AWALNYA BERNAMA Desa Dapdap Putih, lalu berubah jadi Desa Tista, dan kini kembali menyandang nama Desa Dapdap Putih. Begitulah liku-liku nama sebuah desa di ujung selatan Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali.
Bagi warga Desa Dapdap Putih, nama desa dianggap amat penting, selain berkaitan dengan sejarah mas alalu, juga berkaitan dengan motivasi warga untuk melangkah dalam menata kehidupan di masa depan. Nama Desa Tista, bagi warga, dianggap kurang tepat.
Untuk itulah, sejak beberapa bulan lalu, tokoh warga adat dan masyarakat di desa itu berjuang keras untuk mengembalikan nama desa itu kepada nama awal, yakni Desa Dapdap Putih. Nama itu berkaitan dengan sebuah cerita dari naskah lama tentang pohon dapdap dengan bunga berwarna putih.
Perjuangan tokoh dan warga desa membuahkan hasil. Menteri Dalam Negeri kemudian mengeluarkan surat keputusan No. 100.116117 Tahun 2022, tanggal 9 November 2022. Isinya menetapkan kembali nama Desa Dapdap Putih untuk menggantikan nama Desa Tista.
Acara peresmian nama Desa Dapdap Putih dilaksanakan, Minggu , 1 Januari 2023, dengan dihadiri pejabat terkait dari Pemkab Buleleng, serta tokoh-tokoh desa dan warga desa adat di Desa Dadpdap Putih.
Artinya, mulai 1 Januar 2023, desa itu scara resmi disebut dengan nama Desa Dapdap Putih. Tentu saja perubahan nama itu diikuti dengan perubahan nama dalam dokumen-dokumen administrasi seperti Kartu Tanda Penduduk, dan lain-lain.
Desa Dapdap Putih dengan luas wilayah 912 kilometer persegi. Jumlah penduduknya 4.640 jiwa. Desa itu sebagian besar terdiri dari lahan perkebunan, terutama kebun kopi dan salak gula.
“Astungkara atas dukungan seluruh masyarakat nama Desa Dapdap Putih kembali digunakan sebagai nama Desa yang memiliki sejarah penting mewarisi jejak leluhur yang harus dilestarikan,”kata Kepala Desa Dapdap Putih I Gede Marjaya di sela acara peresmian Minggu pagi itu.
Selain memiliki empat banjar dinas, Desa Dapdap Putih kini memiliki tiga desa adat, yakni Desa Adat Tista, Desa Adat Munduk Mengenu dan Desa Adat Munduk Tengah.
Dalam acara persemian itu Marjaya didampingi ketiga Bendesa Adat itu, masing-masing Bendesa Adat Tista I Nyoman Astawa, Bendesa Munduk Mengenu I Nyoman Sandi dan Bendesa Munduk Tengah I Nyoman Suija.
Tiga desa adat itu ditetapkan tahun 1996 berdasarkan Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Buleleng, Nomor 9 Tahun 1996 tentang Pembentukan 3 (tiga) Desa Pakraman, yaitu Desa Pakraman Tista, Desa Pakraman Munduk Mengenu dan Desa Pakraman Munduk Tengah.
Setelah tiga desa adat itu ditetapkan, entah kenapa terjadi pula perubahan nama Desa Dinas Dapdap Putih menjadi Desa Dinas Tista. “Entah apa sebabnya, masyarakat merasa tidak pernah mengetahui nya,” kata Marjaya.
Artinya, saat itu, di desa itu terdapat persamaan nama Desa Tista sebagai desa dinas dan nama Desa Tista sebagai desa adat. Artinya lagi, dalam satu wilayah pemerintahan desa, terjadi duplikasi penamaan antara Desa Pakraman Tista dengan Desa Dinas Tista.
“Hal tersebut menimbulkan kerancuan administrasi pemerintahan desa. Sering terjadi salah sasaran komunikasi, karena kebiasaan penyebutan nama desa jarang diembel-embeli dengan kata ‘Dinas’ atau ‘Pakraman’ sehingga sering terjadi salah sasaran,” kata Marjaya.
Jro Bendesa Nyoman Astawa menambahkan ada beberapa alasan pengusulan, yang mendasari pengembalian nama Dapdap Putih. Antara lain, nama Tista di Bali cukup banyak, seperti Desa Tista di Karangasem, Tabanan dan di Buleleng sendiri ada di kawasan Bhaktiseraga.
Lantas yang tak kalah penting, nama Dapdap Putih mengandung jejak sejarah perjalanan Ida Rsi Markandya, berdasarkan “ Rontal Batur Kelawasan Petak “ dan “ Rontal Bhuwana Tattwa Maharsi Markandheya “.
Terdapat jejak-jejak situs yang ditinggalkan orang suci tersebut di Bali, khususnya menjadi cikal bakal nama Dapdap Putih yang hingga kini diyakini memiliki cerita menarik untuk diketahui para generasi penerusnya.
Jejak Perjalanan Rsi Markandya
Lebih lanjut dijelaskan dalam naskah tersurat bahwa pada awal abad ke 18 masehi, datanglah seorang Rsi Agung bernama Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Madura ke hutan Besturi di Desa Sepang untuk napak tilas perjalanan (ngetut pemargin) “Pamoksan Ida Maharsi Markandheya “ di Gunung Bhujangga (Gunung Patas).
Lantas, beberapa lama beliau melakukan yoga semadi disana, lalu beliau membangun tempat pemujaan widhi di hutan Besturi dan penyiwian Tirtha Sudamala di Tukad Mesiwi (Madewi). Kemudian membangun Pura Pemujaan Maharsi Markandheya di Asah Danu yang diberi nama Pura Kahyangan Maharsi Markandheya.
Suatu ketika, Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Madura berkenan meneruskan perjalanan Dharma Yatra dan tiba dihulu sebuah sungai (Yeh Leh) dalam alas / hutan rimba. Disana beliau melakukan puja semadhi dan menempatkan 5 ( lima ) buah batu sebagai Taulan (tanda).
Di kemudian hari oleh masyarakat Dapdap Putih, ditempat dimana beliau melakukan Puja Semadhi tersebut, didirikan Parahyangan Widhi yang diberi nama Pura Taulan yang disungsung oleh masyarakat Desa Tista. Pura tersebut berdampingan Pura Subak Gunung Renga, milik masyarakat Desa Pakraman Munduk Mengenu.
Konon diceriterakan, ada beberapa pemburu Warga Pasek Tangkas dari Desa Bujak (Sepang), dengan maksud berburu kijang. Sang pemburu secara tidak sengaja mengalami suatu musibah. Atas petunjuk niskala, pemburu tersebut diharuskan menghaturkan upacara ’maguru piduka’ di suatu tempat yang terdapat Batu Taulan, di hulu sebuah sungai, sebuah petilasan Ida Rsi Madura.
Sebelumnya diketahui bahwa Ida Rsi melakukan perjalanan menyusuri Tukad Panghyangan menuju keselatan, maka kelompok pemburu tersebut mencari Batu Taulan tersebut disekitar hulu Tukad Panghyangan. Lama dicari-cari, Batu Taulan tersebut tidak diketemukan. Dalam keputusasaan, para pemburu secara kebetulan, berjumpa seorang suci bernama Ida Mpu Dada Putih, dari Desa Gumuk Kancil, daerah Banyuwangi, yang datang ke alas Besturi, untuk napak tilas Pemoksan Ida Maharsi Markandheya.
Beliau memberi petunjuk, bahwa upacara tersebut dapat dilakukan ditempat yang dirasa cukup baik, dengan membuat ”Turus Lumbung” dari pohon dapdap, sebagai ’”penyawangan” Batu Taulan dimaksud.
Ternyata pohon “Dapdap” tersebut tumbuh subur dan berbunga ”Putih”.
Di kemudian hari, di tempat penyawangan ini, dibangun oleh masyarakat sebagai tempat suci penyiwian widhi, yang diberi nama Pura Kahyangan Dapdap Putih. Sehingga wilayah di daerah itu disebut dengan nama Dapdap Putih. [T]