Perhelatan G 20 baru saja berakhir, periode turun hujan sudah semakin melebat. Tapi. Saya akan bicara tuak, dan tidak membahas tentang G 20, meski banyak sekali ada olahan nira yang terpajang di sana. Arak dan nectar misalnya.
Di tengah narasi tentang produk lokal yang sangat melambung tinggi, bagaimana sebenarnya petani nira lontar dan sejenisnya di pedesaan di Bali? Misalnya Di Desa Les, Tejakula, Buleleng.
Saya bersua dengan salah satu petani nira lontar manis yang membuat gula juruh di Desa Les, tepatnya di area pedusunan Buu, Butiyang.
Namanya Ketut Kertiyasa. Ia sangat akrab dipanggil Tut Nik. Laki-laki 38 tahun ini telah banyak belajar dari kisah pandemi.
Ketut Kertiyasa bekerja menyadap nira dari pohon lontar
Awalnya Tut Nik bekerja sebagai kuli bangunan di Denpasar. Pandemi seakan mengetuk pintu untuk jalan kembali ke rumah. Ia pun pulang kampung, karena memang saat pandemi taka da pekerjaan di kota, apalagi kerja bangunan.
Dengan beberapa pohon lontar yang dimiliki keluarganya di desa, maka ia berpikir untuk memanfaatkan pohon lontar itu untuk menjalankan kehidupannya. Dan dengan pengalaman dan pelajaran yang didapat dari sang ayah yang memang pensiunan petani gula juruh, akhirnya Tut Nik pun menggeluti pekerjaan sebagi petani gula juruh.
Gula juruh adalah gula yang berasal dari nira lontar. Sama seperti gula merah, namun wujudnya cair, lebih tepat disebut kental.
Ia pun menjalankan usaha menjual gula juruh. Namun usaha itu tidak cukup. Mengingat lontar pun mempunyai musim untuk beristrahat, terutama saat musim penghujan tiba, Tut Nik berpikir untuk melakukan usaha lain.
Gula Juruh hasil olahan Tut Nik dikenal dan banyak pemesannya. Dari awalnya memesan gula juruh, akhirnya pemesan juga memesan produk lain. Karena memang hasil gula tidak bisa menghasilkan dalam semusim penuh, Tut Nik memutuskan untuk mengembangkan usahanya.
Tidak ilmu khusus yang ia pelajari. Ia menjalankan usaha dengan ilmu usaha jalanan.
Ia punya saudara yang sudah lama bertransmigari ke Sumatera. Ia berkolaborasi dengan saudaranya itu untuk memasarkan gula juruh, tuak manis dan tuak wayah ke daerah transmigarasi di Sumatera.
Tepatnya, saudara Tut Nik itu tinggal di Desa Air Talas, Kecamatan Rambang Niru, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan.
Selain gula juruh dan tuak, banyak kemudian produk makanan lain yang ia kirim ke Sumatera. Antara lain jajan renginang, kue kering, ikan laut dan makanan olahan dari laut atau seafood.
Hebat sekaligus perjudian bukan?
Bagaimana tidak, dari bukit Buu di Desa Les itu barang-barang di-packing, dibawa turun menunggu bus di jalan raya yang akan membawa barang ke Pulau Sumatera. Kedatangan bus itu belum tentu pagi, siang atau petang.
Dan mari bayangkan bagaimana Tut Nik mengirim tuak manis dan tuak wayah?
Jangankan keluar pulau, dalam desa saja orang-orang meyakini, tuak itu berada lama dalam botol akan bisa meledak. Namun Tut Nik bisa melakukannya.
Ketut Kertiyasa memang seorang petarung kecil yang terus optimis. Tuak manis dan tuak wayah mampu ia kirim melintasi puluhan kabupaten, ratusan kecamatan dan beberapa ratus desa dengan jarak kurang lebih 1.744 km dengan waktu tempuh kurang lebih 27 jam.
Tuak dan gula juruh yang dikirim Ketut Kertiyasa ke Sumatera
Sudah hampir dua tahun Tut Nik menjalankan usaha pengiriman tuak dan produk lain ke Pulau Sumatera. Kisah Tut Nik memang bukan siapa-siapa, tetapi bagi yang tidak percaya bahwa nira lontar tidak bisa pergi jauh, silakan merenung dan menjauh.
Sekali lagi banyak narasi hebat sekali tentang hal-hal lokal, tapi percayalah yang paling hebat adalah sang petani yang terus produktif meski musim silih berganti. Tatkala putik dan buah lontar belum tumbuh, petani seperti Ketut Kertiyasa menumbuhkan keyakinannya untuk tetap bisa menyambung hidup. [T]