Kupasan Cerita Ni Diah Tantri sudah dilakukan oleh para akademisi. Berbagai ulasan telah lahir, berbagai sudut pandang telah dihasilkan tentang cerita fabel dengan tokoh sentral Ni Diah Tantri.
Di saat masyarakat Bali masih minim akan pilihan hiburan, masih bisalah ditemukan cukilan kisah fabel dari Ni Diah Tantri di jadikan bahan mesatua/bercerita yang dilakukan Nenek dan Kakek, untuk pengantar tidur cucu-cucunya.
Demikian pula di saat masyarakat Bali di tahun 1980-an masih terbuai dengan pesona pertunjukkan wayang kulit, salah seorang dalang senior yang berasal dari Banjar Babakan, Sukawati Gianyar – I Wayan Wija, tidak pernah surut mengangkat cerita Tantri sebagai lakon dalam pertunjukkan wayangnya bahkan telah berhasil menciptakan Wayang Tantri.
Saat itu, cerita tantri membahana dari banjar ke banjar di seantero pulau Bali, dan sampai mampu membawa popularitas Dalang Wija di puncak ketenarannya.
Masih dalam pentas budaya. Dalam ajang pentas seni drama tari kolosal yang digelar oleh ISI Denpasar pada saat digelarnya Festival Seni dan Budaya Bali yang bertajuk Mandara Mahalango dalam gelaran ke III bulan Agustus 2016 dipentaskan drama tari musikal “Tantri Kamandaka” (https://bali.antaranews.com/berita/93126/isi-denpasar-pentaskan-drama-tari-kolosal).
Tidak cukup kiranya sampai di sana, ulasan tentangnya dilakukan oleh banyak pihak yang menghasilkan berbagai karya dan pandangan. Cok Sawitri (2011) menghasilkan karya Tantri yang lewat karyanya mendudukan kisah Tanri sebagai foros patokan-patokan moral dalam menghargai dan menjalani hidup.
Seorang Cok Sawitri juga mengakui bahwa kisah Tantri adalah kisah yang bukan hanya ingin menonjolkan kemampuan seorang pendongeng, namun sekaligus ingin menonjolkan kecerdasan seorang perempuan dalam mengalahkan ke bengisan seorang raja Eswaryadala dalam memperlakukan perempuan.
Dengan sudut pandang yang hampir serupa ulasan I Nyoman Tika melalui Kompasiana pada tanggal 6 Februari 2020 menegaskan bahwa carita Ni Diah Tantri adalah carita tentang pelecehan raja Eswaryadala terhadap perempuan. Dialog yang ditonjolkan dalam paparan tulisannya menyuguhkan sajian bahwa Ni Diah Tantri hadir sebagai tokoh yang menjadi penegas tentang perempuan sebagai makhluk yang mulia dihadapan raja yang punya kegemaran melecehkan wanita (https://www.kompasiana.com/inyoman3907/5e3b8012097f36409b5d6f92/ni-diah-tantri-paduka-telah-melecehkan-wanita?page=2&page_images=1 ).
Selain itu, ulasan tentang cerita fabel dalam carita Diah Tantri diulas juga dari perspektif budaya politik oleh Kadek Suartaya (https://www.balipost.com/news/2021/02/26/177595/Filosofi-Peradaban-dari-Dongeng-I…html) melalui kisah I Cangak.
Ulasannya, ingin menegaskan bahwa carut marut kehidupan berbangsa dalam dasa warsa belakangan ini bisa menggunakan cerita I Cangak untuk mendapat cermin dalam pemenangan kontestasi politik
Cerita Tantri juga tidak kalah populernya ketika dituangkan ke dalam kanvas oleh para seniman sehingga menghasilkan beragam lukisan yang bernilai rupiah tinggi. Bahkan dalam wujud lukisan carita Tantri telah menjadi monumen yang diabadikan dalam bentuk panil yang tersaji pada dinding Kertagosa, Klungkung. pada panil paling bawah pada langit-langit bangunan Kerta Gosa.
Ceritanya dimulai dari panel sebelah timur beriringan keselatan, barat dan berakhir pada panil sebelah utara.
Bangunan Gedung Kertagosa Sumber : https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/kerta-gosa/ diakses 12 Nopember 2022
Pendek kata ulasan tentang Ni Diah Tantri telah masuk dalam cakupan karya sastra modern dan klasik, ikonografi, dan seni pertunjukkan. Di tengah-tengah carita Tantri yang banyak mengandung kiasan yang diambil dari tingkah polah binantang, sangat bijak pandangan seorang Prof Dharma Putra, yang mengatakan, hanya orang yang dungu yang tidak mampu mengambil pelajaran dari kias-kias carita Tantri.
Pandangan ini mengemuka dalam Seminar yang bertajuk “Nilai-nilai Sastra dan Budaya dalam Carita Tantri di Bali” (https://www.balebengong.net/kabar-anyar/2011/09/27/tantri-kekuatan-sebuah-dongeng.html/attachment/img_6675).
Demikian banyaknya ulasan tentang carita Tantri menjadi pertanda bahwa carita ini memang memiliki daya tarik yang luar biasa yang diakui oleh banyak pihak bermuatan pelajaran hidup yang tidak pernah padam sampai saat ini. Hal ini pun tidak bisa lepas dari banyaknya trait budaya yang bermuatan kisah tantri. Sesuai penjelasan I Made Pasek (1999:iii) berikut ini.
“Carita Tantri kalintang lumrah ring Bali, Sajeroning kapustakaan Bali wenten kapangguh makudang-kudang wangun sastra sane medaging carita Tantri, minakadinipun: Kakawin (kakawin Tanri) Kidung (Kidung Tantri Nandhaka-harana; Kidung Mandhuka – harana, Kidung Mandhuka Prakarana, Kidung Ragawinasa, Kidung Pisaca- harana); Parikan miwah Geguritan (Parikan Tantri, Geguritan Cangak, Geguritan Panca Puspita); Gancaran (Tantri Kamandaka); Prasi (Tantri Prasi). Miwah sane lianan. Sios ring punika ring pakraman taler kapanggih gegambaran, balih-balihan, rauhing wayang sane nyaritayang daging Carita Tantri”.
Keabadian carita Tantri yang tertuang dalam berbagai trait budaya tidak akan pernah kering untuk digali dari berbagai sudut pandang. Semakin carita ini digali semakin menunjukkan betapa ampuhnya dongeng sebagai alat konstruksi budaya.
Selama ini, jika tolehan kita dikembalikan kepada kajian yang selama ini sudah dilakukan, sorotan pandangan kita akan lebih tertuju pada kekuatan dongeng sebagai medium pendidikan nilai karakter untuk berbagai jenjang usia. Padahal ada sisi lain yang menarik dari kehadiran carita ini, tatkala dilihat dari isu gender.
Ni Diah Tantri, dari Perspektif Gender
Siapa Ni Diah Tantri?
Dihadirkan sebagai tokoh utama dalam cerita Tantri bejenis kelamin perempuan dengan adanya istilah Ni yang melekat pada sosok ini sebagai identitas biologis untuk menyebut nama perempuan.
Salah satu lokasi yang bisa diandalkan untuk mengetahui sosok ini bisa ditemukan pada langit-langit bangunan Kerta Gosa, yang ceritanya dimulai dari panel sebelah timur beriringan ke selatan, barat dan berakhir pada panil sebelah utara. Ibarat cerita seribu satu malam Ni Dyah Tantri digambarkan sebagai seorang gadis yang berjuang menghapus hasrat seksualitas seorang raja yang bernama Eswaryadala -, yang mempunyai kebiasaan “memangsa” perempuan yang diminati sesuai apa yang dia mau. Mahapatih mempunyai tugas setiap harinya mencarikan perempuan untuk Sang Raja.
Karena itu dilakukan setiap hari lama kelamaan perempuan di wilayah kerajaan tersebut menjadi habis. Kondisi tersebut terbaca oleh puteri Sang Patih yang bernama Diah Tantri yang selanjutnya menawarkan dirinya untuk dipersembahkan kepada raja (https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbbali/kerta-gosa/ diakses 12 Nopember 2022)
Dari sudut pandang gender, tawaran Diah Tantri untuk menjadi persembahan Sang Raja bisa dapat dianggap sebagai orang yang memposisikan diri sebagai objek pemuas laki-laki. Dari segi kultur dominan, posisi perempuan sebagai objek seks laki-laki merupakan potret yang dianggap sebagai suatu kelaziman.
Steriotyp tentang hal ini dapat ditemui dari cara pandang terhadap perempuan sebagai mahkluk lemah, pelayan laki-laki, makhluk penurut dan banyak anggapan lainnya yang berujung pada posisi perempuan yang subordinat. Hanya saja, tokoh rekaan, seorang Diah Tantri dari segi perspektif gender ditampilkan sebagai sosok yang di luar pola umum.
Dia dihadirkan sebagai karakter pemberontak, berani, cerdas dan berpengetahuan. Tanpa melepaskan identitas gender perempuan dia digambarkan sebagai sosok yang punya kemampuan membangkitkan karakter maskulin dalam dirinya untuk melawan sosok maskulin di luar dirinya. Melalui rekaan semacam ini,
Ni Diah Tantri mengendalikan keadaan melalui pesona kecerdasannya. Sosok Diah Tantri bisa diartikan sebagai upaya dekontruksi terhadap kultur gender dominan, bahwa perempuan dalam kehidupan sosial tidak bisa digeralisasikan – di mana semua perempuan dalam semua lapisan sosial merupakan sosok yang lemah dan subordinat.
