SEBAGIAN BESAR Umat Hindu Bali pastinya sudah mengenal Pura Pucak Bukit Sinunggal. Bahkan sudah banyak yang pernah medek tangkil (datang menghadap) Ratu Betara Lingsir Ratu Manik Asta Gina yang berstana di Pura itu.
Pura Pucak Bukit Sinunggal berlokasi di Banjar Dinas Tampul Lawang, Desa Tajun, Buleleng Bali. Selain Pura Goa Raja, di kawasan Pura Pucak Bukit Sinunggal juga ada Pura Paninjoan.
Sebenarnya Pura Peninjoan sudah ada sejak dulu dengan bangunan palinggih yang sederhana. Namun, mungkin belum banyak yang tahu karena Desa Adat Tajun baru membangun palinggih permanen dan akses jalan pada tahun 2015.
Untuk menuju ke Pura Paninjoan, sejak awal kaki harus lebih bekerja keras melangkah, untuk menaiki sekitar 150-an anak tangga dari Pura Tampul Lawang.
Pelang penunjuk jalan menuju Pura Peninjoan | Foto: Komang Sujana
Jalan menuju Pura Paninjoan | Foto Komang Sujana
Setelah sampai di tangga terakhir (paling atas), sebelum di jeroan Pura Bukit Pucak Sinunggal, ada jalan setapak di sebelah kiri. Di depannya ada pelang menuju ke Pura Paninjoan. Kurang lebih berjalan 50 meter, maka aura sejuk Pura Peninjoan akan terasa hingga ke ulu hati.
Dalam kamus daring Bahasa Bali-Indonesia dari Balai Bahasa Provinsi Bali, kata ‘paninjoan’ artinya tempat memantau. Jadi, bisa dikata, Pura itu tempat memantau. Memangnya memantau apa? Siapa yang memantau?
Meninjau Keindahan Alam Bali Utara
Bendesa Adat Tajun, Jero Made Sumarka, menuturkan Pura yang berlokasi tepat di tengah-tengah Bukit Pucak Sinunggal ini dulunya digunakan oleh raja-raja Bali Utara sebagai tempat beristirahat sebelum bersembahyang ke Pura Bukit Pucak Sinunggal sembari menikmati pemandangan indah.
Pemandangan indah yang dimaksud adalah hamparan pesisir dan laut Bali Utara. Di uatara, pandangan mata akan menemukan hamparan pepohonan di sepanjang pesisir Bali Utara yang hijau. Juga indahnya pemandangan laut dengan langit biru dan awan putihnya yang memanjakan mata dari Pura Paninjoan.
Pemandangan indah ke arah pesisir Bali utara dari Pura Peninjoan | Foto: Komang Sujana
Tidak jarang umat khususnya masyarakat Desa Tajun setelah bersembahyang di Pura Paninjoan, tak lupa mengabadikan momen atau berswafoto dengan latar belakang pemandangan yang indah itu.
Selain itu, menurut cerita masyarakat tempat ini dulunya konon digunakan penjajah Belanda untuk memantau musuh. Jejak Belanda di Pura Paninjoan dibuktikan dengan pal beton.
Kata Made Sumarka, ukurannya sekitar 75 cm persegi. Pada salah satu sisinya berisi benda semacam keramik warna putih berukuran sekitar 25 cm persegi. Muncul spekulasi jika pal beton itu difungsikan sebagai semacam sinyal oleh Belanda.
Made Sumarka menunjukkan lokasi bekas Pal Beton yang dibongkar | Foto: Komang Sujana
Pal beton itu kemudian ada yang membongkar untuk diambil keramiknya karena dianggap barang berharga. Pelakunya pun tidak diketahui sampai saat ini.
Melihat Tuhan dalam Diri
Made Sumarka menambahkan Pura Paninjoan sangat cocok untuk tempat memohon anugerah pada Ista Dewata sambil meditasi karena lokasinya yang hening dan sejuk.
Siapa pun yang datang ke tempat itu akan bisa membuktikannya. Aura religius betul-betul terasa. Suasana yang hening dan sejuk memancarkan energi positif; menyejukkan hati menyejukkan pikiran. Itu akan terasa setelah selesai bersembahyang.
Laut dan langit utara dari Pura Peninjoan | Foto: Komang Sujana
Tuhan memang tidak bisa dipantau atau dilihat dengan kasat mata layaknya pemandangan alam. Namun, dengan sembahyang khusyuk di Pura Paninjoan, sepertinya Tuhan terlihat dalam diri dalam bentuk pancaran aura positif yang dirasakan dalam diri.
Jadi, secara sekala Pura Paninjoan adalah tempat yang indah untuk memantau keindahan laut dan langit Den Bukit. Secara niskala Pura Paninjoan adalah tempat suci untuk melakukan yoga semadi sehingga dapat merasakan Tuhan atau Ida Sang Hyang Widi Wasa melalui pancaran aura religiusnya. [T]