SIWARATRI BERASAL dari dua suku kata yaitu Siwa dan Ratri. Siwa adalah nama kehormatan manifestasi Tuhan sebagai Dewa Pelebur.
Dalam Bahasa Sansekerta Siwa juga berarti baik hati, dan suka memaafkan. Ratri berarti jagra atau tidak tidur. Jadi malam Tilem Kapitu diyakini Batara Siwa sedang melaksanakan tapa, yoga, semadi.
Siwaratri sebagai salah satu hari suci umat beragama Hindu, khususnya di Bali, yang jatuh setiap tahun menurut kalender Isaka yaitu pada Purwaning Tilem Kapitu. Esensinya bagaimana umat Hindu melepaskan diri atau paling tidak mengurangi kepapaan, kemabukan dan nafsu-nafsu peteng pitu yang sering dikenal dengan sebutan Sapta Timira: Surupa (rupa cantik atau ganteng), Dhana (kekayaan), Yowana (keremajaan), Kulina (keturunan), Guna (kepandaian), Sura (minuman keras), Kasuran (kemegahan).
Perayaan hari suci ini, tidak terlepas dari karya Mpu Tanakung yang menceritakan perjalanan Lubdaka berburu ke hutan. Walau Lubdaka sangat berdosa karena banyak membunuh binatang, namun karena dia jagra dan terus menerus mohon ampun kepada Dewa Siwa saat ia melaksanakan Yoga Semadi maka kesalahannya diampuni.
Menyimak cerita tentang Lubdaka, tentu akan memberi kesadaran kepada kita, bagaimana orang suci sekelas Mpu Tanakung begitu jeli menangkap getar-getar kehidupan di masa itu, walau aktivitas kehidupan masyarakat masih sangat terbatas.
Tanakung dapat merasakan bahwa ada perilaku hidup yang tidak sesuai dengan ajaran sastra yang berkembang di masanya. Kita sangat yakin karya-karya sastra yang lahir saat itu berdasarkan perenungan yang mendalam, atas dasar-dasar nilai filsafat. Terbukti karya tersebut masih relevan dengan kondisi sekarang.
Berbicara soal Siwaratri, dalam perspektif tatwa kiranya salah satu cara untuk menggambarkan, bagaimana kegelapan di alam semesta bhuana agung, ada dalam diri manusia yaitu bhuana alit. Semisal kondisi kekayaan, panas, sejuk di alam, itu ada dalam tubuh manusia dan perlu dikendalikan dengan perilaku yang baik.
Dari sinilah intuisi pujangga sekelas Mpu Tanakung pada masa cerita ini dibuat. Ia telah menangkap gejala-gejala bahwa di masanya nanti, orang-orang sangat sulit untuk diajak berpikir lewat ajaran-ajaran suci agama yang banyak mengandung filsafat.
Mungkin juga Mpu Tanakung sudah merasakan getaran batin bahwa kedepan manusia makin sulit diatur, sehingga gesekan-gesekan mulai mengarah pada bentuk pelaggaran terkait dengan hal-hal yang tidak dibenarkan menurut ajaran agama. Agar lebih mudah membangun kesadaran, pemahaman terhadap nilai yang terkandung dalam ajaran agama, dibuatlah cerita agar rakyat memahami, menangkap, dan sekaligus melakukan perlawanan terhadap kegelapan yang menyelimuti dirinya. Jadi lahirnya cerita lubdaka, sangat diterima oleh generasi jaman itu.
Bagaimana dengan generasi masa kini?
Perspektif Hari Suci Siwalatri pada jaman sekarang apalagi untuk kaum milenial harus dibangun dalam kehidupan kekinian, dalam kehidupan konstektual. Pakem pelaksanaan Siwaratri di masa lalu yang mengutamakan tapa, yoga, semadhi, pastilah sangat sulit diterapkan di kalangan generasi muda. Bukan berarti mereka tidak mau atau tidak mampu, tapi kondisi kekinian yang menyebabkan mereka tidak mampu.
Semisal bagaimana mereka disuruh yoga semadi, kalau mereka harus bekerja menjadi pegawai atau buruh yang sangat terikat dengan waktu. Termasuk dalam hal upawasa. Belum lagi kesempatan untuk mengajari mereka tentang tutur Lubdaka jarang bisa dilakukan.
Berbicara kaum milenial adalah berbicara tentang generasi yang hidup dalam pergulatan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Mereka dikurung oleh model hidup yang hedonis, serba instan. Belum lagi hasil rekayasa artificial intelegency membuat mereka berpikir serba praktis.
Generasi milenial mungkin menjadikan filsafat itu semacam mimpi. Sesuatu yang tidak nampak. Mereka kecendrukan menerima sesuatu itu berdasarkan logika, berdasarkan fakta. Sesuatu itu ada akibat pasti karena ada sebab. Untuk itu mari jadikan cerita Lubdaka, hari suci Siwaratri, sebagai penyeimbang buat generasi milenial.
Mari kita kemas dalam paduan harmoni antara cerita yang sarat dengan nilai filsafat, nilai kebenaran hakiki, dengan masa kekinian. Kalangan muda meyakini sesuatu itu berdasarkan faktual.
Generasi tua, para tokoh, pemimpin akan menjadi panutan mereka apa sudah mampu menjadi contoh dalam mengendalikan Sapta Timira. Dengan harmoni, semoga mereka tidak tercerabut dari kehidupan nilai-nilai agama, sehingga cara berpikir, berkata dan berbuat generasi milenial menjadi berimbang. Sekian. [T]