Sejak subuh, kakek sibuk menebar jala untuk ikan-ikan yang berenang-renang mengitari jukung. Dengan lampu terang untuk menarik perhatian ikan, suara mesin yang kian mereda dan baju hangat tergantung di tiang panjang yang membentang di atas kepalanya. Tampak juga seorang anak kecil yang tertidur pulas di atas potongan bambu-bambu kecil yang sengaja dibuat membentang, tampaknya untuk beristirahat sejenak dari lelah menabur jala yang kian rapuh.
Matahari kian menerik, dingin sudah mulai memudar, anak kecil itu mulai terbangun dari tidurnya. Ia memandang jauh ke sebuah pulau yang menarik perhatiannya. Kakeknya masih terus menarik dan membuang jala ke laut, hanya beberapa ikan yang ia dapatkan. Anak kecil itu kembali memalingkan pandangannya ke ikan-ikan itu.
“Ini ikan apa, Kek?” tanya lugu anak kecil itu.
“Hanya tongkol!” jawab singkat kakek.
“Lalu yang ada garis kuning itu apa?” tanyanya lagi.
“Itu kakap!” jawab kakek dengan singkat lagi.
“Biasanya kakap itu merah, kenapa ini kuning?”
“Itu kakap ekor kuning, sangat sulit ditangkap pemancing. Hari ini kita beruntung dapat beberapa ikan ini. Jika dijual harganya mahal,” jelas kakek.
Setelah percakapan itu, ia kembali memandang sebuah pulau yang menarik perhatian sebelumnya. Ia terus memandang, rasa penasarannya kembali bergema. Ia ingin bertanya kepada kakek, tapi takut kakek marah karena pertanyaannya yang begitu banyak sejak ia mulai terbangun.
Banyak pertanyaan yang terbesit di kepalanya. Ia ingin sekali mengunjungi pulau itu. Tapi banyak cerita tentang pulau itu yang ia sering dengar dari para nelayan. Sebelum melaut, para nelayan pasti akan berkumpul di pesisir, entah membenahi jukung, jaring dan bersiap untuk kesediaan makanan beberapa hari di laut lepas. Sebelum itu, pastilah mereka akan berbincang entah tentang ikan yang ditangkap kemarin sampai cerita-cerita dari pulau yang katanya tak berpenghuni itu.
Ia sama sekali tidak memalingkan pandangan dari pulau itu sedikitpun. Ia sangat penasaran, apa saja yang ada di pulau itu sebenarnya.
Tak lama, ia memberanikan diri bertanya kepada kakek. Dengan penuh keyakinan ia memulai percakapan mengenai pulau itu.
“Itu pulau yang sering diceritakan orang-orang, Kek?”
“Iya. Kau jangan sampai mencari tahu atau ingin tahu,” sahut kakek dingin.
“Tapi kenapa? Pulau itu terlihat biasa saja, Kek.” tanyanya lagi.
“Ya, memang terlihat biasa saja. Tapi pulau itu pulau keramat. Entah berapa orang yang sudah menjadi tulang di sana,” tegas kakek sambil memandang pulau itu.
“Pokoknya, kakek melarangmu pergi ke sana. Jika suatu saat kau ingin sekali mencari tahu, tidak akan ada yang berani menghampirimu ke sana,” tegas kakek kembali.
Sejak percakapan itu, ia hanya terdiam. Tapi pikirannya masih saja bergejolak. Entah karena apa. Ia ingin sekali mencari tahu. Akhirnya, ia dan kakek mulai mengangkat jala kembali dengan perlahan. Ini adalah jala terakhir yang ditebar beberapa hari lalu. Setelah selesai mengangkat dan ikan-ikan sudah mulai terkumpul, mereka bergegas kembali ke tepi pantai karena langit tak mulai bersahabat dengan mereka. Di tengah perjalanan, anak itu mencuri pandang ke pulau itu. Ia sangat-sangat penasaran. Apakah memang benar ada sesuatu yang bisa membuat nelayan-nelayan tak kembali dari pulau itu?
