- Artikel ini adalah orasi ilmiah yang disampaikan dalam upacara dies natalis ke-39 Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) Bali (dulu IKIP PGRI Bali), Kamis 25 Agustus 2022.
Pada tahun 1975, penyair WS Rendra menulis sajak berjudul “Sajak Seonggok Jagung”.
……………………….
Seonggok jagung di kamar
tidak menyangkut pada akal,
tidak akan menolongnya.
Seonggok jagung di kamar
tak akan menolong seorang pemuda
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
dan tidak dari kehidupan.
Yang tidak terlatih dalam metode,
dan hanya penuh hafalan kesimpulan.
Yang hanya terlatih sebagai pemakai,
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya:
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
di tengah kenyataan persoalannya?
Apakah gunanya pendidikan
bila hanya mendorong seseorang
menjadi layang-layang di ibukota
kikuk pulang ke daerahnya?
Apakah gunanya seseorang
Belajar filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
atau apa saja,
bila pada akhirnya,
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata:
“Di sini aku merasa asing dan sepi!”
(Rendra, 1996)
Sajak tersebut tak hanya memotret wajah pendidikan kita pada masa sajak itu ditulis, tetapi juga selalu menjadi refleksi situasi pendidikan kita hingga di masa sekarang. Pendidikan yang seharusnya membebaskan, menghasilkan jiwa-jiwa merdeka, ternyata justru menjelma penjara yang membelenggu, baik bagi guru, siswa, sekolah, maupun orang tua.
Pemerintah tampaknya memahami kritik yang dilontarkan terhadap pengelolaan pendidikan di negeri ini. Hal itu terlihat dari upaya yang tiada putus menyempurnakan tata kelola pendidikan di Indonesia. Pemerintah sepertinya senantiasa melihat kurikulum sebagai instrumen penting sebagai pintu masuk membenahi dunia pendidikan di Indonesia sehingga kurikulum selalu menjadi sasaran perubahan.
Pada tahun 2022 ini, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek) merilis kurikulum terbaru bertajuk “Kurikulum Merdeka”. Sebagaimana dituangkan dalam Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi nomor 56 tahun 2022 tentang Pedoman Penerapan Kurikulum dalam Rangka Pemulihan Pembelajaran, Kurikulum Merdeka diberlakukan mulai tahun ajaran 2022/2023. Namun, sebelum diberlakukan secara resmi, pada tahun ajaran 2021/2022, Kurikulum Merdeka sudah diuji coba di 2.500 sekolah penggerak[1]. Di tingkat perguruan tinggi, sejak tahun ajaran 2020/2021 sudah diterapkan Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Inti dari Kurikulum Merdeka adalah Merdeka Belajar. Dalam Merdeka Belajar siswa atau mahasiswa diberi kebebasan untuk memilih mata pelajaran yang sesuai dengan minat dan bakatnya. Hakikat Merdeka Belajar tiada lain kemerdekaan berpikir. Menurut Mendikbudristek, Nadiem Makarim, kemerdekaan berpikir itu harus ada pada guru dulu. Tanpa kemerdekaan berpikir terjadi pada guru, tidak akan terjadi kemerdekaan berpikir pada siswa[2].
Konsep Merdeka Belajar sejalan dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional kita. Konsep pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara, didasarkan pada kemerdekaan yang berlandaskan pada kesadaran bahwa manusia diberi kebebasan oleh Tuhan yang Maha Esa untuk mengatur kehidupannya dengan tetap sejalan dengan aturan yang ada di masyarakat. Pendidikan harus membuat siswa memiliki jiwa merdeka dalam artian merdeka secara lahir dan batin serta tenaganya. Menurut Ki Hajar Dewantara, jiwa yang merdeka sangat diperlukan sepanjang zaman agar bangsa Indonesia tidak didikte oleh negara lain. Untuk menumbuhkan jiwa-jiwa merdeka itu, Ki Hadjar Dewantara menggunakan istilah sistem among, yakni melarang adanya hukuman dan paksaan kepada anak didik karena akan mematikan jiwa merdeka serta mematikan kreativitasnya (Dwiarso dalam Ainia, 2020: 95).
Kurikulum Merdeka memiliki tiga karakteristik utama. Pertama, pembelajaran berbasis projek[3] untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil pelajar Pancasila. Kedua, fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi. Ketiga, fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kemampuan peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan konteks dan muatan lokal[4].
