Kita kehilangan seorang tokoh seniman yang punya peran penting pada terciptanya drama gong di Bali. Drama gong adalah bentuk seni pertunjukan yang sempat menjadi primadona di Pulau Dewata hingga ke Pulau Lombok.
Tokoh itu, Anak Agung Gde Raka Payadnya dari Puri Abianbase, Banjar Kaja Kauh, Abianbase Gianyar, Bali. Ia berpulang menuju sunialoka, Kamis, 22 September 2022, pukul 11.45 Wta akibat infeksi paru-paru yang dideritanya.
Anak Agung Sri Gamatri—putri ketiga Raka Payadnya—mengatakan, bapaknya yang kelahiran 14 Agustus 1944 itu sempat dirawat selama 13 hari di Rumah Sakit Sanjiwani Gianyar.Sebelumnya, kata Anak Agung Sri Gamatri , seniman besar itu menderita sakit parkinson yang rutin melakukan check up.
Jenazah Raka Payadnya diupacarai dalam upacara mekingsan di geni, Jumat 23 September ini.
Polos dan Tidak Feodal
Tentu banyak yang kehilangan setelah kepergian Raka Payadnya, terutama para penggemar drama gong di Bali. Salah seorang yang merasa sangat kehilangan adalah I Wayan Sugita, pelaku drama gong yang kini menjadi dosen Universitas Hindu Negeri (UHN) IGB Sugriwa Denpasar.
Sugita adalah pemeran Patih Agung dan sejumlah drama gong yang terkenal di Bali. Saat menjadi dosen ia banyak melakukan penelitian tentang drama gong untuk keperluan akademik maupun untuk penyebaran pengetahuan kepada masyarakat umum.
“Terakhir, setahun lalu saya bertemu beliau (Raka Payadnya) untuk keperluan kepenulisan tentang perkembangan drama gong,” kata Sugita, Kamis malam.
Sugita mengaku punya kesan yang sangat mendalam kepada Anak Agung gde Raka Payadnya. “Saya sangat merasa kehilangan. Beliau tokoh betul-betul tokoh yang mumpuni di bidang drama gong dan menjadi teladan bagi pemain-pemain drama gong di Bali,” kata Sugita.
Selain pencetus lahirnya seni drama khas Bali yang kemudian disebut sebagai drama gong, Raka Payadnya adalah pelaku drama gong. Pada era tahun 1970-an Raka Payadnya terkenal sebagai pemeran raja muda, salah satu peran yang menjadi daya tarik drama gong.
“Sehingga, di mana pun drama gong Abianbase yang anak mudanya Raka Payadnya selalu dicari penonton,” ujar Sugita.
Apa yang bisa diteladani dari Anak Agung Gde Raka Payadnya?
“Yang patut diteladani dari beliau adalah ketatnya beliau menerapkan sor singgih basa dalam drama gong,” kata Sugita.
Mungkin karena Raka Payadnya lahir di lingkungan puri, kata Sugita, sehingga betul-betul punya komitmen mempertahankan keberadaan Bahasa Bali.
“Yang penting juga diteladani adalah kepolosan beliau,” ujar Sugita.
Menurut Sugita, di mata seniman drama, Raka Payadnya adalah sosok yang polos dan selalu merendah, rendah hati dan tidak feodal.
“Banyak nama-nama besar, mekeber sebengne. Tapi beliau tidak feodal, meski berasal dari puri,” tegas Sugita.
Pendiri Drama Gong
Anak Agung Gede Raka Payadnya memang dikenal sebagai pendiri seni pertunjukan drama gong di Bali.
Kisah terciptanya drama gong itu agak unik. Tahun 1965 Raka Payadnya menamatkan penidikan di Konservatori Kerawitan (Kokar) Denpasar. Sempat kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Seni Rupa Unud. Usai ikut Mapram (semacam Opspek)ia pulang.
Ia diminta oleh Sekaa Gong Wijaya Kusuma untuk membuat pentas sendratari. Namun, sendratari itu harus sudah kelar dalam waktu delapan hari agar bisa dipentaskan pada hari yang sudah ditentukan. Penari-penarinya waktu itu adalah penari legong seperti penari Oleg, Tenun, Tani, Margapati dan lain-lain.
Melihat kondisi penari dan waktu yang mendesak, ia tak terlalu yakin bisa menyelesaikan sebuah garapan sendratari. Terjadilah kompromi. Muncul ide untuk membuat pertunjukan seperti drama klasik, tapi adegannya seperti sendratari. Perbedaannya, pemain tidak menari.
