Manusia adalah makhluk naratif, dia memiliki kebutuhan bercerita dan mendengarkan cerita. Kebutuhan mendengar cerita adalah sebuah dorongan yang paling mendasar, sebab manusia memerlukan berita, informasi melalui cerita.
Cerita membuatnya bertumbuh, dan terus bertumbuh. Cerita menjadikan manusia lebih humanis, membuatnya lebih peka, menjadikannya manusia yang mendengar, dan sekaligusnya membuatnya belajar.
Sampai kapanpun, cerita dan bercerita menjadi relevan sepanjang manusia ada. Karena pertumbuhan manusia tak pernah selesai hingga akhir hayatnya.
Dongeng adalah sebentuk cerita yang mengandung pesan tertentu yang membuat manusia bercermin soal dirinya dan kemanusiaannya. Serupa cermin pula, dongeng bisa menunjukkan sisi kejujuran dari manusia yang kadang tak tampak oleh orang lain namun terasa hanya oleh diri sendiri.
Dengan sebuah kesadaran yang tinggi, dongeng bisa mengolah karakter manusia menjadi lebih peka dan lebih kontekstual, juga lebih kreatif dan produktif.
Relevansi dongeng dan mendongeng sejalan lurus dengan perkembangan jaman karena setiap detik, manusia memproduksi dongeng di kepalanya, sebab itulah caranya mengkonstruksi pengetahuan untuk dikonsumsi dirinya, lalu orang lain, lalu masyarakat.
Jadi dalam konteks masyarakat luas, dongeng-dongeng yang hidup di kepala masing-masing manusia menjadi sebuah pemantik untuk hidupnya dongeng di kepala manusia lainnya. Maka terciptalah jejaring dongeng yang massive dan gigantic yang kelak membuat pola dongeng bergerak dari satu pola budaya ke pola budaya lainnya.
Begitu unik dan rumitnya pola satu dengan lainnya dalam konteks budaya yang saling bersilangan atau yang saling mengadakan dan meniadakan, ada sebuah benang merah yang menyatukan kita sebagai manusia, bahwa kita semua butuh cerita, butuh dongeng di kepala.
Maka, Komunitas Mahima dalam Festival Mendongeng se-Indonesia ini menjadikan dongeng sebagai sebuah cara mengaktifkan kembali narasi-narasi yang pernah ada di kepala, yang pernah ada dan mengusik kita, atau yang pernah mengajari kita untuk menjadi manusia yang lebih sadar pada kemanusiaan kita.
Mahima secara kontinyu telah melakukan upaya untuk menyegarkan kembali narasi soal pentingnya cerita dalam hidup kita. Mahima Mendongeng awalnya diinisiasi pada awal pandemi covid-19 di tahun 2020 berhasil menghadirkan 100 dongeng dan pendongeng yang hadir secara virtual.
Dongeng hadir sebagai pelipur dan penawar cemas karena virus yang membuat kita percaya bahwa satu-satunya yang membuat kita waras adalah masih ada cerita soal mimpi dan harapan untuk keluar dari cengkeraman virus. Mimpi itu kita pelihara di kepala, dan kini kita pelan-pelan telah keluar dari masa-masa yang menakutkan itu.
“Storytelling continues to be relevant right now and will continue to be relevant for as long as humans feel the need to tell each other stories.” King Campbell-storyteller
Benarlah bahwa cerita menerbitkan mimpi dan harapan dan sebuah usaha untuk membuatnya nyata. Mahima kembali membuat Mahima Mendongeng jilid dua di tahun 2021 yang melibatkan pendongeng dari seluruh Indonesia.
Kini di tahun ketiga, 2022 Mahima kembali hadir dengan program mendongeng, dengan format baru yaitu festival mendongeng se-Indonesia yang melibatkan pendongeng dari seluruh Indonesia dan menghadirkan program beragam seperti pertunjukan mendongeng, baik online maupun offline, lomba mendongeng pelajar dan umum, bedah buku dongeng, workshop mendongeng dan tentunya juga bursa buku dongeng.
Kesadaran mendongeng adalah kesadaran yang terus menerus harus diupayakan hadir dalam kepala kita. Sebab di akhir hidupnya, yang ditinggalkan manusia kelak hanyalah cerita. Dalam konteks festival ini, saya bagikan beberapa pendongeng dan pengapresiasi dongeng yang akan tampil di Festival Mendongeng Mahima.
Pertama, Cok Sawitri. Cok adalah seorang novelis, penyair, actor dan sutradara teater. Cok telah menghasilkan banyak karya sastra dan karya pertunjukan. Dalam festival ini, Cok akan membawakan dongeng Sang Landean, yang membuat kita akan terkejut pada daya pikir dan daya kritis pembuat cerita ini di masa lalu. Betapa sebuah moment konyol, aneh, dan lucu dalam kisah cerita menjadi sebuah sentakan yang mengajak kita berpikir ulang tentang kemanusiaan kita.
Kedua, dr. Putu Arya Nugraha, Sp.PD., seorang dokter ahli penyakit dalam yang juga penulis produktif, yang akan membawakan dongeng bergenre science fiction Dinosaurus versus Virus.
Dongeng ini bercerita soal si kecil dan si besar, si “terlihat maha kuat” dan si “tak terlihat” berperang dan mengajarkan kita bahwa kesombongan makhluk besar dapat diakhiri dengan “ketiadaan” makhluk lemah. Plot twistnya adalah secara science, yang lemah bisa mengalahkan yang kuat hanya dengan struktur genetic dan selubungnya (kapsid).
Ketiga, Nova Ruth dan Filastine, pasangan inspiratif yang merupakan seniman musik, storyteller, dan pelayar antar benua yang secara heroic berlayar dari satu benua ke benua lainnya untuk berbagi pesan perdamaian melalui music dan cerita. Ia singgah di Bali Utara untuk membagikan cerita yang indah untuk dikenang.
Tini Wahyuni, seorang mantan dokter yang kini total sebagai penikmat seni dan budaya. Ia merespons dongeng dengan music gender dan penting, alat music Bali yang menghasilkan nada-nada magis dan membius.
Luh Wanda, pendongeng muda, seorang pendongeng ventriloquist yang membuat suara dengan teknik khusus sebagai karakter cerita. Luh Wanda adalah ventriloquist yang kini telah dikenal banyak kalangan karena hadir di berbagai festival.
Dengan sebuah kesadaran bahwa dongeng dan mendongeng adalah kebutuhan manusia, maka sepanjang hayatnya manusia tak akan selesai mendongeng dan menciptakan dongeng. [T]