Ketika bekerja di kapal pesiar, Eka Darmawan (33) tampaknya punya sambilan juga. Sambilannya, ya, belajar. Bukannya belajar mengelola kapal wisata, atau mengelola bisnis travel, atau mengelola restoran, melainkan ia malah belajar mengelola sampah plastik.
Maka itulah, pulang-pulang ia tidak membuka usaha restoran, atau membangun villa dan penginapan, atau tidak membangun usaha bisnis travel, sebagaimana banyak dilakukan alumni pekerja kapal pesiar di Bali. Eka Dharmawan justru membuka bisnis pengelolaan sampah—sesuai apa yang dipelajari di kapal pesiar.
Peluang yang ditangkap Eka Darmawan adalah peluang yang tak banyak dilihat orang lain, termasuk oleh sesama pekerja kapal pesiar. Dan, peluang itu ia manfaatkan dengan baik, sehingga kini usaha pengelolaan sampahnya sudah tergolong besar dengan jaringan kerjasama yang luas, bukan hanya di Bali, melainkan juga di luar Bali.
“Di kapal pesiar tempat saya kerja, saya terheran-heran melihat pengolahan sampah plastik,” kata Eka.
Tentu saja terheran-heran. Kata Eka, di kapal pesiar itu semua sampah plastik dikelola dengan baik hingga menjadi cacahan plastik kecil dan bersih untuk kemudian dijual kembali. Sungguh tidak terpikirkan sebelumnya.
Foto: Eka Darmawan dan pemilhan sampah
Dari rasa heran terbitlah inspirasi. Dari inspirasi terbit tekad.
Eka Darmawan bertekad untuk belajar dari pengolahan sampah di kapal pesiar, untuk kemudian hasil pelajaran itu akan diterapkan di daerah asalnya, di Buleleng, Bali, Indonesia.
Tekadnya makin subur, apalagi mengingat Buleleng dan daerah lain di sekitarnya masih punya banyak kendala di bidang pengelolaan sampah plastik yang jumlahnya terus meningkat setiap hari. Apalagi, kebiasaan buruk masyakarat belum sepenuhnya hilang, yakni kebiasaan masyarakat yang sembarangan membuang sampah
Pulang dari bekerja di kapal pesiar, ia bertekad untuk tinggal di kampung halaman, dan tak balik lagi ke kapal pesiar. Ia membangun tempat pengelolaan sampah plastik dengan nama Rumah Plastik di Desa Petandakan, pinggiran timur Kota Singaraja.
Usaha yang dibangunnya tentu saja punya tujuan mulia: membantu mengurangi volume sampah plastik yang beredar di masyarakat. Tujuan lain yang tak kalah penting adalah membangun bisnis jangka panjang sekaligus ingin membuktikan bahwa pengelolaan sampah plastik adalah bisnis yang menjanjikan.
Eka tidak begitu saja langsung membangun bentuk fisik usahanya, namun ia mengawalinya dengan membangun jaringan bisnis, mempelajari standar kualitas hingga pemasaran cacahan plastik.
Pada tahun 2016, ayah dua anak ini mulai membuat rangkaian mesin pencacah rancanganya sendiri dengan memanfaatkan pengusaha las sekitar tempat tinggalnya. Proses pengolahan sampah plastiknya tentu saja tidak akan berjalan dengan baik tanpa melibatkan peran masyarakat yang selama ini menjadi sumber keberadaan sampah plastik.
Foto: Eka Darmawan dan hasil cacahan sampah plastik
Yang menarik, ia tidak mau menerima kiriman sampah perorangan. Ini dilakukan untuk menghindari terjadinya persaingan harga yang dapat menjatuhkan nilai jual sampah plastik di Buleleng, dan secara umum di Bali.
Mereka yang ingin menjual sampah plastik wajib membentuk kelompok bank sampah terlebih dahulu. Jika belum terbentuk, Eka siap memberikan edukasi kepada masyarakat yang punya keinginan membentuk kelompok bank sampah.
“Ini penting untuk menjaga nilai jual sampah di pasaran Buleleng dan Bali. Kenapa begitu? Karena kami menerima sampah itu dengan harga yang lebih tinggi dari kebanyakan,” terang Eka.
Sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat, Eka memberikan kesempatan bebas kepada warga Desa Petandakan secara perorangan untuk menjual sampah plastiknya. Tidak hanya itu, ia juga mengajak masyarakat untuk bergabung dalam usahanya, mulai dari memilah jenis dan warna sampah hingga sampai pada proses pencacahan dan pengemasan cacahan sampah plastik.
Hingga kini sudah banyak masyarakat sekitar ikut membantu usahanya, baik itu remaja maupun lansia. Ia selalu membuka pintu lebar-lebar jika ada warga yang ingin bekerja membantu memilah sampah plastik.
Eka bercerita, memang terdapat beberapa anak kecil dan lansia yang bekerja memilah sampah plastik. Mereka membantu tanpa aturan yang ketat seperti karyawan, misalnya tidak ada aturan ketat mereka harus mencapai target hasil tertentu saat melakukan pemiilahan sampah.
“Ada beberapa anak SD sepulang sekolah ikut memilah sampah di sini, mereka kumpulkan perkarung, jika sudah cukup saya berikan upah. Saya sangat senang melihat semangat mereka, apalagi ketika menerima upah atas jerih payahnya sendiri,” kata Eka.
Kini pria inspiratif ini telah mampu meningkatkan kapasitas mesinnya jauh lebih besar hingga mencapai 500 kilogram per jam dan mengatasi 30 kelompok bank sampah di Buleleng, serta kelompok bank sampah lainnya di Bali. Atas kerjasama dengan pihak industri besar di Bandung, sejak tahun 2017 ia secara berkelanjutan mengirim hasil cacahan plastik dengan kualitas full grade berjumlah minimal 14 ton. [T][*/Ado]