Bulan Bahasa Bali menyajikan mata lomba debat berbahasa Bali setiap tahunnya. Tahun 2022 ini debat berbahasa Bali diselenggarakan juga. Selain dan sebelum di tingkat provinsi, lomba debat berbahasa Bali juga dilaksanakan di kota/kabupaten di Bali.
Di Kota Denpasar lomba debat berbahasa Bali dilaksanakan hari Jumat, 11 Februari 2022 bertempat di Wantilan Lokanatha, Lumintang, Denpasar. Lomba yang diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Kota Denpasar ini sedianya dilaksanakan di aula Dinas Kebudayaan Kota Denpasar. Lomba debat dipindah dengan alasan tertentu. Lomba ini diikuti delapan SMA negeri dari sembilan SMA negeri yang ada di Kota Denpasar.
Tahun ini Putra Suarjana, Ari Suprapta, dan saya “didaulat” untuk menjadi juri lomba debat berbahasa Bali dalam rangka Bulan Bahasa Bali Kota Denpasar 2022. Ini adalah kali pertama saya menjadi juri lomba debat berbahasa Bali. Banyangan saya debat dalam lomba ini akan seru, akan banyak hal yang manarik yang akan terjadi.
Seperti biasa, debat dikuti oleh tim. Setiap tim terdiri atas tiga orang. Dalam lomba peserta mendapat undian topik debat. Topik tersebut dundi dalam setiap tahapan lomba. Ada lima topik yang disajikan oleh panitia. Topik sudah ditentukan dalam bahasa Bali, yaitu tentang (1) Pergub Bali Nomor 24 Tahun 2020, (2) sastra Bali, (3) pariwisata Bali, (4) warga Bali, dan (5) upacara-upacara di Bali. Semua topik berkaitan dengan air sesuai dengan tema, yaitu danu atau ranu yang bermakna ‘air’.
Dua tim yang berhadapan dibagi dua, yaitu tim pro dan tim kontra. Penentuan tim yang pro dan kontra dilakukan dengan suit. Kedua tim dalam lomba berdebat mengenai salah satu topik yang didapat. Kalau ada dua tim yang berhadap-hadapan tentu seharusnya disebut pertandingan, seperti pertandingan badminton dan sejenisnya. Ini dua tim yang berhadapan disebut lomba, entahlah. Terima sajalah, ini lomba, lomba debat, bukan pertandingan debat. Mungkin lebih pas debat saja. Mungkin karena ada pemenangnya disebutlah dengan lomba. Yang dipilih bukan pertandingan, sekali lagi lomba.
Sebagai orang bahasa, saya akan berbicara tentang penggunaan bahasa dalam debat tersebut. Debat ini menggunakan bahasa Bali, ya, namanya saja debat berbahasa Bali, tentu bahasa yang digunakan adalah bahasa Bali.
Bagaimana penguasaan atau kemahiran berbahasa Bali perserta debat?
Dalam catatan tim juri yang disampaikan oleh ketua tim juri, Putra Suarjana, sebelum dibacakan pemenang lomba bahwa masih banyak yang perlu dilatih dari peserta, terutama sisi kemahiran berbahasa di samping penguasaan topik debat. Dikatakan kemahiran berbahasa menyangkut cara mengemukakan pendapat atau argumen. Dari sisi materi, tentu pengenalan istilah-istilah mengenai topik yang didapat perlu dikuasai untuk dapat mengungkapkan ide dengan tepat.
Secara pribadi ada beberapa hal yang manarik perhatian saya. Pertama, membangun argumen dalam bahasa Bali, baik pro maupun kontra. Kedua, cara penyampaian argumen menggunakan bahasa Bali. Ketiga, metode penyampaian argumen supaya efektif karena ada batas waktu. Ini pula yang menjadi penilai juri, yang meliputi isi, gaya, dan strategi.
Rata-rata peserta—delapan peserta—mampu mengungkapkan pidato substantif di awal selama 7 menit dengan baik dalam bahasa Bali. Hal ini termasuk mengenalkan asal sekolah dan nama anggota tim. Mungkin karena disiapkan jauh hari sebelum perlombaan. Hal ini sangat berbeda ketika debat sudah berlangsung. Walaupun topik debat sudah diterima peserta sebelum lomba, peserta kesulitan berbahasa Bali ketika mengadu argumentasi pro dan kontra ketika berdebat.
Selanjutnya, pembicara kedua diberikan waktu 3 menit berargumen atau menyanggah, bahasa yang digunakan mulai tidak terkendali dan cenderung kacau dari sisi struktur kalimat dan pilihan katanya. Kadang ada jeda sesaat karena mereka mungkin berpikir bagaimana mengungkapkan idenya dalam bahasa Bali. Tidak hanya jeda, kadang senyap sesaat dan ada yang sampai dibantu teman timnya. Demikian juga waktu 2 menit diberikan kepada pembicara ketiga untuk memberikan pernyataan penutup. Kemahiran berbahasa Bali menurut saya sangat perlu dilatih untuk mengikuti debat berbahasa Bali ini, di samping penguasaan topik debat.
