“Lalu satu malam, dua pria dewasa berduel. Duel itu berakhir dengan yang satunya terkapar dengan perut tersabit parang dan ususnya terburai”
Begitulah salah satu line yang diceritakan dalam cerpen Sumur oleh Eka Kurniawan. Dan, itulah yang sungguh disayangkan, dua tokoh utama, sepasang anak muda yang saling menyukai satu sama lain, Toyib dan Siti, langsung dihadapkan pada masalah ayah mereka yang saling berduel.
Kisah ‘Sumur’ pada dasarnya bertutur di semesta Toyib dan Siti. Seorang laki-laki dan perempuan desa yang sudah berkawan sejak kecil. Tipikal kisah persahabatan laki-laki dan perempuan, ujung-ujungnya saling menyimpan rasa. Dan begitulah Toyib dan Siti, yang sejak kecil sudah saling menaruh hati.
Walaupun kisah sahabat jadi cinta antara Toyib dan Siti sudah sangat klasik, tapi jika membaca ‘Sumur’ tak sekalipun ada potret so sweet ala sinetron tentang cerita cinta muda-mudi desa yang tulus, polos, manis, dan penuh bunga-bunga atau lebih tepatnya bukan itu yang menjadi fokus. Alih-alih memusatkan pada kemesraan dan romantisasi cerita cintanya, cerpen ini memotret isu sosial yang mengitari Toyib dan Siti.
Tetapi mungkin sebaiknya pertama-tama kita melihat cerita “Sumur” sebagai palagan sandiwara kehidupan Toyib dan Siti. Jika berbicara kisah mereka, yang ada di antara Toyib dan Siti adalah kisah cinta yang realistis.
Eka Kurniawan menuliskannya dengan sangat jujur tanpa meromantisasi berlebihan perasaan Toyib dan Siti. Mulai dari ayah mereka yang berduel dan berakhir dengan terbunuhnya ayah Siti, dari situlah titik balik hubungan persahabatan mereka berdua kendatipun cinta mereka tidak pernah benar-benar hilang hingga saat Toyib dan Siti yang harus menikah dengan orang lain.
Percakapan keduanya yang sangat sederhana walaupun terkesan basa-basi terasa begitu nyelekit, entah kenapa, mungkin karena memang benar bahwa cinta adalah pergumulan bukanlah happily ever after seperti di kisah disney princess atau drama series.
Dan mungkin memang benar juga bahwa tanpa adanya tantangan, cinta belum terlihat kuasanya. Kondisi desa, keluarga, hingga kenyataan bahwa mereka harus kehilangan ayah mereka menjadi alasan yang kuat bagi mereka untuk semakin frustrasi atas perasaan yang masih mereka simpan satu sama lain. Peristiwa yang seharusnya menimbulkan kebencian sesungguhnya ternyata adalah bagian dari cinta mereka. Mungkin cinta mereka ibarat sebuah hadiah, dan rasa sakit menjadi resiko utama ketika menerimanya.
Namun ketika menyelami cerita cinta Toyib dan Siti, ada satu hal yang menjadi penyebab segala konflik dalam cerpen ini. Paceklik yang melanda desa. Jika kita melihat kembali ke halaman awal saat ayah Toyib dan Siti berduel, pada pertengahan buku kita akan tahu bahwa ternyata penyebab mereka berduel adalah sengketa pembagian air desa, dikarenakan sulitnya air di masa kemarau panjang.
Termasuk keputusan Siti dan para pemuda desa untuk mencari pekerjaan di kota, adalah karena mereka tak lagi bisa mengharapkan penghidupan dari bertani di desa. Ya, tidak ada air, mau bertani dengan apa? Kesulitan air bermuara pada masyarakat desa yang tidak lagi bisa subsisten dari pertanian. Dan kondisi ini jelas memaksa mereka untuk masuk ke dalam pasar melalui perantauan di kota.
Selama membaca cerpen Sumur, saya sendiri ikut mengingat dan memaknai kondisi alam di masa sekarang. Melihat perubahan iklim telah terjadi, kita sudah cukup sulit dalam membaca pergerakan kondisi alam. Kondisi-kondisi seperti ini yang memantik refleksi bahwa permasalahan sosial, datangnya dari permasalahan alam juga, begitu pula permasalahan alam yang tercipta akibat ketimpangan pada sistem dan praktik eksploitasinya. Tergambar jelas, bahwasanya alam dan manusia bukanlah dualisme, melainkan menjadi kesatuan yang saling mempengaruhi.
