Fakultas kedokteran Undiksha telah menginjak usia yang ke-4 tahun. Dengan demikian, angkatan pertama fakultas ini sudah menjalani pendidikan profesi sebagai dokter muda atau populer disebut koas (co-ass/co-assistant). RSUD kabupaten Buleleng dan beberapa RS pemerintah di Bali saat ini menjadi wahana para koas untuk belajar keterampilan klinik sebagai syarat menjadi seorang dokter.
Untuk memenuhi target jumlah kasus yang mereka pelajari, bahkan beberapa RS swasta di kota Singaraja pun dijadikan tempat para dokter muda untuk belajar. Begitu nyata sudah, mereka yang sakitlah yang justru akan memenuhi syarat terpenting bagi koas untuk kelak menjadi seorang dokter.
Tak salah lagi, pasien-pasienlah guru para dokter muda itu. Tanpa pendidikan profesi ini seorang mahasiswa kedokteran hanya memiliki pengetahuan teori kedokteran belaka, sebagai seorang sarjana kedokteran (Sked). Mereka takkan pernah memiliki sertifikat untuk memberi terapi kepada pasien layaknya seorang dokter.
Topik khusus yang membahas betapa berharganya sumbangsih pasien-pasien ini bagi mahasiswa kedokteran dan bahkan juga bagi para dokter, sudah saya tulis beberapa tahun lalu dengan judul “Pasien, Guru Yang Sempurna.”
Di FK Undiksha, saya diberikan tugas sebagai salah seorang pengajar, baik dosen pre klinik/teori, dari semester 1-7 maupun tahap profesi/praktik sebagai dokter pendidik klinis (doknis), dari semester 8 sampai selesai, biasanya selesai di semeseter 12.
Banyak hal lucu dan menarik yang saya catat sepanjang yang bisa saya ingat sebagai pengajar. Saya cenderung ingin berbagi hal-hal ringan dari sebuah isu maupun proses, agar dapat menghadirkan dimensi dan perspektif baru dari isu atau proses tersebut, apalagi yang dibahas merupakan hal-hal yang serius.
Sudah menjadi persepsi umum jika pendidikan kedokteran adalah dunia serius dan kaku. Sekolahnya lama dan mahasiswanya kurang gaul. Kesan kaku dan serius mungkin karena materi yang dibahas adalah segala penyakit dan sehari-hari berhadapan dengan penderitaan pasien-pasiennya atau mungkin dosen-dosennya yang killer. Kurang gaul bisa jadi karena tugas yang banyak dan menyangkut nyawa pasien membuat mereka kurang waktu buat merawat diri atau nongkrong bareng sahabat-sahabat.
Namun sekarang keadaan sudah jauh berubah. Tak kalah dengan mahasiswa lain, mahasiswa kedokteran saat ini tampil modis, wangi, komunikatif, kreatif dan kelulusannya pun diupayakan tepat waktu. Ini seiring dengan konsep pendidikan “Kampus Merdeka.”
Selama pandemi, tentu saja perkuliahan dilakukan dengan cara daring. Dari metode ini, tanpa disengaja dapat diketahui bagaimana keadaan rumah maupun lingkungan para mahasiswa. Ini
Biasanya saat mahasiswa unmute untuk bertanya atau berdiskusi. Saya sering kepo menanyakan hal-hal tersebut. Ada yang pada saat itu sedang memperbaiki dapurnya yang bocor atau ketahuan ayahnya gemar sabung ayam karena selama yang bersangkutan unmute, suara gaduh ayam jantan tak henti-henti berkokok.
Tentu saja kami semua menahan tawa, karena tak mungkin juga menyuruh ayam-ayam itu untuk diam. Dan tawa menjadi lepas saat saya menggoda si calon dokter untuk cari waktu masak bersama di rumahnya bikin kare ayam, ha ha ha!
Saya meyakini, pendidikan tidak cukup pada sisi kognitif saja. Itulah kemudian saya mengajak para mahasiswa FK Undiksha mengenal dan menikmati kebebasan yang ada saat ini. Dalam dunia sastra saya mengajak mereka untuk menjadi penikmat bahkan jika mau menjadi pelaku sastra.