Kemendikbudristek tampaknya menekankan Kurikulum Merdeka pada aspek pembentukan karakter melalui proyek penguatan profil pelajar Pancasila tersebut. Dalam Keputusan Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Nomor 009/H/Kr/2022 tentang Dimensi, Elemen, dan Subelemen Profil Pelajar Pancasila Pada Kurikulum Merdeka, profil pelajar Pancasila merupakan bentuk penerjemahan tujuan pendidikan nasional. Profil pelajar Pancasila terdiri dari enam dimensi, yaitu 1) beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia, 2) mandiri, 3) bergotong-royong, 4) berkebinekaan global, 5) bernalar kritis, dan 6) kreatif.
Pemberlakuan Kurikulum Merdeka untuk mengganti Kurikulum 2013 memang sepintas mencerminkan cara pandang yang tidak berubah pada pemerintah bahwa akar masalah karut-marut dunia pendidikan adalah kurikulum. Padahal, permasalahan pendidikan kita sangat kompleks, termasuk kompetensi guru. Namun, semangat Kurikulum Merdeka yang mengembalikan pendidikan sebagai upaya memerdekakan siswa agar mampu berpikir merdeka dengan guru diberikan kebebasan dalam mengelola pembelajaran, Kurikulum Merdeka layak untuk diberikan kesempatan. Tentu saja, pelaksanaan kurikulum ini tetap harus dikawal secara kritis, terutama di tataran implementasi agar mencapai tujuannya.
Semangat kemerdekaan berpikir dalam konsep Merdeka Belajar sesungguhnya menjadi angin segar bagi ilmu-ilmu humaniora, seperti budaya, filsafat, bahasa, dan sastra. Dalam sastra, kemerdekaan berpikir merupakan hal yang esensial. Sastra pada hakikatnya juga jalan pembebasan, jalan mencapai kemerdekaan berpikir.
Dalam tradisi masyarakat Bali, sastra dimaknai layaknya seperti obor yang memberikan memberikan penerangan untuk membebaskan manusia dari kegelapan pikiran. Susastra suluh nikang praba. Dalam konteks sastra modern, sastra juga menjadi jalan untuk melepaskan diri dari belenggu yang berasal dari dari dalam diri sendiri maupun dari luar diri sebagai hegemoni kekuasaan. Itulah sebabnya, sastrawan Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya menulis, “ketika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara”.
Sastra tidak merumuskan dan mengabstraksikan kehidupan kepada kita, melainkan hadir kepada kita setelah melalui interpretasi pengarang (Sayuti, 2002: 40). Dengan kata lain, seperti dikatakan Umar Kayam, sastra bukanlah tiruan langsung kehidupan.
Sastra bukanlah semata-mata karya fiksi dalam pengertian dunia khayal sehingga bagi sebagian besar orang masih dipandang lebih rendah dari ilmu-ilmu lain. Justru, sastra merupakan sumber pengetahuan yang penting sejajar dengan sumber-sumber pengetahuan lain. Pandangan yang melihat sastra sebatas karya fiksi dalam pengertian dunia khayal tidak saja ketinggalan zaman, tetapi juga kalah jauh dari pandangan para leluhur kita di masa lalu yang melihat sastra sebagai sasuluh urip, sarana untuk memahami sangkan paraning dumadi, sangkan paraning sarat.
Sastra sejatinya adalah dunia kemungkinan sebagai hasil refleksi dan interpretasi pengarang atas kehidupan. Melalui karya sastra yang menawarkan berbagai kemungkinan, baik moral, sosial, maupun psikologis, orang dapat lebih cepat mencapai kemantapan bersikap yang menjelma ke dalam perilaku dan pertimbangan pikiran yang dewasa. Sastra memberi ruang bagi kita memasuki “segala macam situasi” sehingga kita bisa menempatkan diri dalam kehidupan yang luas daripada situasi diri kita yang nyata. Inilah kemerdekaan berpikir yang ditawarkan sastra.
Oleh karena itu, pembelajaran sastra di sekolah-sekolah maupun kampus-kampus seyogyanya tidak mengingkari hakikat sastra sebagai dunia dalam kemungkinan. Sastra sebagai dunia kemungkinan dapat dipahami bahwa pembaca ketika berhdapan dengan karya sastra sesungguhnya berhadapan dengan berbagai kemungkinan penafsiran. Ahli semiotik, Roland Barthes menyebut hal ini sebagai kematian pengarang yang kemudian melahirkan pembaca. Pembacalah yang menghidupkan karya sastra melalui perayaan tafsir yang beragam.
Oleh karena itu, dalam pembelajaran sastra tidak ada jawaban benar atau salah dalam menafsirkan makna karya sastra. Hal yang dipentingkan adalah alasan yang mendasari penafsiran itu (Mahayana, 2009:27). Dengan kata lain, sikap dan daya kritis siswa yang menjadi fokus perhatian. Keanekaragaman tafsir merupakan kekayaan yang harus dialirkan melalui suatu dialog yang terbuka sehingga dapat dipahami alur pikiran yang mendasari lahirnya penafsiran tersebut. Di situlah tugas guru sastra, menjembatani dialog kritis di antara siswa. Dengan demikian, pembelajaran sastra tidak hanya menumbuhkan apresiasi sastra, tetapi juga memupuk sikap menghargai pendapat (Mahayana, 2009:27).
