WAYAN POLOS panggil saja demikian memang seperti layaknya manusia Bali tulen yang beragama dengan polos, tak banyak tingkah. Dalam alam pikirannya, Tuhan itu menyukai orang-orang yang beragama dengan apa adanya, tanpa banyak atribut yang malah memicu keangkuhan.
Memang tidak begitu luas wawasan agama yang dimilikinya. Apalagi engah dengan kalimat asing serumit Recover Together, Recover Stronger. Satu-satunya prinsip sederhana ia diwarisi dari leluhurnya adalah berdamai dengan siapa saja. Menurut tetua yang mengajarkan ajaran itu, orang yang berupaya menebarkan kedamaian akan mendapatkan keselamatan. Keselamatan sejati terutama dapat diperoleh ketika mampu berdamai dengan para pembenci. Bukankah ketika mampu berdamai dengan para pembenci berarti tidak lagi mempunyai musuh?
Kata-kata luhur itu terngiang kembali di dalam kepala Wayan Polos ketika mendengar kabar bila suatu pertemuan besar yang melibatkan negara-negara besar di dunia akan dihelat di Bali. Sebelumnya ia mendengar pula bila di antara negara-negara yang akan hadir ada yang tengah bersitegang. Jauh-jauh hari sebelum perhelatan besar itu digelar konon beberapa negara yang akan hadir telah ‘siap tempur’. Indonesia sebagai tuan rumah juga ikut-ikutan ‘siaga perang’.
Agak aneh memang pertemuan besar yang diharapkan membuahkan resolusi besar bagi stabilitas ekonomi dunia malah diwarnai ketegangan super tinggi semacam itu. Keaneahan tersebut membuat Wayan Polos sering berkhayal jika dirinya bisa hadir langsung dalam acara besar itu. Kemudian di sana ia menuturkan konsep kedamaian sejati sebagaimana yang pernah didengarnya dari para tetua.
Dalam khayalannya, para kepala negara duduk takzim menyimak setiap kata yang meluncur deras dari bibirnya. Di sana ditatarnya pula kepala-kepala negara yang gemar mengusik kedamaian negara lain. Hingga mereka tersipu malu, bak bocah yang kedapatan mencuri uang receh dari celengan milik ibunya.
Ketika tersadar dari lamunan tingkat tinggi itu, mau tidak mau ia harus menerima keadaan dirinya yang asli. Dirinya hanyalah orang desa jelata yang tak punya jabatan apapun apalagi harta benda yang layak untuk dibanggakan. Jadi bagaimana mungkin orang seperti dirinya akan dilibatkan dalam konferensi tingkat tinggi semacam itu, walaupun seandainya ia punya gagasan tingkat tinggi.
Jadilah Wayan Polos hanya sering termenung sendiri dan menjadi tidak fokus ketika berbicara dengan orang-orang dekatnya. Beberapa kali istrinya mengomel karena ia tak kunjung beranjak dari lamunannya ketika diminta mengantar pesanan kepada pelanggan-pelanggan obat herbalnya. Pun ketika bekerja ia sering terlambat merespon kata-kata teman sejawatnya. Sampai-sampai atasannya pernah menyarankan agar dirinya tidak bekerja apabila tengah berada dalam kondisi tidak vit.
Kendatipun orang-orang dongkol dan risau dengan keadaannya yang demikian namun Wayan Polos paham bila hanya dirinyalah yang mengerti seutuhnya dengan jalan pikrannya. Ia mulai memaklumi keadaan orang-orang di sekitarnya yang tidak paham bila dirinya sedang ngitungang gumi (memikirkan nasib dunia).
Andaikata orang-orang di sekitarnya mengerti bila dirinya sedang ngitungang gumi tentu mereka tidak akan berani lancang untuk marah-marah apalagi mencemooh. Justru mereka akan sangat berterimakasih dengan segala upaya atas perjuangan Wayan Polos, apalagi itu dilakukan dengan nihil gaji atau tunjangan lainnya. Sebab nasib setiap orang yang ada di dunia juga tergantung kepada nasib dunia itu sendiri.
Layaknya orang-orang yang menumpang sebuah kereta, apabila kereta itu celaka maka para penumpangnya juga turut celaka. Ia juga tak begitu bernafsu menjelaskan isi pikirannya kepada orang-orang di sekitarnya. Sebab dalam pikiran orang-orang sekitanya nasib dunia cuma terletak di tangan orang-orang yang punya kekuasaan dan modal besar.
Orang-orang kecil yang tidak punya uang dan kekuasaan dianggap mustahil bisa merubah dunia. Pemikiran semacam itu menimbulkan merebaknya mental yang pesimistis dan depresif. Orang-orang yang dilahirkan di keluarga jelata lalu dominan mengamini bila dirinya memang telah ditakdirkan hanya menjadi pengikut individu-individu yang mengendalikan kekuasaan.
Meskipun mendapatkan tanggapan yang kurang mengenakkan, Wayan Polos merasa bersyukur telah mewarisi ajaran tingkat tinggi semacam dari leluhurnya. Sepengetahuannya dari cerita-cerita kepahlawanan, ngitungang gumi adalah tugas raja-raja mulia yang dipandang manusia setengah dewa. Kini ide semacam itu tiba-tiba merasuki tubuh wong cilik seperti dirinya, bagaimana mungkin itu tidak layak untuk dibanggakan?
Wayan Polos sempat bernafsu untuk menyelundup hadir di perhelatan KTT G-20. Paling tidak sekadar menunjukkan selembar kertas bertuliskan “Wujudkan Perdamaian Dunia dengan Cara Polos”.
Lama-lama setelah dipikirnya masak-masak, ia mengurungkan niatnya yang sarat risiko itu. Pertimbangannya, kendatipun maksudnya baik dan tidak ingin menyakiti siapapun, bila salah langkah bisa-bisa dirinya dicap penjahat. Setelah memutar otak dengan agak keras akhirnya Wayan Polos menemukan bila cara paling strategis untuk berkontribusi dalam KTT G-20 adalah dengan mahyang-hyang (berdoa).
Cara semacam itu sejatinya telah semenjak lampau diajarkan oleh leluhurnya untuk menyelesaikan segala persoalan. Misalnya untuk meredakan percekcokan dalam rumah tangga diupayakan dengan mahyang-hyang. Sekilas memang tidak terlihat hubungan logis antara percekcokan dengan doa atau ritual-ritual keagamaan. Meskipun demikian dalam doa dan ritual-ritual keagamaan terkandung nilai luhur untuk memancarkan vibrasi kedamaian.
Pada bentuknya yang asli ritual-ritual keagamaan tidak hanya bertujuan memohonkan keselamatan bagi pelaku-pelakunya saja. Ritual semacam itu ditujukan untuk mengharmonikan segala aspek alam tanpa kecuali. Hal terpenting dalam ritual keagamaan khususnya bagi penganut Hindu di Bali adalah keikhlasan (lascarya). Dengan demikian dalam ritual yang digelar seharusnya tidak ada kepamrihan.
Dalam bahasa leluhur Wayan Polos tindakan semacam itu dinamakan ngiasaang jagat (bekerja ikhlas demi ketertiban dunia). Secara sosiologis pancaran keikhlasan pelaksana-pelaksana ritual kegamaan diharapan dapat disambut positif dan diimitasi dengan baik oleh orang-orang yang di sekitarnya. Bak mekarnya bunga-bunga yang disambut hangat oleh hadirnya kepak-kepak indah sayap kupu-kupu. Tentu hanya orang-orang yang telah kehilangan kewarasannya yang tidak meberikan respon indah kepada orang-orang yang memancarkan kedamaian.
Sehari jelang berlangsungnya perhelatan KTT G-20, pagi-pagi buta Wayan Polos telah pergi ke pasar untuk membeli pejati beserta perlengkapannya. Sesampainya di rumah pejati itu dihaturkannya di merajan (kuil keluarga).
Dengan agak terkejut sang istri dan anak-anaknya sempat menanyakan alasan kepala keluarga mereka ngaturang pejati secara tiba-tiba, Wayan Polospun menjawabnya dengan sejujurnya. Bahwa dalam beberapa hari ke depan bisa jadi nasib dunia akan ditentukan oleh konferensi tingkat tinggi yang digelar di Bali. Itulah yang menyebabkan dirinya harus nunas ica dengan sungguh-sungguh dengan nyejerang pejati selama beberapa hari di merajan.
Mendengar jawaban itu istri dan anak-anaknya tidak puas begitu saja. Barangkali menduga bahwa kepala keluarga mereka telah buduh kadéwan-déwan karena salah belajar kebatinan seperti anggapan umum yang sedang mashyur di seantero Bali.
Entah bagaimana caranya tingkah Wayan Polos yang dianggap aneh itu telah menyebar dengan cepat diantara tetangga-tetangganya. Melihat gejala semacam itu Wayan Polospun semakin yakin bila sifat manusia yang hidup sezaman dengannya telah banyak berubah. Perubahan semacam itu bahkan telah terjadi pada orang-orang dekatnya. Ada kecenderungan bila orang-orang yang hidup di masa kini lebih mudah mencurigai dan menghujat daripada bekerja keras ngiasaang jagat.
