Diskusi tentang wayang, Senin 14 Maret , menjadi sesi panel pertama Mahima March March March. Tajuknya, The Art of Wayang and Reality.
Di sini didiskusikanlah jarak rentang dalang dan penonton, mulai dari jarak cerita, jarak bahasa, jarak realita, dan jarak-jarak lainnya. Diskusi hangat ini sedang mempertontonkan bagaimana jarak bisa dikikis, diserut, dipipihkan, bahkan dilipat hingga pesan yang disampaikan tak lagi mengeluarkan banyak energi untuk sampai.
Tetapi apakah tujuan kita, tujuan penonton? Apakah memang ingin sampai? Bukankah menonton adalah proses perjalanan, yang tujuannya belum tentu satu, melainkan dua, atau bercabang-cabang.
“Menonton” diskusi wayang di Rumah Mahima, saya bahagia. Pertama ini adalah panel pembuka di festival Mahima March March March yang digagas Komunitas Mahima.
Lalu pembicaranya adalah sahabat saya, Jro Dalang Sembroli atau bernama lengkap Gusti Made Aryana, seorang dalang yang sudah sangat terkenal di Bali Utara, dan belum beberapa lama sempat mementaskan wayang di upacara tiga bulanan ponakan saya. Pembicara pendamping adalah Made Adnyana Ole, jurnalis penyuka wayang. Moderatornya adalah Gus Weda Sanjaya, peraih hadiah sastra Rancage tahun ini.
Dari diskusi ini disadari bahwa mendiskusikan wayang tak akan pernah ada habisnya, kita bisa kupas dari mana saja, perspektif apa saja, lapis mana saja. Ketiga, menyambungkan relevansi wayang dengan konteks seni pertunjukan masa kini. Sampai di mana wayang Bali Utara bicara. Apa yang menumbuhkannya dan kemana tumbuhnya.
Penonton Menuntut Dalang
Menurut Jro Dalang Sembroli, sebagai dalang, ada beberapa ‘teror’ yang kerap dia temui di lapangan. Penonton menuntut dalang agar lucu, cepat, langsung ke jokes, tanpa basa-basi. Tanpa pengantar, tanpa pembuka.
Ini adalah tuntutan yang luar biasa karena sesungguhnya wayang selalu dan harus dibuka dengan pembuka, dan barulah jembatan dibangun, lalu barulah masuk ke jalan cerita. Namun, semua konteks itu di masa yang instan ini ingin dikikis oleh penonton. Dalang dituntut langsung ngelawak. Padahal dalang bukanlah pelawak apalagi stand up comedian. Bukan.
BACA JUGA:
Tentu kita tak hanya bisa menonton wayang dalam rangka menuntut dalangnya mengeluarkan lelucon. Lagipula lelucon macam apa yang kita inginkan. Bahkan untuk menyepakati lelucon saja, bisa panjang referensi yang harus kita paparkan. Lelucon itu tidak bisa disebut lelucon jika konteksnya tidak pas antara audiens dan dalang. Konteks itu termasuk latar belakang budaya, isu sosial, dan pengetahuan yang disepakati bersama.
Sudut pandang lelucon tentu dibatasi (atau tidak dibatasi?) oleh imajinasi dan pengetahuan penonton. Dan lucu atau tidak lucu itu seharusnya tidaklah menjadi beban seorang dalang, namun biasalah netizen, ga lucu sedikit langsung meninggalkan komentar pedas.
Dalang Menuntut Penonton
Lalu Made Adnyana Ole membela dalang, harusnya bukan hanya dalang yang dipaksa-paksa menyesuaikan konteks cerita atau kelucuan, penonton pun harus diedukasi untuk menonton wayang.
Cerita wayang harus bisa disegarkan lagi, tak hanya melalui pelajaran agama, atau pelajaran seni budaya saja, tapi melalui obrolan sehari-hari, sebagai bagian dari cerita rakyat yang bisa mewarnai percakapan sehari-hari.
Namun tunggu dulu, siapa saja yang bisa bercakap-cakap soal wayang? Tentu hanya Ole dan beberapa gelintir pengamat yang hafal cerita wayang, lalu generasi mobile legend apa kabar? Seberapa sabar mereka harus menunggu cerita itu menjadi bagian yang relevan dari hidup mereka, serelevan mobile legends? Misalnya.
Katakanlah seorang anak usia SD ingin memahami wayang, lalu edukasinya mulai dari mana. Pastinya orang tua, bahkan harusnya sejak sebelum usia sekolah anak-anak setidaknya sudah dikenalkan dengan kisah wayang yang dramatis dan romantis sekaligus tragis itu. Sehingga anak-anak ini siap menonton wayang.
Lalu, berapa persenkah orangtua yang bisa menceritakan kisah wayang dengan sederhana kepada anak-anaknya. Belum lagi persoalan bahasa. Bisakah bahasa wayang diganti dengan bahasa Indonesia atau bahkan bahasa Inggris? Begitulah pertanyaan netizen.
Sabar, ini sudah meluas. Persoalan mengedukasi penonton wayang belum selesai benar. Kini sudah masuk persoalan Pendidikan bahasa. Di manakah kita memulai?
Persoalan cerita yang relevan telah menjadi inti diskusi kemarin malam. Bagaimana jarak makna bisa ditipiskan agar anak-anak memahami cerita yang lebih sederhana. Katakanlah diambil inti sari maknanya. Bisakah wayang menjadi sebuah pertunjukan yang menyentuh hati anak-anak dan membuat mereka merenung akan hakikat kemanusiaan mereka?
Dalang Punya Jalan, Selalu Punya Jalan
Akhirnya kita kembali pada dalang. Sebagai yang punya jalan, tentu dalang yang membukakan jalan bagi penonton. Dalang juga manusia biasa, yang punya keterbatasan. Keterbatasan dalang dapat diatasi dengan dirinya sendiri, menyadari bahwa tidak semua karakter harus persis seperti karakter yang secara mainstream dibentuk.
Dalang bisa menjembatani makna dengan menawar keterbatasannya dengan teknik bercerita, teknik bersuara, dan teknik mengatur adegan. Bahwa cerita harus dibuat agar kontekstual dan relevan, tentu dalang punya siasat sendiri. Bagian mana yang paling relevan untuk dibuat cerita yang dekat dengan realitas. Namun tidak semua realitas juga ada referensinya di dunia wayang, sama seperti tidak semua referensi di dunia wayang dapat direalitaskan.
Ada bagian yang memang harus menjadi semacam gagasan di luar realitas, gagasan yang tidak mungkin dipaksakan menjadi realitas. Itulah yang memang selalu ada. Ada angan, ada realitas. Disanalah wayang memainkan peran ulang alik sebagai jembatan.
Pada isu-isu tertentu yang sangat dekat dengan audiens, dalang mampu membangun chemistry dengan penonton, meskipun chemistry dapat dimaknai dengan berbeda-beda pula. Jero Dalang mengamati penontonnya. Bahkan menyadari bahwa penonton memiliki dunia sendiri ketika menonton wayang. Ada adegan yang sesungguhnya tidak diniatkan menjadi sedih, namun ada penonton terisak isak.
Ada apa? Barangkali sang penonton mengingat hal sedih justru dari hal lucu. Hal lucu yang sedih. Atau hal yang lucu yang mengingatkan pada seseorang yang dirindukan yang telah tiada. Barangkali, jika hal lucu itu membuatnya sedih, itu bukanlah kesedihan atas pertunjukan yang gagal, namun atas respon yang mendalam yang membuat penonton menghubungkan rasa-rasa kompleks di dalam dirinya. Jero justru merasa disana pertunjukannya berhasil.
Wayang adalah Simbol Alam Semesta
Yang menarik dari diskusi kemarin adalah kehadiran penonton secara virtual yang menyimak diskusi secara live baik dari zoom maupun dari Youtube Komunitas Mahima. Seorang penonton, Dokter Arya Nugraha, menyimak diskusi dari ruang praktek. Beliau bertanya apa makna gunung yang dipakai sebagai pembuka dalam pertunjukan wayang.
Dijawab oleh Jero Dalang bahwa gunung adalah simbol semesta, apa yang ada di gunung sebagai semesta besar ada di diri kita, semesta kecil kita. Maka memahami wayang adalah memahami diri sebagai manusia dan memahami konteks kemanusiaan kita. Memahami wayang adalah memahami warna dunia. Demikian Jero Dalang dalam statement akhirnya.
Sementara Ole meyakini bahwa wayang akan hidup dan terus hidup sepanjang masa. Kisah wayang adalah kisah semesta yang tiada habisnya dibagikan dan bahkan semakin dibagikan semakin tidak terbatas.
Penonton merasa masih haus pertanyaan, tapi waktu telah menunjukkan hampir satu setengah jam diskusi.
Sampai jumpa di diskusi berikutnya. Di Mahima March March March. [T]
Diskusi selengkapnya bisa ditonton di kanal youtube Komunitas Mahima: