Jika pariwisata Nusa Penida adalah artis, maka ia termasuk pendatang baru di Bali. Akan tetapi, ia cepat ngehits dan merebut panggung internasional. Lalu, apa sih daya tarik yang dimiliki oleh Pulau Ki Dukuh Jumpungan ini? “Satu paket alam bahari”. Mirip dengan wilayah kepulauan lainnya, NP memiliki objek wisata seputar pantai, tebing dekat laut, panorama bawah laut dan spot laut yang eksotis dan instragramable.
Objek wisata (alam) bahari inilah yang dijadikan andalan pariwisata NP. Bahkan, menjadi tumpuan satu-satunya dalam menjaga eksistensi pariwisata NP di mata nasional dan internasional. Tentu rasa optimisme ini patut diapresiasi dan dikawal—sambil menggali potensi wisata lain agar lebih variatif.
Maksudnya, jangan sampai “satu paket alam bahari” ini menjadi zona nyaman, tetapi justru kelak mengundang kejenuhan kepada turis. Karena itu, perlulah berjaga-jaga atau merancang wisata alternatif di NP supaya tidak melulu soal objek bahari saja.
Lalu, wisata apa lagi yang pantas dikembangkan di NP selain wisata bahari? Dalam konteks inilah penting kita melihat potensi diri dari kepulauan NP. Tentu bukan sekadar potensi diri yang bersifat kaleng-kalengan. Namun, potensi yang layak diberdayakan (dikemas) menjadi paket wisata bagi turis nasional/ internasional. Misalnya, wisata arkeologi atau wisata sejarah.
Eits… Memangnya NP punya jejak historis apa untuk dikemas dalam menu wisata arkeologi? Kebanyakan orang pasti pesimislah. Namun, jika membaca hasil penelitian Ni Komang Ayu Astiti (dari Pusat Arkeologi Nasional) tentang Sumberdaya Arkeologi di Pulau Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali, yang dimuat di Forum Arkeologi Volume 25 No. 1 April 2012 (31-48)—ternyata Pulau NP memiliki sumberdaya arkeologi yang layak dikembangkan untuk berbagai kepentingan.
Tinggalan Arkeologi di Pulau Nusa Penida
Dari hasil survei yang dilakukan Astiti di Pulau NP, ditemukan sejumlah tinggalan arkeologi berupa goa-goa alam sebagai indikasi tempat hunian, pura-pura kuno dengan arca-arca dari masa klasik, bunker-bunker Jepang dan tinggalan dari pemerintah Belanda berupa dam penampungan air.
Dalam pembahasannya, Astiti menyebutkan bahwa Pulau NP termasuk dalam kawasan karst yang memiliki kecenderungan terbentuknya goa-goa alam. Goa-goa ini diperkirakan dijadikan tempat hunian pada zaman prasejarah. Kriteria kasar yang dijadikan patokan awal adalah goa tersebut memiliki sirkulasi udara, intensitas cahaya yang cukup, kelembaban tinggi, dan ada ruang cukup untuk beraktivitas. Untuk lebih memastikannya, harus diperkuat dengan temuan tinggalan arkeologi di halaman maupun di lantai goa tersebut.
Dari beberapa goa alam yang ada di Pulau NP, baru Goa Gede yang sudah mengalami penelitian secara intensif dengan teknik ekskavasi. Hasil beberapa penelitian menyimpulkan bahwa goa ini telah dijadikan tempat hunian pada masa prasejarah. Sementara, pada goa-goa yang lainnya hanya sebagian ditemukan artefak berupa alat-alat batu, perhiasan, fragmen tembikar, fragmen tulang dan sisa cangkang kerang. Temuan artefak ini mengindikasikan bahwa goa-goa ini juga pernah dimanfatkan sebagai tempat hunian zaman prasejarah.
Berikut adalah temuan beberapa goa alam yang tersebar di Pulau NP (Astiti, 2012:8). Pertama, Goa Giri Putri yang terletak di Dusun Karangsari, Desa Suana. Berada di ketinggian 50 m dpl. Panjang bagian dalam goa sekitar 262 m, lebar 10-20 m, dan tinggi kurang lebih 10 m.
Kedua, Goa Pawon (48 m dpl) yang berlokasi di Banjar Karangsari, Desa Suana. Goa Pawon ini terbagi menjadi 2 bagian yaitu hunian dan pemujaan. Mulut goa hunian memiliki lebar 16 m, tinggi 4 m, dan panjang sekitar 18 m. Bagian dalamnya berukuran sekitar 20 m dan ketinggian langit-langitnya mencapai sekitar 15 m.