Dari sisi kosakata, untuk kata pro sudah sangat umum digunakan cumpu, sedangkan untuk kata kontra sama sekali tidak digunakan tangkas (istilah bahasa Bali). Yang sering digunakan adalah nénten cumpu. Ini memperlihatkan kurangnya perbendaharaan kosakata yang mendasar peserta tentang istilah dalam debat dalam bahasa Bali. Hal mendasar seperti ini perlu diperhatikan oleh peserta, terutama pembina ke depan. Peserta setidaknya dan sedapatnya menggunakan istilah-istilah dalam bahasa Bali atau istilah yang sudah diserap ke dalam bahasa Bali.
Berikut ini beberapa kesalahan umum yang dilakukan peserta dari sisi bahasa pada saat lomba.
Pertama, ketika mengenalkan diri, banyak peserta salah menggunakan kata wasta, mawasta ‘nama, bernama’. Kesalahan yang fatal dan itu terjadi berulang ketika salah seorang pembicara mengenalkan temannya dengan ring tengen titiang mawasta …. ‘di sebelah kanan saya bernama …’. Seharusnya menurut struktur, ring tengen titiang … ‘di kanan saya …’, wastan titiang … ‘nama saya …’, atau titiang … ‘saya …’. Yang fatal juga ketika mengenalkan teman setimnya, pembicara pertama mengenalkan dengan timpal tiang mawastan …. Mungkin karena keliru dengan sebutan wastan titiang …. Hal ini terjadi beberapa kali dan kesalahannya konsisten. Artinya, peserta tersebut memang itu keliru dan tidak menyadari kekeliruannya.
Kedua, ketika menggunakan kalimat aktif atau pasif, banyak perserta tidak meyadari kalimatnya bermasalah dari sisi aktif pasifnya. Penggunaan kalimat aktif dan pasif tidak jelas. Banyak peserta tidak bisa membedakan antara kalimat aktif dan kalimat pasif. Contohnya: indik punika sampun iraga kalaksayang. Yang seharusnya: indik punika sampun kalaksanayang (olih) …. Yang aktif adalah nglaksanayang, sedangkan pasif adalah kalaksanayang.
Ketiga, ketika menggunakan imbuhan nasal, banyak peserta yang salah menggunakan imbuhan tersebut. Pembentukan kata dengan pengimbuhan awalan nasal (N-), seperti ny, m, n, ng. Misalnya: N- + jaga menjadi nyaga ‘menjaga’, bukan ngajaga. Beberapa peserta berulang kali mengatakan ngajaga yang semestinya nyaga. Hal ini tentu berbeda dengan ma- + jaga menjadi majaga ‘berjaga’.
Keempat, ketika menggunakan akhiran –ang, -in, -an, banyak peserta yang belum memahami penggunaan akhiran itu secara tepat. Pengguna bahasa Bali memang sering sudah menggunakan akhiran ini. Lebih-lebih penutur bahasa Bali di Kota Denpasar yang penggunaan akhiran ini tidak selengkap penutur bahasa Bali dari Klungkung, Karangasem, atau Buleleng. Misalnya: sakadi sampun kauniningan, …, seharusnya sakadi sane sampun kauningin, ….
Kelima, ketika menggunakan kata depan, banyak peserta yang tidak tepat dalam pemilihan kata depan tersebut. Ketidaktepatan penggunaan kata depan terutama pada penggunaan kata depan antuk dan saking. Kata depan antuk dalam bahasa Bali sering dipadankan oleh peserta dengan untuk dalam bahasa Indonesia. Tentu hal ini keliru. Kata depan antuk sepadan dengan oleh dalam bahasa Indonesia. Demikian juga kata saking yang sepadan dengan dari dalam bahasa Indonesia yang seharusnya digunakan untuk menunjukkan tempat atau asal. Peserta keliru, kata depan saking dipadankan dengan pada atau di. Seharusnya yang digunakan adalah ring ‘pada atau di’ yang menunjukkan tempat, bukan saking.
Ada beberapa lagi kesalahan yang sempat saya catat. Semua kesalahan tersebut semestinya bisa dikurangi ketika kita mau menyadari kesalahan itu dan memperbaiki kesalahan itu. Untuk itu, besar harapan saya kepada pembina peserta debat di masa yang akan datang atau pada lomba di tingkat provinsi memperhatikan hal seperti ini.
Kesalahan dalam berbahasa bisa kita perbaiki bersama. Mari bersama-sama kita memperbaiki diri dalam berbahasa, baik tulis maupun lisan.[T]