Diah Tantri adalah sosok feminis yang melawan kekerasan dengan kelembutan melalui suguhan cerita fabel dengan gaya cerita yang sanggup menyihir perwatakan Raja yang digambarkan sebagai sosok yang haus seks.
Ketika ulasan cerita ini dihentikan hanya sebatas membedah peran seorang Diah Tantri maka kekayaan cerita-cerita fabel yang dijadikan bahan oleh Ni Diah Tantri untuk membuka kesadaran Raja Eswaryadala sebagai seorang pemimpin, ketemulah sederetan nilai-nilai karakter ideal yakni. Disiplin, Kerja Keras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Setia Kawan, Pantang Menyerah, Menghargai Orang Lain, Persahabatan, Cinta Damai, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial, Tanggung Jawab, Sopan Santun, Tolong Menolong, Menghargai Prestasi (https://www.bawarasa.org/nilai-pendidikan-karakter-dalam-kisah-tantri-kamandaka/ diakses, 12/11/2022).
Setidaknya, bayangan seorang pemimpin yang merujuk pada karakter tersebut akan tampil pemimpin yang cerdas, cakap dan sekaligus humanis. Karakter tersebut merupakan perpaduan pensifatan maskulin dan feminin.
Di era kapanpun karakter ideal seorang pemimpin tidak akan pernah jauh dari karakter tersebut.. Diah Tantri dihadirkan dalam cerita Tantri sebagai penyeimbang untuk menetralisir pensifatan maskulin yang tampil dominan sehingga mengundang penindasan.
Catatan menarik lainnya tatkala kisah Ni Diah Tantri dilihat dari perspektif berbeda yang tidak hanya sekedar membedah nilai karakter, namun melihat muatan isu gender di dalamnya. Secara hidden bisa ditemukan berikut ini.
Pertama, muatan moral dalam sosok Ni Diah Tantri adalah perempuan yang digambarkan bertugas menjadi penyelamat situasi kritis. Dengan cara tetap menjaga sisi femininnya dalam wujud kelembutan – inilah konstruksi gender yang berhasil menegaskan bahwa perempuan diharapkan menjadi penetralisir dominasi kekerasan.
Konstruksi semacam ini bisa berkembang menjadi mitos insklusif. Bingkai ceritanya dibalut mitos agar kemamapan konstruksi gender ideal untuk perempuan tetap dapat terjaga.
Ketika cerita ini dilihat dengan mata telanjang maka dia hanya hanya akan tampak sebagai kisah yang ampuh untuk penanaman nilai karakter pada generasi muda melalaui cerita-cerita binatang, mampu menggugah kesadaran bahwa menjadi pemimpin yang disegani harus memiliki karakter yang seimbang antara karakter maskulin dan feminin.
Namun, kalau dibedah dari kacamata kritis maka dapat ditemukan konstruksi ideologi gender yang menggunakan karya sastra sebagai medium. Mengapa sastra? Keampuhan sastra yang punya kesanggupan membungkus ideologi kiranya tidak bisa diragukan. Oleh karena itulah, kandungan karya sastra sebagai alat konstruksi ideologi menjadi pilihan dari masa ke masa.
Kedua, uniknya lagi carita Ni Diah Tantri sesungguhnya menegaskan suatu ideologi yang bias laki-laki. Artinya, cerita ini bermuatan pesan moral bahwa laki-laki akan bangkit kesadarannya lewat pesona dan empowermant yang dimiliki perempuan. Dalam konteks ini laki-laki yang diwakili lewat tokoh raja Eswaryadala digambarkan sebagai sosok yang tidak berdaya.
Keberdayaannya muncul karena pesona Ni Diah Tantri melalui kepiawiannya bercerita membuat Sang Raja terbuai dan tersadar akan kekeliruannya. Konstruksi semacam ini jelas menjadi model penanaman kultur yang menguatkan bahwa laki-laki seolah-olah tidak memiliki kemampuan untuk membangkitkan kesadaran di atas kemampuan sendiri, dan selalu harus mendatangkan pihak di luar dirinya.
Ketika pemahaman ini di internalisasi secara terus menerus, maka yang terjadi adalah bentukan konstruksi yang tidak adil kepada laki-laki.
Sulit kiranya membantah bahwa carita Ni Diah Tantri adalah medium yang sangat strategis untuk dijadikan penanaman nilai karakter yang tak akan pernah lekang oleh jaman. Namun jika kita ingin benar-benar menjadikan sebagai alat edukasi untuk generasi muda saat ini, perlu ada kehati-hatian agar tidak terjebak pada kedangkalan cara pandang yang hanya melihatnya dari sisi permukaan carita.
Dengan kata lain, kisah ini bisa dipakai untuk melatihkan generasi muda di pendidikan formal maupun informal sebagai latihan memperdebatkan kerumitan dan kompleksitas konstruksi gender melalui medium karya sastra. Inilah contoh belajar tentang tata cara permainan konstruksi ideologi. [T]
BACA opini lain dari penulis LUH PUTU SENDRATARI