Begitu pula jika kita merefleksikan apa yang terjadi pada ‘Sumur’ dan COVID-19, kemungkinan besar juga diakibatkan karena “ekstraksi” pada alam yang tidak berimbang. Kita sadari atau tidak, model peradaban saat ini telah banyak mengubah tatanan alam dan kualitas hidup. Toyib dan Siti contohnya.
Kendatipun cerita ‘Sumur’ nampaknya hanyalah sebuah kisah fiksi yang sangat personal tentang hidup Toyib dan Siti yang entah siapa mereka dan tinggal di desa apa. Tapi hanya dengan membacanya, saya (dan bisa juga anda) akan merasakan menjadi Toyib dan Siti bagaimana paceklik itu membunuh hidup mereka perlahan.
Kita akan sama-sama membayangkan, ada berapa Toyib dan Siti yang mungkin merasakan hal ini. Terutama jika kita berbicara perkara masalah penghidupan. Masalah personal Siti yang dikisahkan menjadi penjaga warung di kota membuat saya mengingat para pekerja rentan di kota, yang banyak juga datang dari pedesaan.
Bukankah mereka juga orang-orang yang sudah tidak bisa mengharapkan penghidupan layak di desa? Karena mungkin hanya dengan hidup di desa perut tidak bisa kenyang dan dapur tidak bisa mengepul.
Lalu pada akhirnya kepada siapa kita harus meminta pertanggung-jawaban? Pada sistem yang eksploitatif dan absennya negara? Tentu seharusnya kita melihat problem ini sebagai hasil dari ketimpangan pada struktur. Namun ini pula yang menjadi pergumulan kita, tentang pertanyaan “bagaimana”
Mungkin sulit bagi orang-orang yang memiliki privilese untuk mengenyam pendidikan, bisa relate dengan kehidupan mereka yang untuk perkara makan masih harus berpikir keras. Orang-orang berpendidikan terus menggaungkan tentang persaingan di dunia global, perkembangan teknologi yang pada akhirnya bermuara pada industrialisasi dan lagi-lagi, eksploitatif pada lingkungan. Pertanyaannya juga, untuk siapa semua itu?
Dan bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki “privilese”? Mungkin jargon revolusi industri tidak akan berguna bagi mereka, toh, buat makan hari ini aja masih belum pasti. Dan lebih dari itu, cara kerja sistem saat ini juga telah banyak merusak penghidupan yang telah mereka lakoni dari generasi ke generasi, seperti yang terjadi pada beberapa komunitas adat, contohnya.
Dunia yang semakin timpang itu nyata, begitu pula perubahan alam saat ini. Tidak bisa lagi kita mengelak bahwa perubahan alam telah banyak memengaruhi kehidupan manusia. Sesungguhnya laku kapitalisme yang mengeksploitasi alam sudah terlalu kompleks untuk kita lemparkan pertanggungjawaban atas problematika kita, belum lagi jika kita tidak sadar akan hal itu.
Meminjam istilah Syarif Maulana dalam tulisannya tentang demotivasi, mentok-mentok kita akan terus dicekoki dengan “motivasi artifisial” yang terlampau individualis seperti “jadilah pekerja keras” tanpa tahu bahwa sistem itu sendiri yang membuat kita tidak bisa sama-sama memiliki penghidupan layak dan terjerat dalam problem-problem klasik ketimpangan kelas. Dan lagi-lagi, telah tampak jelas masyarakat kelas mana yang paling terdampak.
Kita mungkin telah sampai pada tahap mengkhawatirkan kualitas hidup dengan kenyataan dunia masa sekarang, namun yang pasti menciptakan ruang “bebas” masih sangat bisa dilakukan. Menciptakan ruang bagi kita untuk berdiskusi, berserikat, dan berjuang untuk kehidupan masih harus terus berlanjut. Salah satunya adalah dengan melihat dan bertanya, karena dengan itu kita bisa tanamkan keraguan kita pada kehidupan “normal” saat ini. Barangkali juga dengan membaca ‘Sumur’ perasaan dilematis itu akan terbangun kembali dalam diri masing-masing kita.
Pada akhirnya, Sumur hanya menunjukkan kenyataan sosial dengan sangat jujur. [T]