Selang beberapa saat, hujan turun dengan derasnya. Mereka berdua membentangkan terpal agar tak basah karena hujan. Ombak di laut tak bisa menahan amukannya. Semakin lama, ombak selalu ingin menerkam jukung mereka. Anak itu kian panik tetapi masih sibuk menyemimbangkan jukung itu bersama kakeknya. Tenaganya kian habis karena sibuk agar jukung itu tak diterkam ombak. Mereka terombang-ambing di tengah lautan. Kakeknya sejak tadi tak pernah sedetikpun memalingkan matanya dari arah cucunya. Sembari menyeimbangkan jukung itu, kakeknya sesekali memegang cucunya itu agar tak keluar dari jukung.
Satu jam berlalu, mereka masih sibuk melawan ombak. Anak itu sangat ketakutan, kakenya langsung memeluk cucunya. Mereka seperti bisa membayangkan takdirnya.
“Kek, bagaimana kalau kita tidak selamat?” ucap anak itu dengan gemetar.
“Kita akan selamat. Walau hanya ke tempat itu,” kata kakeknya dengan tegas.
“Ke mana, Kek?”
“Diam dan turuti aku. Yang terpenting kita tak mati hari ini!”
Kakeknya itu lantas mengerahkan jukungnya menuju suatu pulau. Pulau yang sangat ditakuti oleh para nelayan. Mereka menuju ke sana dengan sekuat tenaga yang masih dimiliki. Anak itu kemudian sangat ketakutkan karena tahu pulau yang akan dituju itu adalah pulau terlarang di tengah laut. Tak lama, mereka sampai di pulau yang katanya tak pernah ada yang bisa selamat dari sana. Hujan masih turun dengan sangat deras. Mereka lantas menarik jukung itu ke tepi pulau dan mengikatnya di pohon dekat mereka. Terpal di jukung itu dibuat sebagai sebuah tenda di sisi pulau.
Malam kian mencekam dirasakan anak itu. Kakeknya hanya diam sembari memantau sekeliling. Mereka tak berani berkutik sedikitpun. Sesuatu seperti muncul di dekat mereka. ada sebuah api yang mengambang. Banyak sekali. Keramaian mulai menyelimuti di tengah hujan. Anak itu kian takut. Ingin beranjak dari pelukan kakeknya dan berlari menuju suatu tempat yang aman. Tetapi ia tak sanggup. Sangat takut. Hingga kakeknya mengajak untuk berlari ke dalam hutan belantara di pulau itu. Mereka berlari. Seperti tak berujung. Anak itu kian panik, tak sadar ia menangis sesenggukan di tengah mereka berlari.
Kakeknya tak pernah melepas genggaman itu. mereka terus berlari di tengah hutan dengan hujan yang makin deras dan malam yang sangat mengerikan. Kaki mereka sudah terselimuti tanah basah, beberapa binatang menempel di kaki mereka. Mereka sama sekali tak perduli.
Sekelebat cahaya terlihat di antara celah pepohonan. Mereka merasa lega sedikit walaupun masih merasa ada bahaya yang mengancam. Napas kian tak terkendali, mereka menghampiri cahaya itu. sampai akhirnya, padang rumput yang sangat indah terlihat. Orang-orang yang ada di sana juga sangat ramai. Orang tua bertani, anak-anak kecil berlari, di sungai kecil terlihat orang yang sedang kegirangan bermain air dan juga rumah-rumah yang tertata rapi tidak seperti di desa mereka.
“Ini apa, Kek?” kata anak kecil itu terangsur lelah.
“Aku juga tak tahu. Mungkin ada desa di pulau terpencil ini. Tetapi sangat indah,” ucap kakeknya keheranan.
“Ayo ke sana Kek. Kita minta bantuan ke warga!”
“Ya sudah. Aku juga sudah terlalu lelah berlarian dari tadi!”
Mereka menghampiri salah satu warga. Tetapi mukanya sangat tidak asing bagi kakeknya. Mereka bertanya, tapi tak ada yang menjawab. Seperti tak dihiraukan keadaan mereka. Lantas mereka pergi ke tengah desa, orang-orang di sana sangat dikenali kakeknya. Tetapi saat dipanggil tak ada sama sekali yang menyahut.
Mereka adalah orang yang dikabarkan hilang di pulau ini. Lantas tulang siapa yang pulang ke desa itu? Pikiran kakek itu berkecambuk. Ia lantas memeluk erat cucunya. Air matanya tak habis-habis keluar.
Beberapa hari berlalu, tulang dan potongan kapal mereka ditemukan di tepian pantai yang tak jauh dari desa mereka.