DARI PERJALANAN singkat ke Taman Literasi Martha Tiahahu beberapa waktu lalu, penulis menemukan satu sudut perpustakaan mini yang dipenuhi oleh para pengunjung. Mereka berkumpul di ruangan kaca untuk membaca buku atau sekadar beristirahat menikmati senja. Dari koleksi buku yang tersedia, rata-rata adalah buku-buku populer yang menjadi incaran para pembaca khususnya anak-anak muda.
Pengamatan singkat tersebut membuat penulis tersadar bahwa di Bali nampaknya belum ada ruang baca publik yang seperti ini. Tidak banyak masyarakat apalagi anak muda yang mengetahui letak perpustakaan yang dikelola oleh pemerintah daerah saat ini. Banyak dari ruang baca yang ada, justru diinisiasi oleh komunitas swasta yang secara swadaya membangun ruang-ruang baca komunal yang lebih menjanjikan.
Langkanya ruang baca komunal di Bali menjadi satu sinyal bahwa upaya peningkatan minat baca di daerah tidak bisa dilakukan secara sepenggal. Daripada terus menerus meratapi tingkat minat baca yang rendah, upaya realisasi ruang baca yang lebih banyak, mutlak dibutuhkan.
Lalu, ruang baca seperti apa yang dibutuhkan khususnya oleh anak muda? Yang jelas, yang dibutuhkan adalah ruang baca yang tidak monoton, cozy dan tidak eksklusif. Guna membentuk ruang baca yang super nyaman, sebagai penyelenggara kebijakan, pemerintah perlu memperhatikan kebutuhan anak muda dan masyarakat saat ini terkait pengembangan budaya literasi kekinian. Apakah ruang baca yang ber-AC atau ruangan baca yang juga mampu menyediakan co-working space dengan daya internet yang baik.
Di samping itu, pilihan buku-buku yang populer dan beragam menjadi salah satu hal yang juga dapat menarik perhatian para pengunjung kelak. Mari kita tinggalkan sejenak buku 1001 resep kaya raya, atau buku cara menjadi kaya dalam waktu singkat. Memilih dan mengkurasi buku-buku yang sesuai dengan minat anak muda saat ini menjadi langkah cerdas untuk membangun ruang baca publik yang sebenar-benarnya.
Inisiasi pembentukan ruang baca publik seyogyanya menjadi upaya prioritas pemerintah daerah. Sebagai penerjemah kebijakan, pemerintah memiliki peran untuk menyediakan public goods.
Menurut Samuelson, negara bertanggung jawab atas ketersediaan public goods. Asumsinya adalah karena negara dianggap mengetahui barang apa saja yang perlu dikonsumsi oleh rakyatnya maka negara juga memiliki kewajiban untuk mendistribusikan ke rakyatnya dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan.
Penyediaan ruang baca adalah salah satu public goods yang non excludable dan non rivalrous. Non excludable artinya bahwa tidak ada orang yang dapat dikecualikan dari penggunaan suatu barang. Semua orang berhak menikmati manfaat dari barang tersebut. Sedangkan non rivalrous berarti bahwa konsumsi atas barang tersebut oleh suatu individu tidak akan mengurangi jumlah barang yang tersedia untuk dikonsumsi oleh individu lainnya.
Namun pada kenyataannya, tidak semua negara memiliki kapasitas yang cukup untuk memenuhi public goods yang diinginkan oleh masyarakatnya. Beberapa kendalanya adalah keterbatasan anggaran dan juga kurangnya sumber daya manusia yang potensial yang mampu mengelola public goods tersebut. Akibatnya beberapa sektor public goods yang tidak mampu dipegang oleh negara, dialihkan kepada swasta yang dianggap memiliki kapasitas pengelolaan yang jauh lebih baik. Di Bali, upaya pembentukan ruang baca yang nyaman rata-rata diinisiasi oleh komunitas lokal yang secara swadaya membangun ruang baca bersama.
Harus disadari bahwa peningkatan minat baca menjadi jalan awal untuk menemukan anak muda yang memiliki kualitas di atas rata-rata. Tujuannya jelas untuk menjadi agen pembangunan yang seperti selama ini diharapkan. Apalagi aspek penting utama yang menentukan kualitas hidup adalah tingkat melek huruf, kesehatan, dan juga keterampilan. Penduduk yang buta huruf dan tidak sehat dapat menjadi beban ekonomi sedangkan penduduk yang terpelajar dan sehat dapat menjadi aset perekonomian.
Bali dengan segala gemerlap pariwisatanya seharusnya tidak boleh luput dari upaya untuk memajukan bidang literasi. Upayanya tidak boleh sepenggal-sepenggal. Tidak hanya dengan membuat kegiatan ad hoc semata yang sifatnya sangat temporer. Memang upaya baik untuk memajukan literasi telah banyak dilakukan oleh komunitas-komunitas swadaya lokal. Tapi itu tidak cukup. Karena upaya pemajuan minat baca dan literasi adalah usaha yang membutuhkan kerjasama dari banyak pihak. Beban ini tidak boleh ditanggung sendiri oleh masyarakat. Giat pemerintah daerah dibutuhkan secara serius dan berkelanjutan.
Sudah saatnya prioritas pembangunan di daerah tidak hanya dititikberatkan pada satu sektor saja. Sengaja menganaktirikan sektor lain, khususnya literasi, pada akhirnya akan menyumbangkan masalah baru yang lebih besar lagi. Mengingat kurangnya keterampilan membaca dan menulis dasar pada diri manusia adalah kerugian yang luar biasa karena literasi tidak hanya memperkaya kehidupan individu, tetapi juga menciptakan peluang bagi orang untuk mengembangkan keterampilan yang akan membantu mereka menafkahi diri sendiri dan keluarganya. Minat baca yang meningkat yang didukung dengan penyediaan fasilitas yang lebih layak, mampu membuka pintu ke lebih banyak kesempatan pendidikan dan pekerjaan sehingga individu mampu keluar dari kemiskinan.
Dari beberapa hal di atas setidaknya tiga upaya peningkatan minat baca dan literasi dimulai dengan mendorong peningkatan kesadaran minat baca, meningkatkan alokasi anggaran untuk pendidikan dan literasi serta yang lebih penting lagi adalah menyediakan lebih banyak ruang baca yang bisa diakses oleh seluruh komponen masyarakat sementara orang-orang harus didorong untuk memiliki akses ke buku-buku gratis. [T]