Selama ini, pembelajaran sastra di sekolah senantiasa mengundang sorotan, terutama karena model pembelajaran yang dinilai tidak menumbuhkan kegiatan apresiasi sastra, tetapi mengebiri siswa hanya sebatas hafalan nama pengarang, judul karya, atau paling jauh sebatas mengidentifikasi unsur-unsur intrinsik karya. Model evaluasi yang diterapkan juga tidak mempertimbangkan hakikat sastra sebagai dunia dalam kemungkinan itu tetapi diarahkan pada satu jawaban dari satu perspektif sehingga mengabaikan perspektif lain. Sastra yang memerdekakan justru menjadi membelenggu dalam pembelajaran.
Pembelajaran sastra yang dilakukan dengan cara yang tepat akan dapat memberikan sumbangan yang besar untuk memecahkan masalah-masalah nyata yang sulit dipecahkan dalam masyarakat (Rahmanto, 1993: 15). Pembelajaran sastra dapat memungkinkan tumbuhnya sikap apresiasi terhadap segala hal yang indah dan manusiawi untuk diinternalisasikan menjadi bagian dari karakter anak didik yang akan dibentuk (Ismawati, 2013: 3).
Pembelajaran sastra yang memerdekan sudah sejak lama disuarakan para sastrawan dan akademisi sastra. Guru besar sastra di Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Suminto A Sayuti dalam sebuah artikelnya yang berjudul, “Menuju Pendidikan dan Pengajaran Sastra yang Memerdekan: Sekadar Catatan Pengantar” di majalah Sastra edisi November 2000 menyuarakan perlunya dipertimbangkan untuk mengubah fokus perhatian terhadap sastra yang selama ini membelenggu diubah dari teks ke pembaca. Menurut Sayuti (2000: 9), sastra sebaiknya tidak lagi dipandang sebatas sebagai objek tetapi dipertimbangkan sebagai pengalaman dan pembaca ditempatkan tidak semata sebagai konsumen, tetapi peraga aktif yang membawa teks ke dalam kehidupan pikirannya.
Menurut Sayuti, yang penting dalam pembelajaran sastra adalah literature as exploration. Hal ini mengisyaratkan bahwa dalam proses menafsirkan karya sastra, peranan pembaca, dalam hal ini siswa, memungkinkan emosi dan intelektualnya berfungsi kontributif untuk membangkitkan pengalaman literer. Teks sastra harus dipandang sebagai sesuatu yang problematik sehingga di ruang-ruang kelas teks didekonstruksi lalu dikonstruksi (Sayuti, 2000: 10).
Model pembelajaran sastra yang memerdekakan ini memang membutuhkan kerja keras guru Bahasa dan Sastra Indonesia. Sebagaimana dinyatakan Menteri Nadiem Makarim, guru harus terlebih dahulu merdeka baru bisa memerdekan siswa. Oleh karena itu, pertanyaan mendasarnya kemudian adalah apakah guru siap untuk memerdekakan pikirannya?
Untuk menjawab pertanyaan itu, saya ingin memberikan sebuah ilustrasi. Saat menjadi narasumber penyuluhan keterampilan berbahasa dan bersastra guru-guru SMA/SMK se-Kabupaten Klungkung dan Karangasem pada bulan Juni dan Juli lalu, ada fakta menarik bahwa di antara guru-guru Bahasa Indonesia yang mengikuti kegiatan itu, hampir seluruhnya tidak memilih sastra sebagai skripsi. Ketika saya tanyakan, mengapa tidak memilih sastra sebagai kajian, jawaban mereka umumnya karena sastra bersifat multitafsir, tidak ada kepastian sehingga menyulitkan mengukur kemampuan siswa.
Jawaban guru-guru Bahasa Indonesia ini menegaskan kuatnya hegemoni pandangan positivistik dalam pembelajaran. Bahwa segalanya harus pasti dan jelas. Sejak lama guru-guru kita terbiasa dengan model kurikulum yang siap pakai dengan guru-guru tinggal mengimplementasikannya di kelas. Karena itu, ketika kini Kurikulum Merdeka hanya memberikan rumusan capaian pembelajaran dan guru diberi keleluasaan merumuskan sendiri alur tujuan pembelajaran, justru guru sendiri merasakan hal itu sebagai beban. Terlebih lagi adanya penerapan pembelajaran terdirefensiasi yang menuntut model asesmen yang berbeda-beda berdasarkan kemampuan siswa.
