Berbicara mengenai Budi Darma, akan terasa kurang jika tidak membahas Orang-orang Bloomington yang diterbitkan perdana pada 1980—kumpulan cerpen yang beberapa waktu lalu diterjemahkan dan diterbitkan Penguin Books UK.
Setelah membaca karya itu, rasa-rasanya kita akan terbayang-bayangi oleh tokoh-tokoh di sana: Orez, Joshua Karabis, Lelaki Tua Tanpa Nama, dan sebagainya. Tokoh-tokoh itu begitu kuat untuk dikenang. Di sisi lain, keutuhan penampilan tokoh menciptakan kedekatan pembaca dengan tokoh-tokoh itu sendiri. Sedikit tidak, penyajian cerita dalam Buku itu mempengaruhi cara baca saya terhadap cerpen-cerpen yang dibahas pada Semenjana #3 ini.
Semenjana #3 digelar pada tanggal 29 November 2021, bertepatan dengan 100 hari kepergian Budi Darma. Sesi Semenjana #3 ini kemudian menjadi ruang untuk membicarakan pengalaman membaca atau mendengar dan hal-hal berkaitan dengan sosok Budi Darma dan karya-karyanya. Sementara itu, kegiatan ini berlangsung di kedai kopi Aboe Talib, Jalan Kecubung, Denpasar, dan beberapa peserta mengikuti diskusi secara daring.
Tiga cerpen yang dibahas dalam Semenjana #3 meliputi: pertama cerpen “Mata yang Indah” tersiar pada tahun 2000 dan menjadi cerpen terbaik pilihan Kompas di tahun itu; kedua, cerpen berjudul “Tukang Cukur” tersiar pada 2016; dan cerpen ketiga adalah “Tarom” yang tersiar pada 2017.
Cerpen memiliki ruang yang sempit, terlebih cerita pendek untuk media masa cetak. Cerpen pada media masa (khususnya koran) umumnya berkisar 10.000 karakter. Pada ruang sempit itu, hal apa saja yang bisa dibicarakan?
Tampaknya Budi Darma justru memanfaatkan ruang sempit itu dalam bercerita. Ia lebih banyak mengeksplorasi kekuatan karakter. Hal inilah yang barangkali menjadi pembeda antara Orang-orang Bloomington dan cerpen-cerpen Budi Darma yang dimuat di media masa. Pada cerpen-cerpen di buku itu, tokoh dan alur cerita mendapat porsi yang cukup lengkap, solid, sehingga, bukan satu hal yang asing lagi ketika pembaca diajak keluar masuk kepala tokoh.
Tapi, hal yang berbeda terjadi pada cerpen “Mata yang Indah”. Pada cerpen itu, pembaca diajak menyaksikan imaji visual yang memikat dan alur dengan kesimpulan yang tegang. Kelihaian Budi Darma mengelola alur dan tokoh yang lugu tampak dalam cerita ini. Haruman—salah satu tokoh dalam cerita—disuruh merantau oleh ibunya. Kemudian, dia mengalami hal-hal mengejutkan dan hal itu seolah berulang lagi di akhir cerita. Tetapi, jika dihubungkan dengan pernyataan beberapa komentator, bahwa Budi Darma barangkali ingin membicarakan absurditas, maka hal itu benar-benar terasa dalam “Mata yang Indah”.
Jika kita bicara soal absurd, maka kita akan ingat dengan Sisifus yang mendorong batu ke puncak bukit lalu menggelinding lagi dan begitu seterusnya. Dan dalam kehidupan, siklus seperti itu juga berjalan demikian, sebagaimana perburuan makna yang dilakukan manusia, yang tak lain menyerupai Sisifus.
Pada sebuah diskusi yang tersiar secara daring, saya melihat Budi Darma yang begitu polos dan santun. Hal ini berbanding terbalik dengan tokoh-tokoh yang ia ciptakan, katakanlah si Tukang Cukur pada cerpen “Tukang Cukur” yang tersiar pada tahun 2016. Dalam cerpen itu, terlihat tokoh si Tukang Cukur sebagai karakter yang sibuk mencari satu titik nyaman.
Ia berpindah-pindah kelompok agar mendapat posisi aman. Ia menjadi simpatisan satu partai politik dan menandai para musuh-musuhnya dengan memberi tanda berupa luka pada kepala orang-orang yang ia cukur. Jika dikaitkan pada konteks keganjilan tokoh pada cerpen-cerpennya, seolah kita—sebagai pembaca—tidak melihat Budi Darma.
Barangkali, menghubung-hubungkan pengarang dan karyanya adalah tindakan yang agak berlebihan. Tetapi, rasa penasaran membuat kita terkadang mengingingkan jawaban. Saya mencoba mencari hal lugu dari tiga cerpen ini dan menemukan beberapa hal lugu itu. Pertama, momentum pada cerpen “Mata yang Indah”.
Keberangkatan Haruman dimulai dengan suruhan ibunya untuk merantau agar mendapat pengalaman. Sangat sederhana. Kemudian pada cerpen tukang cukur, narator menyampaikan kemiskinan dengan sederhana—polos dan hal ini terkesan membuat penggambaran situasi dengan datar, biasa-biasa saja, tidak berlebihan.
Hal ini membuat saya bertanya-tanya, apakah kepolosan Budi Darma sesungguhnya bisa dilihat dari caranya menarasikan satu peristiwa dan, sedikit banyak tokoh-tokoh itu memiliki kepolosan dalam kadar tertentu? Lebih-lebih bagi Budi Darma, menulis adalah upaya uji coba penulis terhadap kepribadiannya. Hal ini membuat saya semakin terdorong untuk menemukan jejak Budi Darma dalam karyanya. Tentu saja, spekulasi ini memerlukan penelitian lebih jauh.
Terakhir adalah cerpen “Tarom”. Cerpen ini membuat saya merasa melamun, padahal masih mengikuti cerita. Setelah membaca ulang, saya menemui lompatan cerita di tengah-tengah cerpen. Rupanya, Budi Darma sedang ngelantur; membicarakan hal-hal yang sesungguhnya tidak terlalu penting untuk menjalankan alur cerita. “Tetapi, hal apa yang ingin dicapai Budi Darma?” tanya saya dalam hati. “Aha…” saya mendapatkannya.
Dalam konteks ini, Budi Darma ingin mengajak pembaca lebih dekat dengan si tokoh. Cerita dalam cerpen ini disampaikan berdasar sudut pandang orang pertama, yaitu si Tarom. Dan, semua narasi dalam cerita berarti adalah kata-kata Tarom. Termasuk lanturan itu. Dan adalah sesuatu yang normal, ketika kita melamun, pikiran kita akan meloncat ke sesuatu yang lain, tetapi masih memiliki hubungan, dan kenyataan itulah yang dituliskan oleh Budi Darma.
Membicarakan Budi Darma dalam Semenjana #3 ini adalah ruang untuk mengenangnya, meskipun, dalam kepala saya, Budi Darma memiliki kualitas yang sama dengan tokoh-tokoh yang ia ciptakan: melekat sebagai seseorang dengan perwatakan yang khas. [T]
- Penulis: Agus Wiratama
Sumber cerpen:
- Cerpen “Mata yang Indah” diakses pada laman: goesprih.blogspot.com
- Cerpen “Tarom” diakses pada laman: catatanpringadi.com
- Cerpen “Tukang Cukur” diakses pada laman: id.klipingsastra.com
_____
KLIK dan BACA JUGA: