Angin aroma jerami kering berhembus dari selatan. Seekor capung merah terbang rendah, hinggap di dahan ciplukan. Bayang-bayang daun menaunginya dari terik. Melayang lincah, kawanan sriti bermanuver memburu anak belalang. Ada yang lolos, menyingkir ke sisi lain. Beberapa bernasib nahas, pasrah dalam lingkar rantai kehidupan.
Pada sebatang bambu lengkung, pindekan berputar. Cepat seperti langkah tergesa-gesa namun sesekali lambat tersendat. Pindekan, kincir angin tradisional yang terbuat dari bambu itu sebagian bilahnya lapuk. Menghitam oleh lumut kering. Di atasnya sepotong kain kusam berkibar-kibar.
Putu Dirga, seorang remaja kurus, berkaos oblong karikatur kodok, sontak berlari. Gerakannya gesit melompati parit, memintas hamparan melon madu yang baru tumbuh. Pematang sempit berkelok bisa saja menyebabkan terpeleset. Bonggol perdu bekas dibabat petani, mungkin saja melukai kaki yang hanya bersandal jepit butut. Ia tak peduli, terus berlari bahkan semakin kencang.
Napas masih tersengal-sengal ketika ia berhenti. Membungkukkan badan, kedua tangan memegang lutut. Keringat di kening menetes ke ujung kaki. Memulihkan tenaga, ditariknya napas dalam dan dihembuskan perlahan. Menyapu sekeliling dengan pandangan.
Gemericik air terdengar jelas dari Yeh Unda yang membelah persawahan di sekitarnya. Sungai yang tak pernah kering sepanjang tahun, berhulu di Telaga Waja. Memanjang puluhan kilometer menuju hilir di desa Kusamba dan bermuara ke laut Selat Badung.
Batu-batu besar sisa erupsi Gunung Agung tahun 1963, tersebar acak. Beberapa ditumbuhi lumut menyibak arus air. Di batu lempeng, seorang pemancing mengamati ujung joran. Entah, sudah berapa lama ia menunggu, berharap seekor udang menyambut umpan mata kail. Kepulan asap kretek dari mulutnya pecah di udara.
Di bantaran sungai, di antara rumpun pisang kepok, sebatang pohon nangka tumbuh ringkih. Sarang tawon liar, bulat lonjong, menggayut di salah satu dahan. Berjarak tidak jauh, pohon kelapa lengkung menjulang. Batang berkulit kasar mempertegas tuanya pohon.
“Aku ingat, ini pohonnya, pohon kelapa yang sama!” Putu Dirga membatin.
Sambil mendongak, tangan kiri bertumpu pada batang pohon. Sebuah layangan tersangkut di pelepah dengan kenur melilit tangkai bungsil. Ujung kenur menjuntai beberapa meter ke bawah dimainkan angin. Begitu berartikah layangan itu sehingga tadi dikejarnya sekuat tenaga?
Kini, ia terus memandangi layangan itu seakan tak rela kehilangan. Sebelumnya, layangan itu adalah milik orang lain yang putus dan tersangkut di pohon kelapa. Pemilik membiarkan begitu saja tanpa upaya mencari. Mungkin enggan atau nyalinya ciut melihat tingginya pohon.
Setelah dimiliki oleh Putu Dirga, layangan justru hanya terpajang di dinding kamar persis di sebelah foto hitam putih ayahnya. Tidak berniat menerbangkan meski angin sedang bagus-bagusnya. Beberapa teman sebaya menyambangi ke rumah, mengajak bahkan membujuk tapi sia-sia.
Setiap malam, ia membersihkan layangan dengan kemoceng bulu ayam. Bila mungkin tak sebutir pun debu dibiarkan menempel. Sebatang dupa selalu ia nyalakan lalu menaruhnya di lantai. Sekuntum kamboja merah disematkan pada layangan. Entah, apa maksudnya. Mengusap lembut, menyapa, mengajak bicara layaknya teman. Ketika lelah, dengan pandangan mengarah ke layangan, ia berbaring hingga perlahan matanya mengatup. Pulas.
