Tahun baru 1 Januari 2022, bersamaan penanggal ping 14 nuju Tilem Kepitu, malam ” tergelap ” dalam 1 tahun, raina Ciwa Ratri. Malam pemujaan Tuhan Ciwa, menurut karya sastra Ciwa Ratri Kalpa oleh Mpu Tanakung.
Malam tergelap, sekaligus sebagai malam terbaik memuja Tuhan Ciwa, sebagai upaya membebaskan diri dari kekotoran dunia yang melekat di pikiran, rasa dan batin manusia.
Upaya pembebasan diri yang tidak mudah, dalam realitas manusia dan kemanusiaan yang berciri umum, pikiran dan keinginan yang tidak dapat dikendalikan, tetapi dilipatgandakan untuk memenuhi keserakahan manusia yang tidak ada batasnya.
Ego, ahamkara yang tidak dikendalikan, tidak ada upaya untuk purifikasi, dibiarkan liar, untuk memenuhi keinginannya. Keinginan yang tidak bisa dipenuhi, walaupun tamsilnya seluruh isi dunia menjadi miliknya.
Keinginan dan bahkan keserakahan yang dicarikan nalarnya, rasionalisasi, bila perlu dengan ” bungkus ” ajaran- ajaran agama. Bentuk nyata dari proses pembusukan diri (self decay), yang berlawanan secara diametral dengan proses penyucian diri, yang merupakan substansi sari pengetahuan agama dan juga spiritualitas.
Dalam realitas sosialnya, proses pembusukan diri, pada pengambil kebijakan ekonomi ,dapat melahirkan ekonomi yang timpang dan tidak berkeadilan. Pembusukan diri di ranah politik , melahirkan proses pembusukan politik (political decay), dengan ” dasa muka ” bentuknya: permainan politik uang, demokrasi yang dibelanjai para cukong, dashyatnya korupsi kekuasaan, yang mengurus sumber daya nasional dan menjungkir-balikkan tata nilai dalam masyarakat.
Kesemarakan ritual agama berlangsung luar biasa, pada saat bersamaan kemerosotan moral, etika termasuk kesusilaan berlangsung dashyat, tanpa rasa malu. Mengambil satu contoh lembaga pendidikan yang semestinya menjadi tempat terhormat untuk mendidik karakter dan mengasah intelektualitas, di sana – sini oknumnya melakukan pelanggaran susila akut dan memalukan.
Krisis diri dan krisis kemanusiaan sebagai akibat proses pembusukan diri ini nyaris paripurna pada sebagian insan-insan manusia.
Timbul pertanyaan, bagaimana Ciwaratri dimaknai di tengah tukikan tajam krisis diri dan kemanusiaan di atas?
Pertama, arti penting tapa, brata, upawasa untuk pengendalian diri, pengendalian yang terus dilatih, yang kemudian distimulasi oleh kekuatan dalam diri , yang kemudian melahirkan proses pembersihan diri: pikiran, perasaan dan juga hati.
Kedua, proses transformasi Tri Kaya Parisudha dari pengetahuan di luar diri, menjadi instrumen transformasi diri, dalam artian dorongan untuk: berpikir, berkata dan berbuat baik muncul dari dalam diri, setiap potensi penyimpangan mendapat perlawanan dari dalam. Diri, menuju apa yang disebut sebagai Tri Guna Titha, keluar mengatasi ( beyond ) Tri Guna: Satvam, Rajas, Tamas.
Ketiga, astangga yoga dari Rsi Patanjali, 8 tahapan yoga untuk menyatu dengan Tuhan, yama, niyama (tuntunan etik kehidupan), pranayama (penyucian nafas), asana (latihan postur tubuh menuju proses pendakian), praktyahara (menarik indra – indra ke dalam, mengurangi proses keterikan duniawi), dharana, dhyana, samadi (pemokusan pikiran, rasa dan hati – body, mind and soul) menjadi menyatu dalam realitas Tuhan. Samadhi = pembebasan dan kebebasan diri rokhani, di sini di dunia maya ini. [T]