Wahyudi Anggoro Hadi, kepala desa (rasa menteri) kelurahan Panggungharjo, pernah mengatakan bahwa setidaknya ada tiga peta desa mandiri. Pertama, masyarakat; kedua, pemimpin; dan ketiga, birokrasi desa. Khusus untuk pemimpin (kepala desa/lurah/perbekel), harus memiliki lima aspek dasar: regulatif, ekstraktif, distributif, responsif, dan jaringan. Tiga peta dasar dan lima aspek dasar pemimpin desa inilah, menurutnya dapat menjadikan desa itu mandiri.
Dalam hal program yang sifatnya teknis, untuk menjadi desa mandiri, salah satu jalan yang banyak ditempuh desa-desa di Indonesia adalah; desa wisata. Pada tahun 1993, dalam makalahnya Concept, Perspective and Challenges, Wiendu Nuryanti mengartikan desa wisata sebagai desa yang dijadikan tempat wisata karena daya tarik yang dimilikinya. Desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung. Desa wisata disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku.
Pada Kamis, 26 Mei 2022, Tatkala May May May yang diselenggarakan media tatkala.co, menghadirkan tiga narasumber untuk berbicara mengenai “Belajar Penulisan dan Diskusi Desa Wisata”. Mereka adalah Agus Muriawan Putra, S.STPar., M.Par., dan Dr. I Made Sarjana, keduanya sama-sama penulis dan peneliti Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana, Bali, serta Oktiva Askara Sukma Dody, Kadis Pariwisata Buleleng. Diskusi yang berlangsung selama dua jam lebih ini dipandu oleh seorang jurnalis perempuan, Dian Suryantini.
Foto: Peserta diskusi dan belajar penulisan desa wisata
Sukma Dody, selaku pemimpin pariwisata Buleleng, mendapat kesempatan untuk menyampaikan penjelasannya mengenai desa wisata. Menurut Dody, salah satu program unggulan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mulai tahun 2021 adalah program desa wisata. Hal ini, katanya, berasal dari pencermatan situasi yang terjadi di masa pandemi Covid-19 yang mengakibatkan adanya pembatasan sosial di dalam dan luar negeri.
Adanya pandemi Covid-19, di seluruh dunia menghadapi hal yang sama, masyarakat tertekan dan terbatasi dengan aturan-aturan protokol kesehatan, dari Work From Home, PPKM, dll., yang memaksa mereka mengurangi aktifitasnya, membuat energi mereka berlebih, sehingga banyak bermunculan komunitas olah raga untuk mendapatkan imun dan sosialisasi di antara mereka. Biasanya mereka berkeinginan untuk berwisata yang bersifat outdoor, ini merupakan peluang untuk desa wisata.
“Kemudian, dalam situasi pendemi Covid-19, tentu hubungan antar negara dibatasi, dan sektor pariwisata, khususnya di Bali, sangat terpukul dengan situasi seperti itu. Namun, pada tahun 2021, di dalam kepariwisataan kita, khususnya di Pulau Jawa dengan jumlah penduduk terbesar, daerah-daerah di Jawa yang memiliki tempat pariwisata, mendapat kunjungan domestik yang sangat tinggi,” tutur Pak Kadis.
Menurutnya, atas dasar itulah, Kemenparekraf menggalakkan program desa wisata dengan tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan rakyat, menghapus kemiskinan, mengatasi pengangguran, melestarikan alam, lingkungan dan sumber daya, serta memajukan kebudayaan.
Pak Kadis juga mengungkapkan bahwa Kabupaten Buleleng patut bersyukur karena Desa Sudaji telah masuk 50 besar quality tourism yang akan diberikan penilaian dari Kemenparekraf tanggal 13 Juni mendatang. “Kita patut berbangga karena di Sudaji sudah ada pemaketan wisata tentang wellness tourism itu. Bagaimana di sana ada forest healing, yoga treatment, dan ada banyak hal lagi yang ditawarkan.”