Pemeiannya adalah guru-guru, muda-mudi, dan tokoh masyarakat Abianase. Pada zaman Gestapu sebelum tahun 1970-an sempat ngetren pertunjukan drama janger, sehingga pertunjukan yang dibuat Raka Payadnya itu diberikan nama dengan kata drama. Yakni drama klasik. Ceritanya adalah Jayaprana.
Drama klasik itu pentas pada 24 Februari 1966 bertepatan dengan pujawali di Pura Puseh Desa Abianbase. Sambutan penonton ramai. Banyak yang suka.
Raka Payadnya bangga karena penonton menyambut pementasan itu dengan sukacita. Mungkin saja pada zaman itu masyarakat sedang haus tontonan. Mungkin juga karena pertunjukan itu termasuk jenis seni pertunjukan baru.
Saat pentas pertama kali itu, para pemain menggunakan campuran antara Bahasa Indonesia dengan Bali. Jika pemeran muda bercakap dengan tokoh tua digunakan bahasa Bali, sementara tokoh muda dengan tokoh muda bercakap menggunakan Bahasa Indonesia.
Kenapa berubah menjadi drama gong?
Ketika mereka pentas di Banjar Babakan, Sukawati, banyak mantan guru-guru Raka Payadnya di Kokar yang ikut menonton. Salah satunya adalah IGB Nyoman Pandji, Usai pentas, Raka Payadnya ditemui di belakang panggung, dan IGB Nyoman Panji menyarankan agar pertunjukan itu diberi nama “drama gong” karena menggunakan iringan gamelan gong kebyar. Maka, sejak itu, pertunjukan drama klasik mereka berganti nama jadi drama gong.
Drama gong Abianbase ini terkenal di seluruh Bali, sehingga muncul kemudian kelompok-kelompok drama gong di sejumlah daerah yang beberapa di antaranya juga terkenal dan larih manis pentas dari panggung ke panggung. Bahasa yang digunakan pun berubah menjadi bahasa Bali secara penuh, bahkan lengkap dengan sor singgih-nya.
Raka Payadnya memiliki 111 koleksi judul drama gong, antara lain Semara Nala”, “Dukuh Seladri”, “Mudita”, dan “Cilinaya”.
Atas pengabdian dan dedikasinya itu, Raka Payadnya dianugerahi Dharma Kusuma tahun 2004 oleh Pemda Propinsi Bali.
Tokoh Pramuka
Tidak banyak yang tahu, Anak Agung Raka Payàdnya juga merupakan tokoh kepanduan (pramuka) di Bali, khususnya Gianyar.
Kenyataan itu ditulis oleh Nyoman Mahardika, seorang dosen, pegiat lingkungan dan tokoh Pramuka di Bali. Nyoman Mahadika menulis di akuan facebook-nya sebagai ungkapan dukacita atas kepergian Raka Payadnya.
Mahardika menulis, Anak Agung Raka Payàdnya juga merupakan tokoh kepanduan di Bali, khususnya Gianyar. Kecintaan dan dedikasinya dalam kepramukaan sejak usia muda juga sangat besar.
Mahardika kemudian memperlihatkan foto-foto bersejarah, koleksi ayahnya, Almarhum I Nyoman Bebas. Raka Payadnya dan Nyoman Bebas adalah sahabat seperjuangan dalam memajukan Gerakan Pramuka di Bali.
“Kedekatan mereka akhirnya diperkuat juga oleh hobi yang sama yaitu sama-sama menggemari burung perkutut,” tulis Mahardika.
Mahardika bercerita, di hari terakhir ayahnya, tanggal 15 Januari 2007, Raka Payadnya datang membesuk ayahnya di RS Sanjiwani Gianyar dan berkelakar seperti biasanya.
“Tiba-tiba Ayah kami kondisinya drop, semua panic, dan akhirnya meninggal, berpegangan tangan dengan sahabatnya. Saya tidak dapat menahan haru menyaksikan Sang Legenda menitikkan air mata melepas kepergian sahabatnya,” tulis Mahardika.
Apa yang ditulis Nyoman Mahardika, dan apa yang diceritakan Wayan Sugita, adalah bukti betapa Raka Payadnya adalah seniman yang rendah hati. Selain mencintai keluarganya, ia juga menghargai sesama seniman, sahabat-sahabatnya.
Bali berhutang pada dia. Selamat jalan maestro drama gong. [T]