Ketiga, Goa Gede di ketinggian 180 m dpl. Berlokasi di Banjar Ambengan, Dusun Pendem, Desa Pejukutan. Lebar pintu goa 16 m, tinggi 5 m, lebar bagian dalam 10-20 m, dan panjang sekitar 50 m.
Keempat, Goa Song Puteri dan Song Lanang (191 m dpl) berada di Dusun Punduk Kahe Kaja, Desa Bunga Mekar. Lebar mulut Goa Song Puteri 9,30 m, tinggi 2,60 m, panjang bagian dalam 17 m, dan tinggi 4,5 m. Sedangkan, Goa Song Lanang berukuran 4 m, tinggi 1,6 m dan panjang seluruhnya sekitar 50,5 m.
Kelima, Goa Petung (256 m dpl) terletak di Dusun Pejukutan, Desa Pejukutan. Panjang goa ini mencapai 20 m, lebar 8 m, dan tingi langit-langit sekitar 10 m. Keenam, Goa Munduk Kau yang berlokasi di Dusun Suana, Desa Suana. Lebar mulut goa mencapai 12 m, tinggi 7 m, dan panjang bagian dalam 8 m dengan bentuk mengerucut ke arah dalam.
Ketujuh, Goa Menarik di Dusun Celagilandan, Desa Suana. Lebar mulut goa mencapai 3 m, tinggi 2,5 m, dan dalam 9,9 m. Panjang bagian dalam mencapai 6,5 m dan tinggi 4,0 m. Kedelapan, Goa Mejajar dengan ukuran panjang bagian dalam 45,0 m, lebar 9,80 m dan tinggi 1,50 m. Kesembilan, Goa Taman Sari di sebuah bukit dengan orientasi mulut ke arah 50°. Lubang pintu goa berukuran tinggi 70 m dan lebar 1,10 m.
Kesepuluh, Goa Bale di Dusun Baledan, Desa Klumpu. Ukuran pintu masuk realtif luas. Pada permukaannya, terdapat lubang bulat dengan diameter 18 cm dan dalam 23 cm. Kesebelas, Goa Tukad Tuduh yang terdiri atas beberapa ruang. Dari ruang utama menuju ke bagian dalam terdapat 4 buah ruang dengan ukuran bervariasi yaitu lebar antara 4-7 m, panjang 3-11 m, dan tinggi dinding 1,30-3,0 m.
Selain goa-goa alam, Pulau NP juga memiliki tinggalan arkeologi masa klasik yang umumnya disimpan di area pura-pura. Kebanyakan berupa arca-arca (Astiti, 2012:10). Misalnya, di Pura Penataran Agung Ped (dulu bernama Pura Dalem Nusa) ditemukan arca Ratu Gede Mecaling di Pura Dalem Ped dan arca Ratu Mas di Pelebaan Ratu Mas.
Tinggalan arkeologi lainnya yakni dua buah arca sebagai perwujudan bhatara-bhatari yang terbuat dari batu padas atau tufa pasiran, disimpan di Pelinggih Gedong Penyimpenan, di Pura Mastulan. Pun ditemukan 2 buah umpak batu yang dimanfaatkan sebagai sakanem.
Pada puncak tertinggi di Pulau NP, ada Pura Puncak Mundi. Di pura ini dijumpai sisa bangunan padmasana tetapi mempunyai pelipit dan empat tiang yang berbeda dengan padmasana pada umumnya. Pura Puncak Mundi juga memiliki beberapa arca, yang disimpan dalam Gedong Pejenengan. Sebagian arca dalam bentuk fragmen.
Satu kompleks dengan Pura Puncak Mundi, ada Pura Dalem Kerangkeng. Pura ini diperuntukkan bagi para atma untuk menerima hukuman kerangkeng besi. Di dalam pura, ada goa kecil (goa kerangkeng), sebagai tempat memenjarakan para atma. Pun dijumpai meja pengadilan untuk mengadili para atma.
Selanjutnya, Pura Dalem Dukut. Di halaman mandala pura, terdapat padmasana setinggi 2,96 m, yang terbuat dari batu gamping, hiasan tubuh padma berupa kala (boma) dan garuda. Di dekat padma, ada bangunan sanggar tawang dan arca kecil 47 cm.
Di Pura Paibon Ibu juga ditemukan padmasana dengan tinggi 2,63 m, bagian atasnya dihiasi oleh arca naga. Antara tepasana dan badan padmasana diberi hiasan relief kala dengan wajah krodha dan hiasan relief kepala burung garuda.