Ngitungang jagat dan ngiasaang jagat sejatinya menunjukkan betapa globalnya pemikiran manusia Bali semenjak era yang lampau. Anehnya kini semakin banyak orang yang hidup di pulau ini mengkerdilkan maknanya. Bisa dilihat dari jumlah orang yang benar-benar paham bila KTT G-20 yang digelar di Bali punya andil besar untuk menegakkan kembali perdamaian dunia yang telah banyak digerogoti oleh berbagai macam kepentingan.
Andai seperempat saja dari penduduk Bali yang bersikap seperti Wayan Polos tentu telah menjadi gerakan yang sangat berkesan sepanjang sejarah. Meski jumlah itu mungkin tak sebanyak jumah penduduk dunia yang kini tengah dilanda ketidakdamaian dan ketidakadilan. Jika telah demikian maka bisa jadi media masa akan melirik antusiasme jutaan orang-orang polos yang bergerak tanpa komando pasti itu.
Apalagi mereka mau memanfaatkan kecanggihan media sosial dengan mengunggah satu dua foto tentang kegiatan mahyang-hyang di merajan masing-masing. Atau mengunggah satu dua buah kalimat yang menunjukkan harapan-harapan perdamaian. Ketika semuanya terkumpul maka akan ada jutaan foto dan kalimat indah yang membanjiri beranda media-media sosial sepanjang pelaksanaan KTT G-20. Cara semacam ini tentu lebih efektif dari sekadar berunjuk rasa dengan penuh amarah atau menghujat kebijakan-kebijakan pemerintah selama pelaksanaan perhelatan besar itu.
Gerakan soft sebagaimana yang dilakukan oleh Wayan Polos ketika dilakukan secara massif berpeluang menyentuh hati delegasi negara-negara yang hadir di konferensi tingkat tinggi itu. Jikalau mereka manusia yang masih punya hati tentu akan merasa sangat tidak enak hati. Orang-orang kecil dari kampung terpencil seperti Wayan Polos saja bisa berpikir sebesar itu. Apalagi para delegasi bergaji besar, berpendidikan tinggi, dan berstatus sosial terhormat tentu harusnya mampu berusaha lebih keras lagi untuk mewujudkan perdamaian dunia.
Andaikata mereka datang ke Bali dengan pemikiran-pemikiran yang tidak baik maka berpeluang besar untuk dialihkan (kasupat) menuju harmoni. Bila telah demikian, citra Bali sebagai surga terakhir yang penuh harmoni semakin dapat dirasakan dengan nyata. Ke depan, setiap muncul disharmoni pemimpin-pemimpin dunia bisa kembali memilih Bali untuk menyelesaikan masalah. Tentunya dengan cara yang lebih santai, terutama tanpa pengamanan super ketat apalagi nuklir.
Melihat apa yang kini terjadi pastinya harapan semacam itu tentu masih terlalu sulit diwujudkan. Kalaupun seandainya upaya orang-orang kecil seperti Wayan Polos belum satu frekuensi dengan pemimpin-pemimpin dunia dalam KTT G-20, itu juga tidak sepenuhnya sia-sia. Orang-orang Bali masih bisa mendidik anak-anak mereka untuk membatinkan nilai-nilai kedamaian dalam upaya apapun. Harapannya di masa depan paling tidak ada satu orang berdarah Bali yang mafhum akan nilai-nilai polos leluhurnya dan bisa menjadi penasihat pemimpin-pemimpin besar dunia.
Bahkan kalau boleh berharap lebih tinggi lagi akan ada orang Bali yang menjadi salah satu pemimpin besar yang berpengaruh di dunia., siapa tahu. Satu-satunya yang memusnahkan harapan polos orang-orang polos seperti Wayan Polos adalah ketika generasi penerus mereka tidak lagi percaya dengan kesaktian perdamaian.
Ditambah lagi mereka mencibir pesan-pesan luhur leluhurnya. Ketika itu terjadi tentu nilai-nilai mulia yang dengan susah payah telah ditata oleh leluhur orang selama berabad-abad Bali akan teberangus dalam sekejap mata.
Apakah gejala ke arah itu telah ditunjukkan oleh semakin merebaknya kebiasaan maboya atau ngwalék yang samasekali tidak produktif? Daripada membuktikannya, bukankah lebih baik kita menghindari sifat-sifat buruk itu? [T]