Bagaimana mendefinisikan getir? Bagaimana rasanya sepat? Rasanya seperti kulit jeruk, pahit agak pedas. Rasanya kelat seperti pinang, salak mentah, dan pisang mentah.
Tentu buah-buah dalam kondisi yang tidak ideal tersebut, juga beberapa bagiannya yang tak diinginkan, bukanlah sesuatu yang kita hendak cari terus menerus. Sekali saja dirasai, cukuplah ia, tak perlu diulang lagi. Namun, dengan kurang ajarnya rasa-rasa tersebut terus terbayang, bahkan dengan mudahnya terpanggil ketika ia cuma disebutkan dalam bentuk kata-kata.
Mungkin rasa seperti itulah yang umum tertinggal di kepala kita setelah menandaskan cerpen-cerpen Linda Christanty. Rasa yang aneh dan membuat tidak nyaman, rasa yang sebaiknya tak perlu dirasakan lagi. Akan tetapi, justru rasa itu pula lah yang membuatnya akan tetap ada di sana, terkenang dan tertinggal dengan janggal.
Oleh beberapa sumber, Linda kerap kali disebut sebagai seorang penutur kesedihan yang andal. Lewat cerpen-cerpennya, kesedihan seolah sehelai selimut yang tak sepenuhnya menutupi kaki-kaki kita pada pukul empat pagi. Selimut yang menghangatkan sekaligus memperbolehkan desir-desir dingin melewati pori-pori kulit. Menjadikan kita pada akhirnya terbiasa dengan dingin (atau hangat?) untuk kemudian membiarkan kita melanjutkan tidur. Membaca cerpen-cerpen Linda adalah upaya mengeja kesedihan yang hadir tidak secara megah, mengagetkan, atau membuat sedu sedan. Ia tersampaikan dengan pelan, sedikit demi sedikit, hingga kita tak sadar, justru kita lah yang telah diliputi oleh kesedihan itu.
Bagaimanapun derajat, lapis, dan dimensinya, kesedihan tetaplah kesedihan. Ia terasa nyata kehadirannya pada tiga cerpen Linda, “Kesedihan” (Koran Tempo, 2010), “Perpisahan” (Kompas, 2011), dan “Pengelana Laut” (Kompas, 2020). Tiga cerpen ini dibincangkan dalam Seri Membincang Jalan Ninja – Semenjana #4 Lingkar Studi Sastra Denpasar pada 24 Juni 2022 lalu. Sesi ini dilalui bersama kawan-kawan yang belum pernah membaca karya Linda sebelumnya, juga mereka yang merupakan penggemar beratnya.
Kesedihan itu menyesakkan, lalu menembus yang kapiler
Penyair Avianti Armand pernah menulis resensi untuk buku kumpulan cerpen Linda yang menjadi Pemenang Kategori Fiksi Khatulistiwa Literary Awards 2010, Rahasia Selma (2010). Katanya, di balik cerpen-cerpen Linda, “…ada sesuatu yang meresahkan dan mendesak-desak… Sesuatu yang belum selesai dan tak bisa kita pahami seutuhnya…” Pendapat Avianti sangat tepat, karena kerap saya seolah ditinggalkan begitu saja dengan pertanyaan dan perasaan aneh selepas menandaskan cerpen-cerpen penulis kelahiran Bangka ini.
Cerpen “Kesedihan”, misalnya. Kisah yang ditampilkan dalam cerpen ini sebenarnya sederhana saja. Berkisah tentang sepasang (mantan) kekasih yang masih berbagi kediaman, ketika sang lelaki telah memiliki seorang baru yang hadir di kehidupannya, tersisip di antara keduanya. Akan tetapi, yang membuatnya membingungkan adalah karena keduanya memahami bahwa mereka sama-sama belum tuntas dengan perasaan masing-masing, sekaligus menyadari bahwa semuanya sudah usai.
“Hubungan menahun membuat jemu, tapi tidak semua orang berani berpisah dengan alasan itu. Anehnya, kita juga merasa ada ikatan yang lebih dalam dari apa yang tampak. Kita akan selalu seperti ini, bersama-sama, katamu. Selamanya? Ya, selamanya. Kamu menatapku, berkaca-kaca.”