Hari Minggu, siang menjelang sore. Langit cerah. Aneka bentuk dan warna layangan yang mengudara terlihat dari halaman rumah. Sambil mengunyah gula merah, bibirnya komat-kamit menghitung. Diulanginya sekali lagi dengan bantuan jari tangan dan manggut-manggut saat menutup jari ke sepuluh.
Seusai menandaskan segelas air putih, ia bergegas ke persawahan terdekat. Tidak jelas, apa yang telah mengubah jalan pikirannya. Dengan layangan di punggung, ia melangkah santai di badan jalan. Tak pelak beberapa pemotor membunyikan klakson, menegur agar menepi.
Seolah tak mendengar, ia terus berjalan, kini sambil bernyanyi. ‘Angkihan Baan Nyilih’, sebuah lagu pop Bali-nya Widi Widiana terdengar sumbang. Sesekali kakinya menendang kerikil yang ditemui di jalan. Atau memungutnya, melempari anjing liar yang kebetulan melintas. Bila anjing sudah menggongong apalagi menyalak maka ia pun bertepuk tangan. Ya, bertepuk tangan!
Memilih tempat agak teduh, ia mulai menerbangkan layangan. Mengulur, menarik dan mengulur lagi agar melambung tinggi. Bergeser dari satu posisi ke posisi lain, menyiasati arah angin. Asyik sekali menarik ulur kenur dalam jepitan ibu jari dan telunjuk. Ke mana pun layangan meliuk, matanya awas mengikuti. Sesekali pandangannya beralih ke layangan lain yang terlebih dahulu mengudara. Ada senyum mengembang di bibir ketika angin mengurai rambutnya yang lurus dan belum sempat dicukur.
Kemudian, beberapa langkah, ia bergerak ke depan mengikuti sebuah tarikan. Buru-buru digulungnya kenur ketika menyadari ada yang tak beres. Layangan singit, kehilangan keseimbangan. Dicoba mengulur tapi terlambat. Layangan putus! Angin terlalu kencang atau kenurnya getas, ia tak sempat memikirkan kecuali berlari, mengejar.
Dalam kebingungan, pangkal batang kelapa dipukulnya dengan sisa gulungan kenur. Bunyi benturan bekas kaleng susu terdengar. Bagaimana agar layangan kembali? Minta tolong kepada siapa? Menggaruk-garuk kepala, ia terduduk di gundukan tanah memunggungi pohon. Keletihan tak bisa disembunyikan. Berselonjor kaki, kedua betis dipencet mirip gerakan pijat. Tangan kanan beralih mencabut-cabut rumput teki di dekatnya, melemparkan ke sembarang arah. Mata berkaca-kaca, tatapannya gamang. Sementara, suara perkutut manggung sayup terbawa angin.
“Bapa,(1) ke sini, cepat!”
Teriakan Putu Dirga, membuyarkan keseriusan Ketut Kartala memilah rumput. Pria berperawakan jangkung merapikan caping di kepala, melangkah mendekat. Selain sebagai petani penggarap, rutinitas Ketut Kartala adalah mengarit untuk pakan sepasang sapi piaraan yang sesungguhnya milik seorang tetangga yang dipercayakan kepadanya. Sedangkan Putu Dirga, anak tunggalnya, sekadar membantu. Keranjang di punggungnya tak selalu penuh berisi rumput namun selalu dimaklumi.
“Ada apa? Ular lagi?” Tebak ayahnya. Adalah hal biasa ketika mereka mengarit ada saja ular tanah atau ular hijau yang melintas. Namun, tetap saja mengagetkan.
“Bukan, layangan itu!” sambil menunjuk ke atas pohon kelapa.
“Aduh, tinggi sekali, galah pasti tak sampai.” Suaranya agak parau. Sudah seminggu batuk menahunnya kumat. Persediaan rumput yang menipislah memaksanya pergi mengarit.
“Panjat saja, Bapa!”
Putu Dirga, sudah lama ingin memiliki layangan tiga dimensi. Pernah ia berharap, orang tuanya membelikan sebagai hadiah kelulusannya dari Sekolah Dasar. Ia pun berencana pamer dan membayangkan satu per satu temannya berdecak kagum. Sayang, semuanya tidak terjadi. Keinginan yang tak pernah ia utarakan itu, dilupakannya bersusah payah.
