hendak ia bongkar.
Syahdan, kabar itu sampai di telinga para ulama ahlussunah di Nusantara, termasuk Kiai Wahab.
Singkatnya, K.H. Wahab Chasbullah segera merespon dengan sowan ke K.H Hasyim Asy’ari. Hingga pada akhirnya, sejarah itu pun terjadi. Pada tanggal 31 Januari 1926, 16 Rajab 1344 H, di kediaman Kiai Wahab, bersama para kiai ternama dari Jawa Timur, Madura, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, berupaya membahas agar Islam tradisional di Indonesia dapat dipertahankan. Maka dari itu, dirasa perlu dibentuk sebuah wadah khusus─dan wadah itu bernama Nahdlatul Ulama (NU).
Kurangi seremoni, perbanyak aksi
Pada 7 Februari 2023 yang akan datang, tepat 16 Rajab 1444 H, Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 100 tahun (seabad). Untuk ukuran organisasi, bisa dibilang ini usia yang matang. Sejak berdiri sampai sekarang, NU telah diwarnai dengan banyak dimamika seiring sejarah peradaban Islam dan bangsa Indonesia.
Tulisan K.H. Abdussalam Shohib Bisri (Jawa Pos, 21/01/2023) mengingatkan, memasuki awal abad kedua kehadirannya, menjadi momentum kebangkitan kedua (an-Nahdlah ats-Tsaniyah) bagi NU dalam mengembangkan peran-peran keagamaan dan kemasyarakatan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Waktunya NU berbenah. Bergerak berdampak. Konkret tanpa banyak seremoni. Seperti yang sering digaungkan Gus Rijal Mumazziq, Rektor INAIFAS, melalui tulisan-tulisannya di media sosial.
Pernah, suatu kali, Gus Rijal menulis di akun Facebook pribadinya tentang ironi di tubuh NU. Ia menyampaikan betapa banyak “aktivis NU, yang sejak muda berkhidmah, baik di lembaga maupun Banom, di usia senja sakit-sakitan. Ekonomi mulai merosot. Mau berobat, atau sekadar kontrol ke RS bingung. Mau nyewa mobil, dengan kondisi fisik yang kepayahan…. Siapa yang bisa diharapkan membantu? Minimal meringankan bebannya. Embuh.”
Paradoks, kata Gus Rijal. Di balik ketidakpedulian akan nasib warga NU, masjid justru berdiri megah. “Dibangun dengan sumbangan masyarakat. Saldo menumpuk. Hanya dipajang nominalnya (dan dibacakan pada saat hari Jumat di depan jamaah sholat Jumat). Semakin banyak saldo terpampang, semakin bangga,” tulisnya.
Lebih lanjut, ia menulis, masjid dibangun dengan dana miliaran “cuma” buat sholat, paling mentok buat PHBI. Dana dari mana? Narik iuran warga. Selesai acara megah, warga tidak mendapatkan dampak jangka panjang, kecuali hanya tertawa mendengar ceramah mubaligh. Tak ada kegiatan mengaji, kegiatan sosial kadang-kadang; tak ada alokasi dana sosial; tak memikirkan nasib anak yatim di sekitar masjid.
Benar. Rasanya gerakan NU─walaupun tidak semua─memang lebih banyak yang seremonialnya. Dan jika mau ditelisik lebih dalam, yang seremonial itu seringkali malah tak berdampak─tak ada umpan balik. Justru malah selalu, meminjam bahasa Gus Rijal, bottom up, jarang yang top-down.
Barangkali gerakan NU memang harus segera diupgrade. Memikirkan program-program kecil tapi istiqhomah dan benar-benar dirasakan umat─ini yang benar-benar penting. Hal ini tentu tidak bertentangan, justru implementasi dari butir ke-3 Maklumat Hadratussyaikh K.H. Hasyim Asy’ari . Tak perlu merancang program-program elitis, muluk-muluk yang susah untuk diwujudkan. “Jangan kebanyakan rapat. Kakean sing usul, minim sing tandang gawe,” kata Gus Rijal.
Terakhir, mengutip kata Gus Rijal, “Eling lan ndongakne wong sing wis mati iku apik, luwih apik maneh ngopeni wong urip.”─mengingat dan mendoakan orang yang sudah mati itu baik, (tetapi) lebih baik lagi (kalau) memperhatikan orang (yang) masih hidup.(T)