Unsur paling kuno dijumpai di Pura Puseh Saab. Di dalam utama mandala, terdapat bale sakanem dan Pelinggih Sanghyang Gana Pati. Di pura ini juga dijumpai arca-arca perwujudan dan arca ganesha. Arca-arca perwujudan bhatara-bhatari ditemukan sebanyak 13 buah utuh dan 18 buah fragmen yang bagiannya (badan, kepala, hiasan) sudah aus sehingga sulit untuk diidentifikasi.
Dua arca perwujudan dengan sikap kaki bersila dapat kita temukan di Pura Batu Medahu. Sementara, dolmen berbentuk persegi empat tidak beraturan berada di Pura Puseh Maos. Dolmen ini berukuran panjang 110 cm, lebar 97 cm dan tinggi mencapai 34 cm. Dolmen difungsikan sebagai tempat penyembelihan korban untuk upacara keagamaan. Di kompleks pura juga ditemukan menhir dan 7 buah arca dari batu gamping terumbu. Menhir dimanfaatkan sebagai tempat pemujaan memohon kesuburan (memohon hujan saat kemarau panjang).
Wah, banyak juga, ya, temuan tinggalan arkeologi masa klasik. Lalu, bagaimana dengan tinggalan masa kolonial? Jejaknya dapat dilihat dari kolam penampungan air, berbentuk bundar, terbuat dari batu gamping yang diberi lepa. Tebal tembok dinding 30 cm, dalam sekitar 4,15 cm dan luas 625 m (tetapi disebutkan lokasinya oleh Astiti).
Jejak kolonial juga membekas pada 5 buah Goa Jepang yang ditemukan di Dusun Angkal, Desa Suana. Goa ini terletak di dua kaki bukit dengan morfologi dataran rendah dekat pantai. Goa dibuat dari hasil melubangi kaki bukit, kemudian dibentuk dan dirapikan dengan cara diplester semen dan batu gamping.
Masih di sekitar kompleks Goa jepang, juga ditemukan 3 buah Bunker Jepang. Bunker-bunker ini dibangun pada sebuah kaki bukit yang menghadap ke pantai. Bentuk bangunan persegi empat dengan atap dasar yang dibuat dengan teknik cor bertulang dari bahan batu split (kerikil), kapur dan batu gamping. Mulut bunker menghadap ke laut lepas—Selat Lombok.
Mengemas Sumberdaya Arkeologi NP
Dari paparan sebelumnya, NP memiliki sumberdaya arkeologi yang cukup memadai untuk dikembangkan menjadi objek wisata arkeologi. Goa-goa alam yang dekat dengan zaman prasejarah, tinggalan arkeologi masa klasik ketika di bawah pengaruh kerajaan Klungkung dan tinggalan zaman kolonial.
Tinggal bagaimana mengelola situs-situs tersebut. Menurut Kepala Balai Arkeologi Jayapura, Drs. M. Irfan Mahmud, M.Si, dalam setiap pengelolaan sebuah situs arkeologi, harus dibuatkan perencanaan tiga zona di sekitar tempat tersebut yaitu (1) zona inti—tempat ditemukannya bukti-bukti arkeologis, (2) zona pendukung—untuk menjaga agar situs tetap dalam kondisi baik (misalnya pemagaran), dan (3) zona pengembangan—pembangunan fasilitas umum yang berguna bagi masyarakat yang berkunjung. (https://sains.kompas.com/read/2009/05/14/01403941/~Oase~Muasal?page=all#page2).
Bagi Pulau NP, ragam tinggalan arkeologi yang ditemukan menjadi modal, lho. Modal untuk bersolek (dikelola) ala wisata arkeologi. Tentu saja, bersolek sangat dekat hubungannya dengan biaya atau anggaran. Tanpa modal (anggaran), apa yang dijelaskan oleh Irfan tentu tidak akan jalan. Besar kemungkinan, tinggalan-tinggalan arkeologi tersebut menjadi kurang bernilai. Tidak bisa dikonsumsi oleh khalayak umum, tetapi hanya dikonsumsi oleh kalangan para arkeolog saja.
Padahal, wisata arkeologi merupakan wisata sejarah, yang berperan penting dalam mengangkat derajat nilai historis lokal NP di mata internasional. Ketika dikemas untuk kepentingan pariwisata, ia tidak hanya bernilai historis dan kultural tetapi juga bernilai ekonomis.
