“Apa yang lebih sepi dari bercakap-cakap dengan mereka yang sudah mati,” ungkap narator dalam cerpen berjudul Hel, karya Gunawan Maryanto . Narator adalah Hel dengan suratnya yang begitu hangat melemparkan kenyataan-kenyataan tak diharapkan seperti orang-orang yang menemuinya, orang-orang yang mati dengan sia-sia. Hel tak sendiri namun kesendirian selalu menyelimutinya di kedalaman, kegelapan Hel.
Kegelapan seperti bagian darinya, bahkan sejak ia masih begitu murni hadir sebagai sesuatu yang hidup. Kelahirannya adalah ancaman bagi para ‘makhluk baik’. Ketidakadilan ia terima, ia dan kedua saudaranya yang dipuntulkan kehidupannya.
“..buat apa mereka mesti susah payah berjalan jauh menempuh seluruh bahaya untuk menculik kami? Mungkin kami adalah mimpi buruk bagi mereka, dewa-dewa di Asgard.”
Mereka digelandang menjauh dari ibunya, menjauhi kedamaian yang sempat mereka rasakan, untuk membuat para dewa merasa damai.
Semenjak ‘penculikan’ itu, Hel memiliki istananya sendiri. Sunyi dan kelam, gelap tempat mereka yang mati putus asa, tua dan terserang penyakit. Mereka yang disebut meninggal sia-sia tak selamanya berasal dari kelompok yang terasingkan. Buktinya Balder, sang dewa paling bijak datang dan menerima hidangan malam Hel.
Dunia yang tak selamanya hitam putih digambarkan Gunawan Maryanto dari penyerangan terhadap Hel dan saudaranya serta hadirnya Balder di tengah kelamnya Hel. Kebaikan yang tidak selalu murni. Apa itu baik?
BACA JUGA:
Gunawan Maryanto seakan membawakan suara-suara kelompok subordinat, mereka yang dianggap buruk oleh mayoritas dan dibuat pantas menerima ‘siksaan’. Ia menampilkan relasi kuasa antara Dewa-Dewa dari Asgard dengan para raksasa di Jotunheim. Begitu kuat dominasi kaum Asgard yang menimbulkan nihil perlawanan, ketika si kecil Hel dan kedua kakaknya diambil secara paksa dari ibunya.
Ketika Hel dipisahkan dari keluarganya, ia tak memperoleh berita apa pun tentang nasib mereka. Hanya dikurung dan dipaksa menerima segela ‘perintah’. Odin menghampirinya, penguasa jagad raya yang memperoleh berbagai doa dan puji. Bahkan untuk Hel sekalipun, ia menerimanya.
“…Aku mengangguk meski beberapa saat sebelum itu aku tak tahu siapa namaku. Aku mengangguk bukan karena aku setuju dengan nama pemberiannya. Tapi, memang entah kenapa pada saat pertanyaan itu meluncur, namaku adalah Hel.”
Hel menerima segala perintah Odin, meski menyadari adanya dominasi yang merasuk dalam pikirannya. Respon Hel menunjukan adanya masalah sosial yang begitu mengakar: hierarki. Dalam masyarakat hierarkis, dominasi tumbuh hingga ke alam bawah sadar. Seakan menjadi hal yang mutlak bahwa ia yang berkuasa adalah ia yang benar.
Melantangkan Suara-Suara Mereka yang Tak Didengarkan
Hel tidak sekedar raksasa yang mengancam, tapi dia adalah korban dari kuasa Odin yang absolut. Citra baik dan kekuatan yang ia miliki telah menghancurkan kehidupan para raksasa, kedamaian Hel dan keluarganya.
Kisah Hel seperti cerita mereka yang tak berdaya namun dianggap ancaman, seperti parasit, hama, dan segala yang mengancam kehidupan, meskipun ia sendiri bagian dari kehidupan. Padahal ancaman itu lahir dari mereka yang mendominasi, entah negara, kelompok mayoritas, atau individu yang berkuasa. Ancaman-ancaman itu kerap diterima oleh kelompok-kelompok marginal. Mereka yang rentan dan diserang.
Memilih Hel sebagai tokoh utama seakan memberikan ruang bagi kisah-kisah di balik keagungan para dewa, mereka yang menguasai jagad. Gunawan Maryanto mengambil keberpihakan pada mereka yang tak didengar, mereka yang harus disingkirkan tanpa diberi ruang bersuara.
Sastra Sebagai Ruang Alternatif
Ruang yang diciptakan Gunawan Maryanto dalam cerita pendek Hel membuktikan bahwa cerpen sebagai karya sastra mampu menjadi media alternatif untuk melawan wacana dominan. Melalui sastra, Gunawan Maryanto berupaya merefleksikan situasi sosial yang terjadi saat itu. Ketika penguasa membangun citra positif untuk memperkuat dominasinya dan disaat bersamaan ‘melenyapkan’ mereka yang mengancam kuasanya.
Upaya perlawanan terhadap wacana dominan juga ditunjukan Gunawan dengan melahirkan media-media alternatif seperti Newsletter BlockNote dari Teater Garasi atau On/Off (AKY). Media yang memberikan “kebaruan” dan berani melakukan dobrakan atas pakem serta pola-pola yang sudah ada, termasuk hukum tata bahasa. Ruang eksperimen ini pun jika kita lihat berusaha menawarkan ekosistem yang lebih kreatif.
Gunawan Maryanto percaya bahwa pandangannya, terhadap segala bentuk kegelisahan, dapat disalurkan melalui berkesenian. Dalam wawancaranya bersama Puthut EA dari Mojok, pria yang kerap disapa Cindhil ini mengungkapkan, “Kesenian itu sebagai suatu ruang belajar, ruang pertemuan, ruang bersosial…Ini adalah sebuah ruang, sebuah alat yang di dalamnya ada agenda-agenda yang ingin kita sampaikan. Kita punya kegelisahan, tatapan apa, maka ada medium semacam ini untuk membicarakan hal tersebut.”
Realitas Dunia yang Abu-Abu
Tidak jarang melalui spirit dan sikap-sikap keberpihakan yang Gunawan Maryanto miliki, ia tuangkan hal tersebut dalam sebuah karya seni. Hal yang sama juga ia lakukan dalam cerpen “Panji Reni”. Pertama-tama kisah ini diawali dengan cinta yang tidak direstui antara Panji Inu Kertapati dengan Angreni dan berujung pembunuhan. Bukan tentang siapa yang membunuh, namun alasan dari pembunuhan itu dan bagaimana ia meninggal.
Pada bagian awal, Gunawan Maryanto telah menampilkan siapa pembunuhnya, sebab perjalanan panjang baru saja dimulai. Narator diperlihatkan sebagai ia yang berusaha mencari cerita sebenarnya, alasan dibaliknya, dan peristiwa saat itu. Pencarian yang membutuhkan kesabaran dan kepekaan. Dua hal yang mengantarkan Narator pada pengakuan sang “pelaku” yang disebut sosok paling bertanggung jawab atas segalanya.
BACA JUGA:
Ia adalah Panji Kartala, orang-orang sebut “sang pembunuh keji”, adik dari Panji Inu Kertapati. Anak raja yang selama tiga tahun mengasingkan diri ke lereng Gunung Wilis, di gubuk gelap yang bahkan sinar matahari pun tak mampu menembusnya. Panji Kartala telah bertahun-tahun diselimuti rasa bersalah akibat kematian Angreni.
Rasa bersalah yang begitu dalam berusaha ditampilkan Gunawan, menunjukan sisi ‘humanis’ Kartala. Ia memberikan ruang bagi ‘si jahat’, bahkan dalam jumlah besar. Bahwa kejahatannya tidak murni sebagai sebuah keinginan untuk membunuh. Karena pembunuhan itu berawal dari Titah Sang Ayah, Raja Jenggala bernama Lembu Amiluhur. Sosok Ayah yang memiliki kekuasaan mutlak atas wilayah dan keluarganya, hingga perintah untuk membunuh pun tak terelakan.
“… perintah raja adalah perintah dewata. Mau tidak mau saya harus melaksanakannya,” kata Kartala dalam luapan kesedihan. Ia tak sanggup melawan.
Gunawan Maryanto merefleksikan bahwa dominasi sanggup mengontrol ‘segalanya’, bahkan membuat seorang adik menghancurkan hidup kakaknya sendiri. Sosok Ayah yang dalam lingkup patriarki menjadi pengendali dalam sebuah keluarga. Lebih luas lagi, Ayah sekaligus Raja yang berada pada tingkat tertinggi hierarki sosial Jenggala. Kuasanya menjadi tak terelakan, bahkan dendam tak sanggup menghadapinya.
Lembu Amiluhur yang tak ada dalam dialog, namun mengontrol setiap tindakan, membuat semua mengikuti perintahnya. Dari menerima langsung, menjadi perantara, dan tanpa sadar mengikutinya. Seperti realitas hierarkis yang ada saat itu dan masih bertahan hingga saat ini. Seolah ungkapan “para penguasa tak mau mengotori tangannya secara langsung” terus saja hidup. Ia berkuasa, ia dipatuhi perintahnya, ia memerintah.
Ia yang memerintah seakan nihil kesalahan, tentu menjadi yang paling benar, sehingga titahnya patut diamini dan dijalankan. Tak hanya Kartala, bahkan Angreni menerima segala yang menurutnya pantas ia terima, meski itu dari sang raja yang tak mementingkan perasaan anaknya sendiri.
“Lakukanlah apa yang mesti kau lakukan, Panji Kartala. Tugasmu adalah membunuhku. Dan jika memang benar kematianku akan membahagiakan Jenggala aku rela menyerahkan nyawaku.”
Dengan tegas Angreni menerima kematiannya sebagai titah Sang Raja yang ia terima dengan rasa ‘membahagiakan Jenggala’. Seakan keinginan raja adalah keinginan Jenggala.
Kuasa Kendalikan Hingga yang Paling Dalam
Kematian Angreni telah menghancurkan perasaan suaminya, Panji Inu Kertapati, begitu pula Panji Kartala yang dirundung rasa bersalah. Kematiannya juga menunjukan bahwa dominasi tidak hanya ada dalam sistem pemerintahan, tapi juga masuk ke ranah yang lebih personal–hubungan cinta.
Lembu Amiluhur tak perlu mengotori tangannya secara langsung, ia adalah raja sekaligus ayah yang sungguh memanfaatkan dominasinya dengan maksimal. Sosok ayah yang mengontrol. Bila ditarik pada pengalaman Gunawan Maryanto, sosok ayah seakan menjadi tokoh yang dominan dalam keluarga. Dalam wawancara yang sama bersama Puthut EA, ia pun sempat mengungkapkan “SMA itu aku udah pergi dari rumah, karena bapak itu engga seneng aku main teater,” lalu Gunawan Maryanto mengulang kalimat bapaknya, “kamu mau hidup dari mana, kok membadut terus?”
Sosok ayah yang digambarkan dalam kisah “Panji Reni” juga seakan memiliki hak untuk mengontrol kehidupan dan masa depan anaknya, menjadi ia yang lebih tahu apa yang terbaik. Ditambah sebagai seorang raja, ia meyakini bahwa tindakannya adalah yang terbaik untuk Jenggala. Namun justru menghancurkan hidup kedua putranya.
Menelaah Ulang Apa yang Diyakini
Persoalan pembunuhan ditampilkan dengan gamblang dari pengakuan Panji Kartala. Ia memiliki ruang yang banyak untuk mengungkapkan yang sebenarnya. Bahwa perintah Raja yang keji berkamuflase menjadi strategi terbaik untuk banyak orang–Jenggala. Gunawan Maryanto pun seakan membuka ‘kedok’ sosok yang penuh puji dari sang Lembu Amiluhur.
Fakta-fakta di balik pembunuhan perlahan terbuka. Kebenaran terlihat di depan mata. Namun Narator dalam hal ini membalikan akhir cerita—bahwa segala pengakuan yang dihiasi rasa bersalah yang begitu dalam mendadak tidak menjadi akhir sebuah cerita. “Tentu saja cerita ini bukanlah kebenaran tunggal yang layak untuk dipercaya begitu saja,” ungkap sang Narator. Maka, Gunawan Maryanto seolah mengingatkan kita tentang apa-apa yang kita yakini.
- Maryanto, G. 2019. Hel. Jawa Pos. Diakses melalui: https://ruangsastra.com/5915/hel/
- Maryanto, G. 2011. Panji Reni. Suara Merdeka. Diakses melalui: Panji Reni – Ruang Sastra
- Dahlan, M. 2021. Obituari Gunawan Maryanto (1976—2021): Berdiri di Atas Dua Jembatan Gantung. Jawa Pos. Diakses melalui: https://muhidindahlan.radiobuku.com/2021/10/09/obituari-gunawan-maryanto-1976-2021-berdiri-di-atas-dua-jembatan-gantung/
- Puthut EA. 2020. Gunawan Maryanto, Teater Garasi, dan Astronot Tanpa Dialog. Youtube, upload by mojokdoco. Diakses melalui: https://www.youtube.com/watch?v=bqw4NkFCX7E
______
Tulisan untuk mengenang #100HariGunawanMaryanto
Lingkar Studi Sastra Denpasar