Kelangkaan minyak goreng mengudang sejuta tanya. Yang paling pakar, yang punya kewenangan dibuatnya bingung. Yang paling senior ikut memberikan saran direbus, dikukus jangan terus digoreng.
“Saya sampai mengelus dada, bukan urusan masalah nggak ada atau mahalnya minyak goreng, saya sampai mikir, jadi tiap hari ibu-ibu itu apakah hanya menggoreng sampai begitu rebutannya?” kata Megawati, dalam webinar ‘Cegah Stunting untuk Generasi Emas’ yang disiarkan YouTube Tribunnews, Jumat (18/3/2022).
“Apa tidak ada cara untuk merebus, lalu mengukus, atau seperti rujak, apa tidak ada? Itu menu Indonesia, lho. Lha kok njelimet (rumit) gitu,” tuturnya.
Sontak saja celoteh Megawati jadi bahan analisis para politisi, bahan meme (candaan) dari netizen.
Tahu sendirilah bagaimana tajamnya analisis pakar dan politisi. Pro dan kontra saling sahut. Simak juga kocaknya meme dari netizen.
Urusan minyak di Indonesia identik dengan ritual memasak bagi kaum ibu-ibu. Tak heran jika yang paling responsif soal minyak adalah ibu-ibu rumah tangga. Apalagi soal harga, ibu-ibu telitinya luar biasa.
Memasak ternyata bukan urusan hari ini saja. Soal memasak adalah sebuah produk kultural yang terus menerus mengalami transformasi.
Levi-Strauss dalam bukunya The Raw and The Cooked (1969) menganalisis signifikansi makanan dan proses memasak makanan sebagai proses kultural.
Disebutkannya budaya memasak bertrasformasi ditandai dengan acara makan seremonial dan proses memasak dari makanan mentah menjadi budaya yang telah dimasak, merupakan proses kultural yang penting.
Urusan makanan bagi semua budaya, alam membagi dua, “dapat dimakan” dan “tidak dapat dimakan”. Perut manusia pada dasarnya mampu mencerna apa pun sehinga “tidak dapat dimakan” dan “dapat dimakan”, tidak memiliki dasar fisiologis, hanya persoalan budaya.
Persoalan “tidak dapat dimakan” dan “dapat dimakan” sebuah hal yang berbeda-beda bagi manusia di setiap negara. Masyarakat di suatu daerah sesuatu itu “dapat dimakan” sementara kita mengganggapnya justru “tidak dapat dimakan”.
Sebagai contoh, orang Prancis diketahui sebagai pemakan kodok, orang Skotlandia sebagai pemakan haggies (pudding yang berisi jeroan kambing atau sapi yang diolah bersama bawang dan oatmeal), orang Arab doyan memakan mata domba. Contoh paling dekat deh, orang Bali suka memakan babi (dipanggang), atau dikenal babi guling.
Persoalan “dapat dimakan” dan “tidak dapat dimakan” bertransformasi menjadi urusan teknis masak memasak. Semua masyarakat memasak bahan makanan sebelum dimakan. Meskipun, lagi-lagi, perut manusia dapat mencernanya dalam keadaan mentah.
Memasak pun lantas meruapakan transformasi kultural, bukan kebutuhan material. Masak memasak kemudian menjadi genre, ada genre merebus, genre menggoreng, dan memanggang (atau membakar) di genre lainnya.
Proses masak memasak lantas bertransformasi menjadi makanan berbudaya tinggi, dan yang lebih alamiah. Terkandung nilai-nilai sosial yang diberikan pada hasil masakan.
Misalnya saja, makanan hasil rebusan membutuhkan proses memasak lebih tinggi karena membutuhkan peralatan dan bahan-bahan seperti air. Proses ini dinilai dapat meningkatkan volume makanan. Sementara teknik memanggang tidak membutuhkan peralatan memasak hanya membutuhkan panas, disebut justru membuang makanan karena menjadi menyusut.
Makanan hasil teknik proses memasak menunjukkan status sosial yang menyantapnya.
Makanan yang difermentasikan sering kali memiliki status yang paling tinggi di antara semua jenis makanan, karena paling sedikit berubah dari unsur dasarnya, paling alami, seperti keju adalah sebagian dari makanan yang bercita rasa aristokrat pada masyarakat kita.
Daging panggang biasanya diberi nilai tinggi, atau disantap pada acara penting.
Sebaliknya, daging rebus, diberi nilai rendah, dikonsumsi anggota masyarakat berstatus sosial rendah (terutama perempuan, orang cacat, dan anak-anak), dan merupakan makanan sehari-hari bukan makanan istimewa. Misalnya, ketela rebus, kacang kebus, pisang rebus, atau jajanan dikukus.
Saran Megawati kepada kaum ibu-ibu yang berbaris panjang antre minyak goreng, agar makanan diolah dengan cara direbus dan dikukus bukan digoreng bisa jadi mencerminkan status sosial masyarakat Indonesia di tengah kelangkaan minyak goreng?
Ada-ada aja! [T]