SEORANG LAKI-LAKI bertampang mesum bicara komat-kamit di layar kaca. Omongannya panjang dan sembari sesekali melirik kamera, ia tampak berusaha terlihat menyesal. Aku dan Risjad menontonnya dengan tidak serius-serius amat. Alasannya dua : setiap kata yang keluar dari mulut si pria kelihatan dibuat-buat dan eskpresi penyesalannya justru lebih mirip seseorang yang menahan buang air besar. Ia sedang melakukan klarifikasi dan penyangkalan atas tuduhan khalayak ramai tentang pelecehan seksual yang dilakukannya beberapa tahun lalu.
“Saat itu saya sedang mabuk dan benar-benar tidak sadar atas apapun yang saya lakukan,” ujarnya. Pendukungnya—yang sedari tadi sigap mengoceh di kolom komentar—mengamini alasan si pria dan menyatakan pemakluman.
Aku melongo. Jika alkohol punya akal dan perasaan, tentu ia pun muak menjadi kambing hitam atas segala perilaku tidak senonoh umat manusia. Malahan, jika diingat-ingat, aku tidak kenal siapapun yang pernah menjadi mabuk lalu menggerayangi kemaluan perempuan. Risjad salah satu contoh akuratnya. Saat aku baru mengenal pria ini, sepuluh tahun lalu, ia menenggak minuman keras terlalu banyak dan melantur.
Kala itu, kami dan beberapa kawan menggelar tenda di pinggir sebuah pantai. Usai bermain kartu kira-kira dua puluh tiga ronde, Risjad nampak menatap kekosongan yang membentang seluas lautan di depannya sembari duduk memeluk kedua lutut. Aku yakin, ini bukan karena ia kalah secara konstan dalam keduapuluh tiga ronde tadi. Tiba-tiba, ia meneriakkan nama Tuhan.
Aku memeriksa empat botol kecil minuman keras, dan tentu saja Risjad telah menenggak hampir seluruhnya. Ia mabuk. Namun alih-alih mengajakku berbuat mesum, ia justru mengoceh tak tentu arah soal bagaimana Tuhan telah memberinya karunia kehidupan dan—tentu saja— merenungi perihal nikmat mana lagi yang ia dustakan. Kata-kata yang sangat sulit dipercaya, mengingat selama ini Risjad kerap mendeklarasikan dirinya sebagai seorang Atheis—atau Agnostik, entahlah salah satu dari itu. Aku selalu kesulitan membedakan antara keduanya.
Sebagai mahasiswa tingkat akhir Teknik Fisika, ia hanya menyembah dua entitas : Stephen Hawking dan Charles Darwin. Kombinasi yang sangat aneh tentu saja. Namun malam itu, ia berlagak layaknya frater muda yang sudah khatam mempelajari Alkitab dengan tekun seumur hidupnya. Atau memang seperti itukah ia sebenarnya?
Sembari mengawasi Risjad yang sedang berlari bolak-balik dari satu ujung pantai ke ujung lainnya, berkali-kali tanpa henti, aku teringat kata-kata seorang kawan. Saat mabuk, manusia cenderung melepaskan secuil bagian diri yang selama ini sanggup mereka sembunyikan, semata-mata hanya karena kontrol diri yang begitu hebat. Risjad, yang selama itu menolak semua ajaran agama dan menganggap Tuhan hanya halusinasi hebat para nabi dan semua penganut ajaran mereka, ternyata diam-diam berharap punya daya untuk percaya terhadap konsep keesaan. Belakangan, ia mengakui rasa irinya terhadap orang-orang beriman.
“Mereka punya tempat menggantungkan doa dan harapan, aku tidak,” ujarnya sembari merapikan kemeja yang sudah licin setengah mati. Ia tidak menatapku saking malunya. Risjad tersayang, folie à deux memang tidak pernah jadi penjelasan masuk akal untuk memuja Tuhan. Hampir saja kukatakan hal itu tanpa perasaan. Tapi sebagai teman yang baik aku hanya mengangguk mengerti dan persahabatan kami berlanjut hingga sekarang. Tiap kali ia mengajak mabuk-mabuk, aku mengemas sebuah rosario di tas kanvasku. Sekadar berjaga-jaga apabila kembali terjadi pertunjukkan kesalehan yang meledak-ledak.
Tapi aku bukannya tidak punya pengalaman buruk saat berurusan dengan hal-hal yang menimbulkan candu.
Saat mengalami patah hati berat beberapa tahun lalu, aku mengadopsi Aamir, seekor kucing kampung berbadan kekar. Rasa merana tingkat akut yang bercokol di dalam dada kucurahkan pada Aamir. Saat aku dilanda depresi dan enggan makan ataupun keluar kamar, Aamir muncul di jendela dengan seekor ikan bakar utuh yang entah dicurinya dari mana. Makanan lezat itu diletakkannya di dekat kakiku, lalu ia menyorongkan kepala mungilnya ke sana. Membelai tungkaiku dengan rasa yang kuyakini sebagai kasih.
Suatu hari, demi membayar pengabdiannya yang tanpa batas, aku membelikan sejumput catnip. Setelah menghabiskan tumbuhan beraroma aneh itu, Aamir menjadi pribadi yang sama sekali berbeda. Matanya membulat, lalu mengecil, lalu membulat, dan mengecil lagi. Ia menatap jendela dengan kekosongan yang mencurigakan. Lalu tanpa bisa kucegah, ia tiba-tiba berlari ke jalan raya dan melompat ke hadapan sebuah truk yang tengah melaju kencang. Kucingku mati dengan badan remuk dan bola mata melompat keluar.
Risjad berusaha meyakinkanku bahwa peristiwa bunuh diri ini sama sekali tak ada hubungannya denganku. Tapi aku berani bersumpah demi kura-kura Galapagos dan hal-hal abadi lainnya bahwa sebelum truk itu menyambar tubuh Aamir, ia menatap mataku lekat-lekat seakan ingin berkata : “Aku muak dengan ketololanmu soal asmara”.
Aku menutup mata dalam-dalam dan mengakhiri lamunan absurd soal Aamir. Sementara itu lelaki mesum di layar kaca masih sibuk dengan sederet pembelaan yang, menurutku, justru semakin membuat sisi bajingannnya terang benderang. Di satu poin, ia mengungkit kealpaan si korban untuk segera melapor ke polisi jika memang merasa dilecehkan. Seketika Risjad mendengus jijik.
“Yang benar saja, lapor polisi? Ingat kasus kakek mudamu, Ten?” ujarnya kepadaku.
Aku melirik Risjad sekilas sebelum tersenyum hambar. Aku punya seorang Opung jauh, yang usianya hanya terpaut 20 tahun lebih tua denganku dan dalam satu fase hidupnya pernah berstatus sebagai buronan. Kejahatannya tidak kecil, ia membunuh seorang pria. Hari itu adalah hari terpanas di Bandar Lampung tahun 1982, dan Opung terlibat perkelahian di pasar dengan salah satu preman muda yang menghina ibunya. Duel kelas teri ini mencapai puncaknya saat Opung, yang belum makan apa-apa sejak pagi selain sepotong tempe goreng dingin, mengeluarkan sebilah pisau lipat dan menusuk lawannya di perut bertubi-tubi. Preman muda itu terkapar tanpa nyawa. Seorang kerabat yang menjadi saksi langsung berlari ke kantor polisi terdekat melaporkan kejadian itu.
Diserang panik, Opung mendatangi rumah nenek, paman, kakak, hingga mantan pacarnya untuk mencari suaka. Semua menutup pintu rapat-rapat bagi si pesakitan. Dua jam kemudian Opung nekat naik bis terakhir ke Bakauheni dan lima jam setelahnya, ia sudah berada di Merak.
Polisi datang terlambat. Polisi selalu datang terlambat. Ada jeda dua puluh jam sebelum mereka mulai mencari Opung dan saat itu, si buronan sudah tiba di pedalaman Jawa Tengah tanpa seorang pun tahu keberadaannya. Bagaimana ia membangun kembali seluruh hidupnya dengan keringat dan darah adalah kisah lain. Namun singkat cerita, dua puluh tahun kemudian, Opung menikmati hidup nyaman dengan dua istri dan tujuh anak, menyandang gelar sarjana hukum dari universitas bergengsi, dan –ironis betul—menjabat sebagai Kepala Bagian Perlindungan Hukum sebuah lembaga pemerintahan. Ia bahkan tidak pernah mengganti nama.
Opung tidak pernah lagi menginjakkan kakinya di Bandar Lampung. Orang tua si preman muda tidak pernah mendapat keadilan. Mereka tidak pernah menyaksikan si pembunuh masuk bui, atau paling tidak mati babak belur setelah ditendangi massa. Dua dekade bukan waktu yang singkat dan seluruh keluarga itu tak sudi lagi percaya pada polisi. Sebuah langkah yang diikuti oleh Risjad bertahun-tahun kemudian saat anjingnya, Bordeaux, hilang diculik penjual tongseng haram dan laporannya ditertawakan polisi setempat. Setelahnya, Risjad mengunci diri di dalam kamar berhari-hari, sebelum dengan lantang mendeklarasikan vendeta pada lapo-lapo asu di seluruh kota. Sejauh ini, ia berhasil menumbangkan dua. Prestasi besar.
Aku melirik ke arah laptop. Si lelaki mesum baru saja mengakhiri pembelaan panjangnya dengan kalimat “Hanya itu yang ingin saya sampaikan, semoga dengan menempuh jalur hukum masalah ini bisa segera diselesaikan”. Aku mengumpat. Sebuah imaji terbentuk kasar dalam benakku : si mesum keluar sebagai pemenang atas kasus pelecehan yang dibawanya ke meja hijau, dan senyum puas mengembang di wajah itu. Perutku mulas, melilit membayangkan hal ini. Wajah Aamir dan Bordeaux kemudian muncul di hadapanku, berputar-putar, menjadi cair hingga menyatu, lalu menjelma paras renta Opung dan raut tentram yang menghiasinya. [T]
Bogor, Juni 2021
[][][]