Di samping untuk kepentingan pariwisata, pengembangan wisata arkeologi di NP juga urgen bagi kepentingan dunia pendidikan (edukasi). Sepengetahuan saya, Pulau NP belum memiliki referensi historis khususnya yang bersifat lokalan. Selama ini, para pelajar NP hanya mengenal sejarah luar diri lewat teks (buku), internet dan lain sebagainya.
Di NP belum ada museum yang dijadikan sumber histori lokal oleh para pelajar. Dengan adanya pengembangan sumberdaya arkeologi di NP—tentu akan menjadi alternatif wisata edukasi bagi kalangan dunia pendidikan. Sumberdaya arkeologi NP akan memberikan tinggalan konkret sejarah kepada guru atau pelajar.
Mengajak siswa melihat, mengamati dan merasakan aura histori di objek wisata menjadikan pembelajaran sejarah tidak hanya real—tetapi menarik dan bermakna—dibandingkan membahas materi sejarah yang abstrak di buku pelajaran.
Artinya, wisata arkeologi di NP bukan hanya menyasar kepada wisatawan (pariwisata), melainkan kepada kalangan pelajar (edukasi). Jadi, wisata arkeologi akan ditunggu kehadirannya di NP tidak hanya bagi kalangan wisatawan tetapi kalangan pelajar.
Namun, persoalan klasik ialah kembali soal biaya pengembangan. Pengembangan wisata arkeologi, tentu tidak hanya mengandalkan pihak pemerintah saja. Masyarakat lokal juga memiliki peran besar dalam mengembangkan wisata ini. Pasalnya, mereka lebih memahami karakteristik objek wisata secara lebih detail. Pengembangan yang ideal mungkin baiknya melibatkan sinergi (kolaborasi) antara pihak pemerintah, swasta dan masyarakat lokal.
Begitu juga penggarapannya. Lebih baik mungkin dibuatkan skala prioritas. Tinggalan arkeologi yang mana lebih diutamakan untuk dikelola dan dikembangkan menjadi objek wisata. Objek utama inilah difokuskan penggarapannya. Setidaknya, dimulai dari zona inti, zona pendukung dan zona pengembangan.
Ketiga zona tersebut berakar pada anggaran, terutama pada fase zona pengembangan. Setidak-tidaknya dimulai dari pengadaan akses jalan menuju lokasi objek, pengadaan fasilitas umum untuk turis, penataan lokasi dan lain sebagainya.
Di samping pengembangan fisik, unsur yang sangat penting dari wisata arkeologi ialah soal narasi. Narasi yang baik akan menjadi salah satu kunci “ketertarikan” bagi para turis terhadap objek wisata sejarah. Hubungan dua unsur ini (narasi dan sejarah) dikemukaan oleh Achmad Sunjayadi, dalam penelitiannya yang berjudul “Pariwisata Sejarah Untuk Generasi Milenial dan Generasi Z 2020”.
Dosen sejarah UI ini mengemukakan bahwa sebuah benda biasa yang digunakan sehari-hari akan menjadi istimewa jika kita mengetahui cerita atau latar belakang benda tersebut. Karena itu, sebuah benda yang memiliki kisah dapat dimanfaatkan dengan cara dinarasikan apalagi jika benda tersebut memiliki atau berkaitan dengan sejarah (https://www.researchgate.net/publication/338540558_Pariwisata_Sejarah_Untuk_Generasi_Milenial_dan_Generasi_Z).
Bagi saya, wisata arkeologi tanpa dukungan narasi yang baik, kurang meninggalkan kesan yang komprehensif kepada turis. Wisata arkeologi akan menjadi hambar. Bobot nilai dan makna situs-situs seolah-olah menjadi mati (berkurang). Jika demikian, maka kunjungan menjadi “sunyi”, “dingin” dan “beku”.
Dalam konteks inilah pentingnya kemahiran komunikasi. Bagaimana cara membuat narasi yang memikat turis terutama untuk kaum milenial dan generasi Z. Jangan sampai situs-situs arkeologi (sejarah) menjadi objek yang membosankan karena “kekeringan narasi”.
Karena itu, penting adanya komunitas pencinta sejarah (dari masyarakat lokal misalnya) dan pihak pemerintah untuk menciptakan narasi-narasi apik dan memikat tentang situs sejarah. Materi narasi dapat dikembangkan dari mitos-mitos atau cerita-cerita lokal yang terkait dengan situs tertentu. Dapat pula dari meresearch dan atau membaca hasil research dari para pakar yang berkaitan dengan situs tertentu.
Setelah mendapatkan materi yang cukup, tinggal menyusun narasinya secara sistematis, menarik, lalu disesuaikan dengan karakteristik (kebahasaan) turis. [T]