Oleh karena itu, pemberlakuan Kurikulum Merdeka dengan konsep Merdeka Belajar yang menekankan pada kemerdekaan berpikir membutuhkan satu hal esensial pada guru dan siswa, yakni sikap berani. Kemerdekaan tak akan bermakna apa-apa jika orang yang diberikan kemerdekan tidak memiliki keberanian untuk menjalani kemerdekaannya. Indonesia mungkin tidak akan merdeka pada 17 Agustus 1945 jika tidak ada para pemuda yang berani menculik Soekarno-Hatta dan mendesak kedua tokoh bangsa itu segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.
Guru merdeka yang pemberani adalah guru yang tidak hanya memiliki kemerdekaan berpikir, tetapi juga sikap terbuka, kreatif, adaptif dan inovatif. Profil guru semacam ini akan melahirkan juga siswa yang selain merdeka dalam berpikir tetapi juga berani mengemukakan pandangannya, berani menantang kemapanan pikiran, sehingga mampu menemukan pemikiran-pemikiran baru yang segar dan progresif.
Demikianlah, pendidikan untuk melahirkan jiwa-jiwa merdeka, seharusnya juga melahirkan jiwa-jiwa pemberani. Jiwa-jiwa yang terbuka menerima segala tantangan termasuk mendobrak kebekuan dan kemapanan yang melenakan sehingga mampu melihat kemungkinan-kemungkinan baru. Seperti halnya tokoh Minke dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang berani melawan ketidakadilan dan penindasan kolonialisme. Walaupun di ujung perlawanan dia kalah, tapi dia sudah menunaikan tugas suci kemanusiaannya, melawan dengan sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.
Dalam kaitan membentuk jiwa-jiwa merdeka, jiwa-jiwa pemberani dalam dunia pendidikan, menarik untuk merefleksi petikan sajak WS Rendra lainnya yang berjudul “Sajak Sebatang Lisong”.
…………………….
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing.
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
Kita mesti keluar ke jalan raya,
keluar ke desa-desa,
mencatat sendiri semua gejala,
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku
Pamplet masa darurat.
Apakah artinya kesenian,
bila terpisah dari derita lingkungan.
Apakah artinya berpikir,
bila terpisah dari masalah kehidupan.
[1] https://www.kompas.com/edu/read/2022/02/18/153300371/-ini-3-keunggulan-kurikulum-merdeka-bagi-sekolah-guru-dan-murid-apa-saja-?page=all
[2] https://nasional.tempo.co/read/1283493/nadiem-makarim-merdeka-belajar-adalah-kemerdekaan-berpikir
[3] Kemendikbudristek menggunakan istilah projek, bukan proyek. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang dikeluarkan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemdikbudristek, kata projek dinyatakan sebagai bentuk tidak baku dari kata proyek.
[4] https://kurikulum.kemdikbud.go.id/kurikulum-merdeka/
Daftar Bacaan
- Ismawati, Esti. 2013. Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak
- Kemdikbud. 2022. “Kurikulum Merdeka” dalam https://kurikulum.kemdikbud.go.id/kurikulum-merdeka/.
- Kompas.com. 2022. “Ini 3 Keunggulan Kurikulum Merdeka Bagi Sekolah, Guru, dan Murid. Spa Saja?” dalam https://www.kompas.com/edu/read/2022/02/18/153300371/-ini-3-keunggulan-kurikulum-merdeka-bagi-sekolah-guru-dan-murid-apa-saja-?page=all.
- Tempo.co. 2022. “Nadiem Makarim: Merdeka Belajar Adalah Kemerdekaan Berpikir” dalam https://nasional.tempo.co/read/1283493/nadiem-makarim-merdeka-belajar-adalah-kemerdekaan-berpikir.
- Mahayana, Maman S. 2009. “Apresiasi Sastra Indonesia di Sekolah” dalam majalah Horison nomor XLIII/1/2009, halaman 23—30.
- Rahmanto, B. 1993. Metode Pengajaran Sastra. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
- Rendra, WS. 1993. Potret Pembangunan dalam Puisi. Jakarta: Pustaka Jaya
- Sayuti, Suminto A. 2000. “Menuju Pendidikan dan Pengajaran Sastra yang Memerdekakan: Sekedar Catatan Pengantar” dalam majalah Sastra edisi November 2000, halaman 7-10.
- Sayuti, Suminto A. 2002. “Sastra dalam Perspektif Pembelajaran: Beberapa Catatan” dalam Riris K. Toha Sarumpaet (ed.) Sastra Masuk Sekolah. Jakarta: Indonesia Tera