Tapi harapan serupa nadi, terus berdenyut, tak pernah benar-benar mati. Ya, kapan lagi, ini kesempatan emas! Sebuah layangan kedis celepuk(2) nyata di hadapannya. Meskipun berada di ketinggian, ia melihat jelas. Gradasi warna biru berteknik airbrush padu pada bentangan sayap dan ekor. Arsiran kuning pada bulu-bulunya memberi aksentuasi manis. Dua bulatan mata cerah serta sepasang kaki mencengkeram menambah kesan dinamis.
“Lupakan saja. Layanganmu ‘kan ada dua di rumah”, sembari menyentuh pundak anaknya.
“Tapi tak sebagus itu”, ia membandingkan dengan bete-bete, layangan sederhana berbentuk segi empat miliknya.
Ketut Kartala bergeming. Dalam hati mengakui, layangan kedis celepuk itu memang bagus. Harganya niscaya mahal. Sejujurnya, bila diminta untuk membeli, ia tak sanggup.
“Ayo, dipanjat saja. Bapa pasti bisa!”
Ketut Kartala masih bergeming. Ada keraguan di wajahnya. Sejatinya, memanjat pohon hal mudah baginya apalagi pohon kelapa, ia piawai! Dengan tali tambang serupa angka delapan di pergelangan kaki, panjatannya cepat. Tanpa bantuan tali pun ia sanggup. Kedua telapak kaki seolah lengket, menempel kuat pada batang pohon. Warga sekitar lumrah minta tolong kepadanya dan selalu ia tak punya alasan untuk menolak.
Ketrampilan memanjat adalah hal langka saat ini. Atas jasanya ia memperoleh imbalan. Tentu saja tak sepadan dengan resiko keselamatannya. Ia tak khawatir, tak pernah berpikir sejauh itu. Memetik kelapa, kadang dibarengi dengan mencari janur. Terutama menjelang hari raya keagamaan atau upacara adat pernikahan. Janur dibutuhkan untuk cangkang ketupat, canang sesaji, penjor (3) atau hiasan lainnya.
Buk! Seekor perkutut jatuh di depan Putu Dirga tak lama berselang setelah terdengar bunyi letusan senapan angin di kejauhan. Terkejut, spontan bangkit mengucek-ucek mata. Kelelahan rupanya telah menidurkannya di bawah pohon kelapa, beberapa saat lalu. Perkutut nahas masih menggelepar, berlumur darah saat dipungut. Beberapa helai bulu sayap terlepas.
Dalam genggaman, ia merasakan detik demi detik gerakan burung itu melemah hingga lunglai tak berdaya. Dengan menyibak bulunya, ia menemukan satu peluru timah terbenam di dada kiri.
Darah tercium anyir. Kedua tangan Putu Dirga tengadah dengan jemari merenggang. Melihat darah memenuhi sela-sela kuku, ia gelisah. Tangan mulai gemetar. Keringat dingin membulir di kening. Pintu ingatannya ada yang menggedor-gedor, mendobrak hingga menganga. Penyesalan menyeruak masuk, tumpang tindih. Semakin rapat ia menutup, semakin perih umpatan menghunjam gendang telinga. Kesalahan seakan ditumpahkan begitu saja di atas kepalanya. Alih-alih membela diri, ia memilih diam.
Tak secuil pun keberanian tersisa untuk menatap wajah ibunya saat itu. Keteduhan yang biasa ia temukan lenyap seketika. Bibir ibunya bergetar, menunjuk-nunjuk hidungnya! Kemarahan, kekecewaan dan kesedihan bergesek kencang hingga ibunya limbung berkali-kali.
Putu Dirga tersudut, batinnya terguncang. Ia sesenggukan. Menangis, menangis dan menangis. Di pangkuannyalah, dua bulan lalu, Ketut Kartala menghembuskan napas terakhir. Pelepah kelapa kering dan sebuah layangan kedis celepuk ikut tergeletak di samping tubuh ayahnya. [T]
Keterangan :
- Bapa : sebutan ayah dalam bahasa Bali
- Kedis celepuk : burung hantu.
- Penjor : sebatang bambu lengkung berhias janur, buah dan umbi-umbian.
_____