Ia percaya bahwa dengan adanya program desa wisata maka akan mempercepat pertumbuhan perekonomian di desa. “Karena prinsipnya adalah community. Pemberdayaan masyarakat. Jadi masyarakat ikut terlibat langsung di dalamnya,” katanya. Hal ini, lanjutnya, berbeda dengan miss tourism seperti di Kuta; di Sanur. Program desa wisata ini disebutnya sebagai program kerakyataan.
Di Buleleng sendiri, berdasarkan Renstra Bupati Tahun 2017, ada 31 desa wisata. Kemudian pada pertengahan tahun 2021, Kemenparekraf mengeluarkan buku pedoman desa wisata. Dan ternyata, di dalam buku pedoman desa wisata tersebut, ada empat klasifikasi desa wisata: desa wisata rintisan, berkembang, maju, dan mandiri. Standar yang dijadikan acuan adalah Asean Community Based Tourism Standard yang meliputi kepemilikan dan manajemen; kontribusi terhadap kesejahteraan sosial; konservasi dan pengembangan lingkungan; mendorong interaksi komunitas lokal dan tamu; kualitas pelayanan pemanduan wisata; kualitas pelayanan makanan dan minuman; kualitas akomodasi; dan kinerja pemandu wisata.
Community Based Tourism merupakan pariwisata yang dimiliki dan dikelola oleh masyarakat, untuk melindungi nilai-nilai sosial budaya, warisan alam dan budaya, yang dikoordinasikan di tingkat komunitas guna mendukung keberlanjutan kehidupan masyarakat.
Di Buleleng, yang termasuk klasifikasi desa mandiri adalah Desa Pemuteran. Sedangkan di Bali ada dua, Pemuteran dan Penglipuran.
“Pada 11 Maret 2022, Pemerintah Kabupaten Buleleng dari segi kuantitas menetapkan 75 desa wisata,” ujar Sukma.
Lebih lanjut, kata Sukma, untuk mendorong desa wisata, pemerintah pusat mengeluarkan aplikasi bernama JADESTA (Jaringan Desa Wisata). “75 desa wisata itu kami dorong masuk JADESTA. Di sana lah mereka baru belajar bagaimana menulis narasi desa wisata (dari desa-desa lain yang tergabung dalam jaringan desa wisata). Dari mulai membuat foto yang bagus, sampai video promosi desa.”
Sementara itu, Agus Muriawan menyampaikan bagaimana konsep narasi desa wisata supaya menarik. Namun, sebelum menjelaskan konsepnya, terlebih dahulu ia mengutarakan anggapan bahwa dalam perkembangannya, problem desa setelah menjadi desa wisata adalah tidak bergerak. “Seperti misalnya di Tabanan ada 25 desa wisata, tetapi perkembangannya tidak signifikan. Dari 25 itu, mungkin empat sampai lima saja yang berkembang,” kata akademisi Unud itu.
Menurut Agus, narasi desa wisata tidak bertujuan untuk menarik wisatawan berkunjung ke desa saja, tetapi juga mengarah pada konsep ATB-SIRNA: aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, kenangan. Agus percaya, kalau desa wisata sudah masuk dalam tujuh ranah ini, wisatawan yang mengunjunginya akan memiliki rasa.
Lebih lanjut, ia menyebut salah satu kunci dalam mengembangkan desa wisata, yaitu: komitmen masyarakat itu sendiri. Dan sebelum mendirikan desa wisata, yang harus dilakukan adalah membicarakan profit sharing bersama masyarakat setempat.
Pengembangan desa wisata harus direncanakan secara hati-hati agar dampak yang timbul dapat dikontrol. Pada 1981, dalam penelitian Tourism Development Plan for Nusa Tenggara, Indonesia, UNDP/WTO bersama beberapa konsultan Indonesia, dicapai dua pendekatan dalam menyusun rangka kerja/konsep kerja dari pengembangan sebuah desa menjadi desa wisata, yakni pendekatan pasar dan pendekatan fisik.