Saya mengajak mereka berkenalan dengan rumah belajar Mahima, rumah di mana sastrawan dan penikmat sastra berkumpul dan berkarya. Dunia kedokteran akan jauh menjadi lebih humanis saat “dianugerahi” sastra yang kaya filsafat.
Dalam dunia kemanusiaan saya mengajak mereka untuk langsung bersentuhan dengan mereka yang papa dan tak berdaya melalui kegiatan sosial bersama yayasan Sesama yang saya dirikan.
Sebagai seorang dokter, saya pun pernah menjalani pendidikan kedokteran dengan segala romantikanya. Saya bertugas sebagai koas di RSUP Prof Ngurah – FK Unud Denpasar sekitar tahun 1998-2000.
Saat itu, jika bertugas jaga malam, kesempatan untuk tidur sebentar saja, begitu sulit. Kami sesama dokter muda, harus rebutan tempat untuk berbaring. Jangan dibayangkan kasur yang kami perebutkan, melainkan meja, kursi panjang atau apapun yang bisa digunakan untuk sekadar merebahkan badan lalu memejamkan mata. Begitu beratnya proses pendidikan yang harus dijalani.
Karena saking lelahnya, saya pernah tertidur di atas bed untuk pemeriksaan ibu hamil. Saya berjanji untuk tidur sebentar saja. Demi mengatasi rasa lelah dan ngantuk yang teramat berat. Saat hendak bangun, saya kaget bukan main, karena tanpa saya ketahui, di samping saya ada koas cewek kakak tingkat yang juga berbaring kelelahan tak berdaya.
Kalau tidak salah ingat, senior itu adalah putri dari salah satu dosen anatomi kami yang tinggal di Kuta. Parasnya cantik dan kulitnya putih halus karena ia memang keturunan Tionghoa. Karena tak enak mengganggu tidurnya, saya pun melanjutkan tidur saya lagi, untuk sebentar saja, ha ha ha!
Di lain waktu, saya mengalami kesialan. Karena rekan-rekan lain pada mengikuti program KKN, cuma sayalah yang bertugas di ruang bersalin. Terang saja, semua kasus persalinan di malam yang melelahkan itu saya tanggung sendiri. Tak kurang dari delapan kasus persalinan.
Sampai kapan pun saya akan mengingat pengalaman yang begitu mengesankan itu karena saya mengalami “banjir” air ketuban bahkan ada yang sampai masuk ke mulut saya.
Jika pada awalnya saya menganggapnya sebagai sebuah kesialan, belakangan baru saya yakini itu adalah sebuah berkah. Sebab dengan pengalaman keterampilan itu, saat bertugas di pedalaman sebagai dokter saya dapat mengerjakan dengan mudah dan percaya diri semua kasus-kasus kebidanan.
Brahm* betul, katanya All is well. Sebetulnya masih banyak kisah-kisah unik dan lucu yang saya alami saat bertugas, namun cerita ini akan mengakhirnya. Saat itu kami bertugas di bagian mata dan mengikuti program operasi katarak masal.
Seperti biasa, sambil mengerjakan pembedahan, dosen selalu memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada kami yang mendampingi sebagai observer maupun asisten.
Beliau bertanya, “Saat melihat menggunakan lensa binokuler, berapa mata yang kita gunakan?”
Kami perlu waktu sesaat berpikir untuk memastikan jawaban, ketika tiba-tiba kami dikejutkan oleh suara pasien yang matanya sedang kami operasi, “Dua.”
Lho, kok dia tahu dan benar? Tentu saja kami penasaran. Seusai operasi kataraknya, kami cari tahu hal ini. Rupanya ia seorang perawat senior yang bertugas pada poliklinik mata di sebuah puskesmas, ha ha ha! [T]
*Ajahn Brahmn, seorang fisikawan teori yang memilih jalan hidup sebagai biksu, berkebangsaan Inggris.
[][][]