Literasi berasal dari bahasa Latin “literatus” (littera), yang setara dengan kata letter dalam bahasa Inggris yang merujuk pada makna ‘kemampuan membaca dan menulis’. Adapun literasi dimaknai ‘kemampuan membaca dan menulis’ yang kemudian berkembang menjadi ‘kemampuan menguasai pengetahuan bidang tertentu’. Sementara itu, untuk merujuk pada orang yang mempunyai kemampuan berliterasi digunakan istilah literet (dari literate) yang dapat dimaknai ‘berpendidikan, berpendidikan baik, membaca baik, sarjana, terpelajar, bersekolah, berpengetahuan, intelektual, intelijen, terpelajar, terdidik, berbudaya, kaya informasi, canggih’ (Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 2018;7).
Sekolah sebagai lembaga yang bertugas mencetak generasi yang mampu bersaing di abad XXI, harus berupaya menghidupkan dan membudayakan gerakan literasi ini. Upaya ini bertujuan agar generasi yang lahir dari sekolah memiliki kemampuan membaca dan menulis yang sangat baik untuk mampu bersaing di abad XXI. Pada tingkat sekolah, upaya untuk menghidupkan dan membudayakan gerakan literasi ini disebut dengan Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
GLS merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, Komite Sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha, dll.), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dalam konteks GLS ini, literasi dimaknai tidak hanya sekadar pengetahuan dan kecakapan (1) baca tulis, namun juga mencakup (2) numerasi, (3) sains, (4) digital, (5) finansial, (6) budaya dan kewargaan yang bermuara pada perilaku yang berterima dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, pelaksanaan GLS di tingkat sekolah ditengarai belum masimal. Paling tidak, ada dua masalah yang menyebabkan pelaksanaan GLS ini belum maksimal ( (Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 2018;5-6). Pertama, belum berjalannya secara optimal GLS di tingkat sekolah karena beberapa guru memiliki pemahaman berbeda atau kurang memadai tentang literasi. Kedua, GLS di sekolah belum membuahkan hasil yang optimal karena kurangnya pendampingan dan pelatihan untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan literasi guru, sehingga guru kurang memiliki kemampuan untuk menentukan strategi yang tepat untuk melaksanakan GLS ini di sekolah.
Dari beberapa strategi untuk membangun budaya literasi sekolah (Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, 2018;14 -17), strategi yang paling menarik untuk diterapkan adalah strategi mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademis yang literat. Dalam strategi ini, sekolah harus memberikan alokasi waktu yang cukup banyak untuk pembelajaran literasi. Salah satunya dengan menjalankan kegiatan membaca dalam hati dan/atau guru membacakan buku dengan nyaring selama 15 menit sebelum pelajaran berlangsung. Namun menurut Artika (2022) strategi literasi berupa kegiatan membaca selama 15 menit, memposisikan literasi sekolah berada di luar pagar mata pelajaran masih juga belum maksimal berjalan di tingkat sekolah. Hal ini disebabkan karena strategi ini dipandang tidak penting oleh guru dan siswa karena terpisah dengan pelajaran.
Untuk menjawab masalah-masalah tersebut, mengintegrasikan kegiatan literasi ke dalam pembelajaran menjadi sangat penting dilakukan. Siswa dibiasakan membaca dan menemukan materi dalam bacaan yang berhubungan dengan suatu pelajaran. Strategi literasi seharusnya tampak dalam langkah-langkah pembelajaran yang terdapat dalam rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP dalam Kurikulum KTSP 2013) atau modul ajar (MA dalam Kurikulum Merdeka) yang disusun oleh para guru.
Dalam Langkah-langkah pembelajaran yang dirancang oleh guru, kegiatan 15 menit membaca teks (guru membacakan buku dan/atau siswa dan guru membaca dalam hati) disesuaikan dengan konteks (target pembelajaran). Ketika pembiasaan membaca terbentuk, selanjutnya akan diarahkan ke kegiatan pengembangan, dan pembelajaran yang disertai dengan tagihan berdasarkan kurikulum. Kegiatan 15 menit membaca teks yang disesuaikan dengan konteks target pembelajaran dalam mengintegrasikan literasi dalam pembelajaran ini untuk selanjutnya dibuatkan akronim TEKO, yaitu teks dan konteks. TEKO merupakan strategi alternative yang dirancang oleh penulis untuk mengintegrasikan literasi dalam pembelajaran yang bisa diterapkan untuk mengembangkan budaya GLS di sekolah.
Penerapan strategi TEKO untuk mengintegrasikan literasi dalam pembelajaran harus dimulai dengan pemahaman dua konsep penting, yaitu teks dan konteks. Pertama adalah teks. Menurut Beaugrande dan Dressler, teks mengacu pada suatu peristiwa komunikatif. Teks ditransmisikan melalui saluran atau media yang sesuai dan secara ideal akan memiliki fungsi yang memenuhi tujuan komunikatif tersebut. Selain itu, teks hanya dapat dipahami dan dianalisis lebih dalam dengan kerangka tindakan dalam situasi komunikatif tersebut. Sementara itu, Luxemburg menjelaskan kalau teks adalah ungkapan bahasa yang menurut isi, sintaksis dan pragmatik merupakan suatu kesatuan.
Dari kedua pengertian teks tersebut, dapat disimpulkan bahwa teks merupakan peristiwa komunikatif melalui saluran atau media yang sesuai dan secara ideal menurut isi, sintaksis, dan pragmatik. Kedua adalah pengertian konteks. Menurut KBBI, konteks adalah situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian. Dari pengertian teks dan konteks tersebut, dapat dipahami bahwa teks dan konteks dalam startegi TEKO merupakan peristiwa komunikatif melalui saluran atau media yang sesuai dan ideal menurut isi, sintaksis, dan pragmatik yang ada hubungan (berkaitan) dengan materi pembelajaran yang akan dilaksanakan.
Dengan demikian, untuk mengintegrasikan literasi dengan strategi TEKO dalam pembelajaran, guru harus menyiapkan dan mempertimbangkan teks sesuai dengan konteks pembelajaran yang akan diberikan. Perlakuan terhadap teks yang dihubungkan dengan konteks pembelajaran harus tercermin dalam langkah-langkah pembelajaran yang dibuat dalam RPP atau MA. Sebagai contoh penerapan strategi TEKO untuk mengintegrasikan literasi dalam pembelajaran IPA di tingkat SMP. Misalnya, pembelajaran pada Kompetensi Dasar (KD) Menerapkan konsep pengukuran berbagai besaran dengan menggunaan satuan standar (baku), dengan tujuan pembelajaran peserta didik mampu menentukan satuan ukur yang tepat, yang selanjutnya disebut sebagai konteks.
Dari konteks itu, maka guru IPA dapat menyiapkan dan mempertimbangkan teks yang sesuai untuk integrasi literasi dalam pembelajaran. Teks yang bisa dibuat atau disiapkan, misalnya seperti teks berikut.
JAKARTA, KOMPAS.com – Di usia senjanya, Darmo masih saja rutin berjalan kaki puluhan kilometer setiap hari untuk menawarkan jasa timbang berat badan dan tensi darah. Bapak enam anak ini mengaku sering dibujuk oleh anak-anaknya yang sudah dewasa untuk berhenti bekerja. Namun, ia menolak dengan dalih masih mampu berjalan kaki dan mencari nafkah. “Umur saya ada sepertinya 80 tahunan. Saya masih mau kerja, masih kuat jalan kaki,” ujarnya seperti dilansir TribunJakarta.com, Kamis (4/3/2021).
Darmo mengaku sudah menjalani profesi sebagai tukang ukur berat badan dan tensi sejak1992. Kini, ia memiliki banyak langganan yang setia menunggu kedatangannya setiap hari. Kawasan Industri Pulogebang, Kanal Banjir Timur (KBT), Kalimalang, dan Duren Sawit adalah kawasan yang ia jajal setiap hari untuk menawarkan jasanya. “Saya bilang juga sama anak kalau sudah ada langganan. Jadi benar-benar belum mau berhenti kerja,” imbuhnya.
Di usianya yang sudah tidak muda lagi, Darmo mengaku sudah tidak se-ngotot itu lagi dalam bekerja. Ia tidak akan memaksakan diri untuk berjalan di bawah panas terik ataupun hujan jika memang sudah Lelah berjalan.
Meski gigih dalam bekerja, Darmo ternyata tidak mematok harga untuk setiap pelanggannya. Mereka bebas membayar seikhlasnya. Tak jarang juga Darmo membiarkan sejumlah orang, terutama anak-anak, untuk menimbang berat badan secara gratis. “Ini seikhlasnya. Rezeki enggak akan tertukar. Kalau pun ada anak-anak yang mau coba gratis ya tidak apa-apa,” ungkapnya.
Dalam sehari, pria yang tinggal di kawasan Pulogebang ini bisa membawa uang minimal Rp 50 ribu usai bekerja dari pagi hingga menjelang magrib.
Dalam aplikasi TEKO untuk mengintegrasikan literasi dalam pembelajaran IPA (konteks) dengan teks di atas, guru harus memasukkan langkah-langkah literasi (memahami teks) di awal pembelajaran dalam RPP atau MA yang dibuatnya. Langkah-langkah itu dapat berupa penyediaan waktu 15 menit bagi siswa untuk membaca dan memahami teks tersebut sebelum pembelajaran inti dilaksanakan. Untuk mengukur pemahaman siswa terhadap teks yang dibacanya, dapat dipandu dengan beberapa pertanyaan berikut. (1) Siapa yang diceritakan dalam teks tersebut? (2) Apa pekerjaan tokoh yang diceritakan dalam teks tersebut? (3) Apa yang dilakukan oleh tokoh untuk menawarkan pekerjaanya kepada pelanggan?
Setelah langkah ini dilakukan dan setalah siswa mampu menjawab pertanyaan sesuai dengan teks, yaitu (1) Darmo, (2) Penyedia jasa timbang berat badan, dan (3) Berjalan kaki puluhan kilometer. Langkah selanjutnya adalah masuk ke pembelajaran inti dengan mengaitkan isi teks dengan materi (konteks) yang akan dipelajari, yaitu menerapkan konsep pengukuran berbagai besaran dengan penggunaan satuan standar (baku). Guru dapat mengaitkan materi (konteks) dengan teks yang sudah dibaca oleh siswa dari beberapa kata kunci yang ada dalam teks, misalnya berat badan dan kilometer. Dengan demikian, teks yang telah dibaca dan dipahami (literasi) oleh siswa dapat diintegrasikan dalam pembelajaran (konteks) IPA.
Demikianlah aplikasi TEKO (Teks dan Konteks) di kelas untuk mengintegrasikan literasi dalam pembelajaran. Harapannya adalah TEKO menjadi strategi alternatif untuk menjawab permasalahan pelaksanaan GLS yang masih rendah di tingkat sekolah. Sehingga, mengupayakan sekolah sebagai lingkungan akademis yang literat bisa terwujud dengan cara mengintegrasikan literasi dalam pembelajaran dengan strategi TEKO. Bagaimana? [T]