Sang perempuan–si “Aku”–sepanjang cerita menunjukkan betapa berbeda dirinya dengan sang perempuan baru. Begitu pula perbedaan rutinitas yang dialami oleh tokoh laki-laki saat ini, dibandingkan dengan waktu-waktu bersamanya dulu. Kesedihan itu menguar pelan dari sebuah perpisahan yang terjadi tanpa harus berjarak waktu, tempat, atau kematian. Sebuah perpisahan yang janggal—belum tuntas bahkan hingga titik ketika cerita telah berakhir. Hal tersebut tampak dalam kutipan berikut:
“Di dapur terdengar seseorang mencuci piring-piring. Air kran kembali mengucur, deras. Kita tetap berpelukan dan tidak pernah merasa sesedih ini.
Dalam cerpen “Perpisahan”, hal serupa pun kembali terlihat. Bagaimana si Aku terus mengulur waktu, membiarkan Hans terus menerus mengoceh tentang kepergian sang Ibu, seperti yang tampak dalam kutipan berikut:
”Ibu saya meninggal dengan berani.” Kali ini kamu berseru sambil mengamati permukaan sungai yang mulai bergetar. Bayangan hijau kita masih di situ.
Tuturan-tuturan panjang yang seolah tak berhenti, dan sengaja untuk terus diulur hanya agar pembaca mendapati fakta bahwa Aku sesungguhnya akan segera menyusul Ibunda Hans.
“Aku merengkuh pundakmu, mengajakmu terus melangkah, tiada berkata-kata. Kamu tertawa. Rasanya enak berjalan seperti ini. ‘Sudah lama, ya, kita tidak berjalan seperti ini.’ Kamu memelukku.
Atau kukatakan saja sekarang? Tapi aku malah bercerita tentang kematian Ayahku. Setelah dia meninggal, aku pulang ke rumah sebentar untuk menengok ibuku…”
Kesedihan yang tergambarkan di bagian akhir cerpen seolah tampil untuk menegaskan kesedihan yang sejak awal sudah menjalar. Jalaran itu terjadi dalam bentuk rekoleksi memori dari masing-masing tokoh. Ia tertampak pada lanturan-lanturan yang seolah tak kunjung selesai, layaknya kita mendengarkan orang tua bercerita.
“Udara benar-benar dingin. Patung beruang di muka satu galeri itu tampak begitu tua.
Hans, kita tidak akan bertemu lagi tahun depan atau bahkan sebelum tahun itu tiba. Setelah meninggalkan Berlin, aku akan menulis surat terakhir untukmu: tentang sel-sel penyakit yang berkembang dan menjalar dalam kesenyapan, dan hari-hari yang tidak akan kita miliki lagi di mana pun.”
Cerpen “Pengelana Laut” pun seperti sama halnya. Membacanya seperti membaca buku harian seorang anak yang ditinggal mati ayahnya dan ragam upaya sekaligus latar lainnya yang mengitari kematian tersebut. Kesedihan tembus melewati kapiler-kapiler tak kasat mata, hanya untuk meninggalkan kesepatan yang aneh di akhir cerita. Bagaimana sang Ayah mati, lalu untuk apa kenang-kenangan tersebut, dibiarkan saja.
“Besok, ia akan berangkat ke bandara untuk terbang pulang. Namun, ia akan terus menyusuri jejak ayahnya, merasakan suasana ataupun keadaan di tempat-tempat yang pernah atau mungkin dikunjungi lelaki itu, membayangkan pengalaman-pengalamannya, yang mengubah hidup mereka.”