Selanjutnya, secara tidak langsung, Agus berpendapat bahwa mengemas dan menarasikan desa wisata adalah soal managemen. “Bagaimana mungkin orang datang ke desa kalau tidak dikemas dan dinarasikan?” tanyanya. “Kenapa orang Eropa sampai datang ke Munduk, ya karena dinarasikan, ditulis. Yang ditulis apa? Yang terkait dengan gambaran umum desa, contact person, berapa biaya yang bisa dibayarkan, apa saja yang didapatkan, itu kan dinarasikan. Inilah keterampilan-keterampilan menulis yang perlu dikembangkan.”
Untuk menarasikan desa wisata, menurut Agus, hal pertama yang harus dipersiapkan adalah data. “Tetapi yang lebih penting adalah bagaimana rasa ini mengolah data itu.”
Sebagai pembicara terakhir, I Made Sarjana, yang juga seorang mantan wartawan, menyampaikan hasil penelitiannya tentang kekuatan dan kelemahan desa wisata. “Desa wisata itu secara potensi dia kuat; tapi dipengelolaan dan pemasaran dia lemah, masih memiliki banyak hambatan. Karena identifikasi produknya belum jelas, unique selling point-nya juga belum dimunculkan masing-masing.”
Dalam menarasikan atau menuliskan desa wisata, Sarjana berpendapat bahwa satu hal yang harus ditekankan adalah keunikan masing-masing desa wisata. Selain itu, secara gaya bahasa, penulisan desa wisata juga harus menarik dan membuat penasaran.
Kata Sarjana, dalam membangun desa wisata, hal penting selanjutnya yang harus dipikirkan pemerintah adalah persepsi masyarakat atau kesadaran atas desa wisata itu sendiri. Sejauh pengamatan Sarjana, masyarakat masih beranggapan bahwa yang bisa membangun tempat pariwisata adalah mereka yang punya jaringan; punya uang, bisa Bahasa Inggris, dan sebagainya. “Menurut petani itu dunia yang berbeda. Masyarakat lokal perlu dirangkul. Kalau tidak orang tuanya ya pemudanya.”
Yang lebih miris daripada itu adalah sedikitnya minat anak muda untuk mengelola desa wisata. “Keluhan dari beberapa desa yang saya observasi kemarin memang, keikutsertaan anak-anak muda itu sangat minim, bahkan tidak ada sama sekali,” ujarnya.
Foto: Adnyana Ole (pimred tatkala.co), Agus Muriawan Putra, S.STPar., M.Par., dan Dr. I Made Sarjana (keduanya penulis dan peneliti Pusat Unggulan Pariwisata Universitas Udayana, Bali,) serta Oktiva Askara Sukma Dody (Kadis Pariwisata Buleleng).
Menurut Sarjana, dalam menuliskan narasi desa wisata, penggunaan bahasa harus sesuai dengan segmentasi pasar. Hal ini bertujuan agar supaya orang yang membaca paham apa yang disampaikan. Misalnya, kalau pasarnya kaum milenial, bahasa yang digunakan juga harus menggunakan bahasa mereka.
Dalam teori narasi desa wisata, ada satu pendekatan yang sering digunakan untuk menarasikan desa wisata, yaitu: formula storynomic. Formula ini pada dasarnya menginterpretasikan suatu tempat dalam bentuk narasi penceritaan dan konten kreatif, termasuk dalam wujud digital, sesuai kultur setempat. Dengan storynomic, bukan keindahan suatu tempat semata yang hendak dijadikan komoditas ekonomi, melainkan juga cerita sejarah atau budaya yang bersemayam di tempat tersebut.
Akhir kata, sulit rasanya membayangkan desa wisata dapat berkembang tanpa dikemas dan dinarasikan. Untuk itu, harga yang harus dibayar oleh masyarakat pengelola desa wisata supaya berkembang dan menjadi desa mandiri, selain tiga peta kemandirian desa dan lima aspek dasar yang harus dimiliki pemimpin desa menurut Wahyudi Anggoro Hadi di awal, adalah; belajar mengemas dan menarasikannya. Terlepas dari itu semua, karena menarasikan sesuatu adalah kerja kreatif, maka tingkat literasi masyarakat juga harus dipikirkan.[T]
Tonton video selengkapnya: