Setiap daerah membangun brand untuk membentuk persepsi dan image yang positif di benak publik bagi sebuah kota atau destinasi wisata. Brand untuk sebuah daerah biasa disebut City Brand.
Brand city adalah bagian dari istilah brand. Seperti product brand, personal brand, dan cooporate brand. Tujuannya semua sama, membangun persepsi dan makna di benak publik.
Banyak negara atau kota membangun city brand. Lihat saja negara di dunia, semua berlomba membangun brand negaranya. Korea membangun brand dengan taglinenya “Korean Wave”, atau Malaysia dengan “Truly of Asia”,.
City brand menjadi penting bagi daerah agar menjadi tujuan utama wisata. Lebih penting lagi, daerah wisata itu diharapkan menjadi “top of mind” di benak wisatawan. Jika wisatawan berlibur ke sebuah pulau maka city/daerah, maka tempat itulah yang pertama kali diingat dan dituju.
Salah satu tujuan akhirnya adalah industri pariwisatanya berkembang dan memberikan dampak yang baik bagi kesejahteraan rakyatnya.
Bedah Brand Bangli
Bupati Bangli baru saja meluncurkan city brand, “Bangli The Origin of Bali”. Memperkenalkan brand Bangli bersamaan dengan kebijakan penerapan e-tikecting (17/2).
Begitu brand Bangli diluncurkan riuh kembali terjadi di media sosial. Pro kontra saling bersahutan. Kenapa bisa terjadi pro kontra, ayo kita bedah city brand Bangli, dengan santai.
Peluncuran brand apapun, selalu akan diikuti dengan beberapa brand inventory, seperti logo, tagline, dan jingle. Namun, bukan berarti dengan membuat logo dan tagline maka sudah dianggap membangun city brand. Salah kaprah pertama.
Dari perspektif ilmu branding, logo itu bukan brand. Tagline juga bukan brand. Jingle bukan brand. Itu konsep yang bukan salah tapi pemahaman yang tersesat. Jadi, tagline “Bangli The Origin of Bali” bukan brand. Atau belum bisa menjadi/disebut brand. Baru masih sebatas tagline. Salah kaprah kedua.
Brand adalah makna dan persepsi. Membangun brand adalah membangun makna dan persepsi di benak publik.
Membangun city brand bertujuan agar daerah/kota itu memiliki persepsi yang baik di benak publik. Memiliki makna yang positif di benak publik.
Jika kepala daerah membangun city brand, setelah launching kemudian muncul persepsi negatif terhadap daerahnya maka bisa disebut gagal membangun brand. Salah kaprah ketiga.
Terlebih lagi setelah peluncuran muncul reaksi yang sangat kontras dengan tujuan membangun brand. Peluncuran tagline Bangli (belum bisa disebut brand), muncul reaksi kontras. Peluncuran city brand Bangli diikuti dengan penerapan kebijakan e-ticketing bisa disebut sebagai plan dan strategy brand yang keliru.
Menerapkan aturan memasuki Kintamani dengan restribusi Rp 25 ribu dan Rp 50 ribu ustru memunculkan sentimen daerah lain. Sehingga nantinya akan berpotensi setiap daerah wisata akan berlomba menerapkan aturan yang sama. Hasilnya akan buruk, muncul persaingan antar destinasi wisata. Akhirnya, brand Bangli akan buruk. Brand Bali pun akan menjadi negatif di benak wisatawan domestik dan mancanegara.
DNA City Brand
Selanjutnya, Brand itu harus memiliki value (DNA dan core value) sebuah daerah. Setiap kota/daerah jika ingin membangun brand maka harus menggali DNA agar menjadi city brand yang unik. Satu-satunya.
Menggali value bisa dilakukan dengan riset yang mendalam, mengobservasi untuk memahami perilaku wisatawan apa alasan mereka datang ke sebuah objek wisata. Jadi value itu harus digali kemudian direncanakan dengan baik. Jangan justru terjadi sebaliknya, membuat value seperti mengarang tulisan.
Sekadar contoh cara menggali value. Kintamani lebih dikenal dari pada Bangli. Kintamani dikenal dengan gunung batur yang eksotik. Menyimpan sejarah berkuasanya raja Bali, yaitu Raja Jayapangus. Dan terkenal dengan mitologi kisah cinta antara Jayapangus dengan putri Cina Kang Cing Wei. Kisah cinta itu bisa menjadi value-nya Bangli. Karena cerita itu sangat orisinil. Unik. Satu-satunya di Bali dan Indonesia. Bagaimana value itu dibangkitkan sehingga wisatawan berkunjung ke Kintamani atau Bangli merasakan ikatan emosi/gairah yang sama dengan kisan cinta/romanstime Jayapangus-Kang Cing Wei.
Brand New Mind
Membangun city brand dengan cara-cara old mind sudah tidak relevan lagi di masa era milenial dan digital. Logika brand pun berubah di era new mind.
Jika pada era dulu (baca old mind), ibarat raja, apapun titahnya akan diikuti oleh rakyat. Rakyat loyal pada titah raja.
Namun sekarang kita sudah ada di era milenial dan zilenial. Kebenaran bukan milik sang raja (penguasa) melainkan kaum milenial.
“Daerah saya paling bagus,” kata raja. “Daulat tuanku,” kata milenial di depan sang raja.
Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kaum milenial tidak akan loyal. Mereka tidak akan datang karena dirasa tidak membuatnya senang dan nyaman. Diam-diam beralih ke daerah wisata lain yang ekosistemnya lebih bagus. Membuatnya lebih nyaman, senang, dan puas. Ekosistem yang baik, maka wisatawan akan menjadi promotor sebuah destinasi wisata.
Bangun City Brand
Kepala daerah berpikir dengan membuat logo sudah dianggap membangun brand. Dengan membuat tagline sudah merasa membangun brand.
Sejatinya membangun brand bukan sekadar membuat logo dan tagline, atau bukan pula sekadar memasukkan logo dan tagline ke benak konsumen.
Membangun city brand lebih dari itu. Tujuan akhirnya (goal-nya) adalah membangun gairah/ikatan emosi. Kemudian mengaktivasinya agar gairah/ikatan emosi sebuah tujuan wisata ke dalam benak wisatawan. Pola pikir, perilaku, dan aktivitas masyarakat dan pemerintah daerah tersebut mewakili value yang disampaikan ke publik.
BACA JUGA:
- Taktik Adu Narasi Valentine vs Tumpek Krulut
- Lombok Disrupsi Bali?
- Waspada, “Branding” Bali Kadaluwarsa!
- “Agility” Bali untuk Lolos dari Disrupsi Pandemi
Jika salah strategi, maka city brand tidak akan membangun ikatan emosi cinta yang kuat justru akan sebaliknya, memutus ikatan emosi yang sebelumnya telah terjalin. Minimal muncul rasa kecewa dibbenak wisatawan. Bagi yang kecewanya lebih berat, wisatawan akan beralih ke daerah wisata lainnya bisa yang membuatnya lebih bahagia.
Membangun city brand yang dilakukan oleh Bangli bisa menjadi pelajaran penting buat daerah lain. Tujuan membangun city brand agar berhasil menimbulkan persepsi dan membangun/membangkikan kemudian ikatan emosi/gairah memasukkannya ke benak wisatawan.
Ini tentang pilihan. Bukan melarang untuk salah. Cuma mengingatkan dan mengkoreksi kesalahan city branding bertahun-tahun, lebih mahal ongkosnya dibandingkan dengan mengawalinya dengan benar. [T]
Singaraja, 19/2/2020