Lelaki tua itu menyisiri rambut istrinya. Uban yang tumbuh subur menjadi salah satu bukti ketuaan. “Sayang, cinta kita ternyata sampai juga setua ini,“ bisiknya. “Anak-anak kita sudah menikmati hidupnya bersama pilihan hatinya. Kita patutlah bersyukur di usia yang senja ini masih bisa bersama. Bersyukur masih di rumah kita. Entah kapan kita akan menikmati rumah baru lagi.”
Istrinya tersenyum sumringah. Pipinya yang cekung dengan sorot mata kesetiaan menatap suaminya dalam-dalam. “Dunia kita semakin mendekati titik akhir. Hanya menunggu waktu saja. Kapan kisah kita akan berakhir di dunia ini?” Raut kecantikan masih membekas walau semakin kusut. Tubuhnya semakin ringkih. Tangannya terkadang gemetaran. Ia ambilkan ubi rebus buat suaminya. “Ini buatmu.”
“Tidak. Untuk kita berdua.” Ia bagi ubi rebusnya. Giginya hampir tak ada. Deretan gigi yang memutih dulu hanya tersisa gusinya saja. Ia telan ubi itu pelan-pelan, takut kesedak.
Sepasang merpati cantik melintasi rumahnya. Keduanya tersenyum. “Dulu, kami juga secantik dan segagah sepertimu. Kulitku halus seperti bulu-bulumu. Burung itu menyindir kita. Kita pernah seperti merpati itu. Terbang menikmati indahnya angkasa. Masa-masa yang menggelikan buat kita. Ternyata tak ada yang kekal di dunia ini. Segalanya ada batas waktunya.”
“Sudahlah jangan membahas masa lalu. Masa lalu milik masa lalu. Masa kini milik hari ini.”
Keduanya berusaha menuju balai-balai rumahnya. Dipandanginya halaman rumahnya yang tidak seberapa luasnya. Istrinya mengambil janur muda. Ia torehkan pisaunya dengan cinta. Hatinya merasa tentram saat merangkainya. “Hyang Widhi, terima kasih. Masih diberikan kesempatan tangan ini untuk memuja-Mu. Berikanlah kesempatan dalam sisa hidup hamba memujaMu, walau tidak sesempurna yang kau harapkan.”
“Ini bunga jepunnya.” Suaminya menyodorkan bunga jepun yang dicarikannya tadi.
“Jangan memaksakan diri untuk mencari bunga. Jika terjadi sesuatu, yang repot itu siapa?”
“Ndak apa-apa. yang kucari tangkainya yang menjulur ke bawah.”
Istrinya menata canang sekar yang akan dipersembahkannya besok pagi. Kebiasaannya sedari dulu tak pernah pudar. Usia bukan halangan untuk memuja kebesaran-Nya. Kebiasaan bangun pagi bukan sesuau yang asing baginya lebih-lebih sekarang ini. Waktu tidurnya semakin berkurang. Tidurnya semakin susah. Lebih banyak terjaga dibandingkan dengan menikmati lelapnya kantuk.
Malam semakin larut. Kedunya ke tempat tidur. Matanya beradu. Keduanya tersenyum. Dipeluknya istrinya dengan cinta. “Anak-anak kita sedang ngapain jam segini?” Laki-laki tua itu terbangunkan ingatannya akan kedua anaknya. Keduanya telah sukses. Keduanya telah menikmati masa rumah tangganya. Apa ia tak ingat kita, ya?”
“Bukannya tak ingat kita. Kita yang sering melupakan anak kita.”
Keduanya tersenyum. “Hahahaha, kau ada-ada saja.”
“Anak kita, biarkan ia berbahagia. Kita juga berbahagia. Kita bahagia karena rambut kita sudah memutih. Kita bahagia karena tubuh kita semakin keriput. Kita bahagia karena mata kita semakin kurang awas. Kita bahagia karena pendengaran kita semakin berkurang. Coba kau bayangkan jika kita tak bahagia. Kita akan selalu merasa sakit. Padahal, semuanya ini harus kita liwati. Justru kalau kita tak liwati, akan menjadi kurang bahagia.”
“Ah, kau istri yang pintar mengada-ada saja.”
Keduanya terlarut dengan pikirannya masing-masing. Kantuk mulai menghampiri matanya. Napasnya terdengar bersuara. Mungkin ada sedikit gangguan di paru-parunya. Atau bisa karena usinya yang semakin senja. Kelelahan jiwanya terasa terobati. Malam itu terasa indah. Udara tak terlalu panas. Awal musim bunga, bunga-bunga menunjukkan keharumannya pada semesta. Keharuman sejati tanpa dibuat-buat. Semesta menghadirkan keharuman yang patut dirawat dengan kasih cinta.
Ruang sepinya ada mengisnya. Ia lihat dunia keindahan di dalam batinnya. Beberapa pohon bunga dengan keharuman yang beragam menusuk relung hatinya. Semilir angin membangunkan keharuman semesta menyusupi pori-pori kehidupan.
Laki-laki tua itu terlarut dalam bunga-bunga yang menebarkan wanginya. Ia berusaha mencari pemilik taman itu. Kepalanya dilongokkan. Ia mau berteriak, tapi tak enak hati. Orang setua dia teriak-teriak di tempat yang sepi. Satupun tak ada pemilik taman yang terlihat. Ia terkaget. Dilihatnya bayangan istrinya. “Kau ada di sini juga?”
“Memangnya disuruh di mana? Di manapun kita akan selalu bersama. Bunga-bunga itu jangan dipetik. Jangan biasakan memetik bunga yang tidak kita tanam. Itu mencuri namanya. Seharum apapun bunga itu kalau bukan tanaman kita tak boleh kita petik. Apa yang kita tanam itulah yang kita petik. Kita lihat saja keindahan taman bunga di sini.”
Keduanya mengelilingi taman bunga yang teramat luas. Setiap ada pohon bunga yang bercabang tua. Di sanalah ia duduk sambil menikmati keindahan bunga-bunga. “Pohon bunga di sini juga menua.”
“Setiap yang tumbuh akan menua juga sama seperti kita. Ayo kita lanjutkan ke timur sana. Laki-laki tua itu melihat bunga dengan warna putih kristal. Menyilaukan. “Ini taman apa?” tanyanya dalam hati. Ia ingat kata-kata istrinya tak boleh memetik bunga kalau bukan kita yang menanam.
Ia nikmati kerahuman bunga kristal itu. Ia rasakan alirannya ke seluruh darahnya. Terkadang terasa teramat dingin. Ia berusaha mencari selimut. Ia panggil-panggil istrinya beberapa kali. Tak ada balasan. Ia lihat matahari pagi membuka halaman barunya. Ia bersyukur karena tubuhnya akan kembali hangat.
“Apa kau sudah menghaturkan canang sekar?”
Istrinya kaget. Ia terbangun. Dirabanya denyut jantung suaminya yang tak berdetak lagi. [T]
_____