Ketiga cerpen ini menunjukkan kecenderungan Linda yang gemar untuk bercerita dengan cara yang “tidak selesai” dan karenanya menghasilkan after taste yang janggal. Ia juga gemar menulis dengan melantur, mengalir, mengeluarkan apa-apa yang ada di kepala sang tokoh begitu saja. Seolah apa yang dikisahkan tidaklah penting, tetapi bagaimana cara ia menuturkan kisah itulah yang lebih penting. Selain itu, terlihat pula adanya upaya untuk menambahkan pengetahuan-pengetahuan atas sesuatu di dalam cerpennya. Bisa jadi pengetahuan yang umum, pengetahuan yang kerap kali membuat pembacanya merasa, “Oh jadi begitu…”
Realitas yang Politis
Membaca cerpen-cerpen Linda, kita dihadapkan pada kepingan-kepingan realitas manusia yang bisa jadi begitu dekat atau bahkan begitu jauh sebab kita kerap tak sadar akan kehadirannya. Ia menulis dengan kalimat pendek yang lugas, tetapi beberapa diksi yang sederhana juga mampu ia rangkai hingga terlihat dan terdengar puitik. Pengalamannya sebagai jurnalis memberinya andil di sini, tetapi mungkin pula karena pengaruh bacaan yang telah ia lahap sejak kecil semisal Victor Hugo, John Steinbeck, Karl May, yang karya-karya realisnya Linda tekuni dan kagumi.
Profesinya sebagai jurnalis juga mempengaruhi ide dan topik yang hendak ia sampaikan melalui cerpen. Dalam sebuah laporan khusus BBC (2013) yang membahas tentang proses kreatif penulisannya, Linda mengakui hal tersebut dengan gamblang. Ia menyebut ketika ia tidak mendapatkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk sebuah laporan jurnalistik, maka bahan-bahan tersebut dituangkannya menjadi fiksi, atau bagian darinya meskipun tidak utuh.
Keterlibatannya dalam kelompok-kelompok progresif membuat cerpen-cerpen Linda juga melek akan isu kemanusiaan dan ketidakadilan. Beberapa cerpennya bisa dengan sangat gamblang mengisahkan hal ini, misalnya “Pesta Terakhir” (2002) yang tampil dalam kumcer Kuda Terbang Maria Pinto (2004) yang memenangkan Kategori Fiksi Khatulistiwa Literary Awards 2004. Atau “ Seekor Anjing Mati di Bala Murghab” (2010) dalam kumcer dengan tajuk sama yang membawa Linda sebagai peraih Southeast Asian Writers Award pada 2013. Akan tetapi, ketika tak secara persis memperlihatkan posisinya terhadap suatu topik, cerpen-cerpen Linda pun tetap memiliki nuansa politik.
Misalnya dalam “Kesedihan”, kita bisa melihat stereotip perempuan Asia dan lelaki kulit putih. Atau dalam “Pengelana Laut”, mereka yang bergiat untuk kemaslahatan lingkungan sangat mungkin kalah diinjak para oligark dan perkara nasionalisme. Potret keluarga dalam “Perpisahan” menunjukkan bagaimana keluarga batih beroperasi dalam kehidupan sehari-hari (dan lagi, mengapa ia memilih menggunakan kematian Rosa Luxemburg, seorang sosialis Jerman, untuk membuka cerpen ini?).
Bagi Linda, semakin canggih seseorang menulis, maka semakin halus ia mampu menyampaikan suatu pesan. Semua karya mengandung “pesan politik” penulisnya, setipis apapun itu. Sesederhana membicarakan tentang keluarga, bahkan ruang privat antara satu hingga dua orang, mereka adalah unit-unit terkecil yang mencerminkan politik yang sedang berlangsung di suatu negara.
Linda Christanty begitu lihai menumpuk lapis-lapis narasi atas konstruksi sosial dalam tiap ceritanya, kerap kali membuat pembacanya tak sadar bahwa: ada suatu hal besar yang laten di dalamnya; dan getir dan sepat itu sudah terlebih dahulu terkecap dalam kepala. Mungkin memang inilah rasa ketidakadilan dalam hidup, dan Linda memastikan rasa tersebut terejawantahkan dalam cerita-cerita yang ia tulis. Membuatnya tertinggal dengan janggal di kepala, senantiasa. Sebab sesungguhnya Linda memang tak pernah berniat untuk menulis cerita-cerita sedih, tetapi memang itulah yang terjadi hampir setiap hidup dari kita. [T]
Penulis: Oktaria Asmarani