Ini dongeng sudah terkenal di Bali. Judulnya, “Men Tiwas dan Men Sugih” atau “Bu Miskin dan Bu Kaya”.
Dulu, dulu sekali, dongeng ini biasa diceritakan orang tua kepada anaknya sebelum si anak tidur. Namun tampaknya dongeng itu tak diketahui oleh banyak anak-anak zaman sekarang. Banyak cerita asing kini bisa didapat lewat media sosial di HP Android, dan cerita-cerita asing kini mengisi memori di kepala anak-anak.
Dulu, dulu sekali, cerita Men Tiwas dan Men Sugih biasa disampaikan dengan bahasa Bali, diselipi sejumlah pesan-pesan kebaikan. Kini, bahkan bahasa Bali pun sepertinya masih susah payah menarik minat sebagian besar anak-anak di Bali.
Syahdan, Komunitas Mahima menceritakan dongeng itu dengan cara yang berbeda. Dongeng itu dimainkan dalam garapan teater, dimainkan oleh anak-anak. Ya, anak-anak masa kini—anak-anak yang sehari-hari juga biasa memainkan HP.
Dongeng dalam teater garapan Komunitas Mahima dimainkan dengan berbagai macam percobaan untuk menemukan berbagai kemungkinan etis dan estetis di atas panggung. Selain anak-anak yang bermain sebagai aktor, di atas panggung juga ada seorang dalang, yakni dalang wayang kulit sebagaimana biasa dikenal di Bali.
Dalang bertugas sebagai narator. Namun di atas panggung terdapat juga dua narator remaja perempuan.
Pementasan teater-dongeng Komunitas Mahima dengan judul Men Tiwas dan Men Sugih di Ubud Writers and Readers Festival, 27 Oktober 2022 | Foto Sony/UWRF 2022
Dalang menyampaikan narasi cerita dengan menggunakan bahasa Bali plus Bahasa Kawi atau Jawa Kuno. Sementara narasi cerita yang disampaikan dua remaja perempuan itu menggunakan Bahasa Inggris. Sedangkan dialog para pemain menggunakan Bahasa Indonesia.
Mengalirlah suara-suara teatrikal dalam empat bahasa berbeda dari atas panggung. Bahasa-bahasa itu dibiarkan beririrngan, kadang bertabrakan. Orang bisa melihat adegan-adegan yang sama, tapi telinga bisa fokus mendengar apa apa yang ingin didengar.
Orang yang hanya paham Bahasa Bali, misalnya, bisa saja fokus mendengar Sang Dalang. Yang paham Bahasa Inggris mendengar dari dua narator perempuan remaja itu. Yang paham bahasa Indonesia mendengarkan dialog para pemain. Semua akhirnya bisa paham apa yang sedang diceritakan di atas panggung.
Musik dan lagu sebagai pengiring teater itu juga boleh dikata unik. Jika biasanya permainan wayang menggunakan alat musik gender, dalam teater itu menggunakan alat musik “penting”. Namanya memang “penting”.Itu alat musik petik semacam gitar khas Karangasem.
Pemain musik “penting” itu adalah Ida Parta dan Tini Wahyuni. Alat musik “penting” itu juga yang mengiringi lagu-lagu berbahasa Inggris dan berbahasa Indonesia yang dinyanyikan secara khusus oleh dua anak-anak, Abel dan Arnel.
Pementasan teater-dongeng Komunitas Mahima dengan judul Men Tiwas dan Men Sugih di Ubud Writers and Readers Festival, 27 Oktober 2022 | Foto Sony/UWRF 2022
Pementasan Teater Mahima, Men Tiwas dan Men Sugih itu dipentaskan 27 Oktober 2022 serangkaian Ubud Writers and Readers Festival 2022 di Taman Baca, Sanggingan, Ubud.
[][][]
Dalang itu adalah Gusti Made Aryana atau Dalang Sembroli. Ia mengawali pentas dengan memainkan wayang yang awalnya ditancapkan berjejer pada batang pisang. Di depannya melintang utas benang.
Lantunan lagu atau gending dalam bahasa Bali dan Jawa Kuno mengalun merdu sembari memainkan wayang. Selang beberapa lama, gending yang dibawakan Dalang Sembroli diambil alih salah satu aktor yang berperan sebagai narator.
Dengan kecakapan bahasa Inggris-nya, Putik dan Sinsin, dua narrator remaja itu sangat pasih menyampaikan jalan cerita.
Pementasan pun mengalir. Para aktor menjiwai peran masing-masing, mereka tampil dengan maksimal. Ceritanya dimulai dengan kesengsaraan Men Tiwas yang dikisahkan sebagai perempuan yang sangat miskin diperankan maksimal oleh Ayik.
Raut wajah perempuan sekarat akan ekonomi yang mencekik terlihat jelas. Gambaran wajah nelangsa, karakter perempuan miskin yang tak berdaya benar-benar diperankan dengan baik oleh Ayik.
Sementara itu, Men Sugih, diperankan oleh Sasha, juga menarik. Men Sugih dikisahkan hidup mewah tanpa kekurangan apa pun. Sosok perempuan pelit dan iri dengki sangat cocok diperankan Sasha.
Yang paling menggelitik adalah tingkah polah Kayu Hujan dan Manda. Mereka berperan sebagai Rusa Emas yang membatu Men Tiwas di tengah hutan. Suara rusa yang meringkik membuat segar pementasan malam itu.
Pementasan teater-dongeng Komunitas Mahima dengan judul Men Tiwas dan Men Sugih di Ubud Writers and Readers Festival, 27 Oktober 2022 | Foto Sony/UWRF 2022
“Mereka berdua memang sangat cocok dengan karakter itu. Begitu dilatih, ternyata mereka bisa. Mereka mampu. Tidak sulit mengarahkan anak-anak ini walau ada beberapa kendala juga,” kata Kadek Sonia Piscayanti, sang sutaradara.
Pementasan itu secara umum cukup sukses. Sonia mengatakan, keuletan dan kedisiplinan mereka dalam berlatih menghantarkan mereka ke pementasan yang sempurna. Tak satu pun dialog atau adengan yang tertinggal.
Seluruh aktor saling mendukung di atas panggung. “Mereka sangat kompak. Jadi tidak ada kesalahan yang berarti. Dari pementasan ini saya lihat anak-anak sangat berbakat, ini bisa jadi bibit unggul untuk generasi aktor teater selanjutnya,” kata Sonia.[T]